Laki-laki Juga Korban Patriarki - FLP Blitar

Laki-laki Juga Korban Patriarki

Bagikan


Sumber gambar: Islamramah.co

 

 

Oleh: Yolanda Mery

 .

.


Seorang laki-laki kenalan saya pernah mengatakan “Gue anti sih nangis, ini gua cerita masalah gue ke lu supaya lega ajaaja.”

 

Ketika saya bertanya, mengapa ia anti menangis? Apakah air matanya sudah kering? Atau apakah ia tidak membawa tisu untuk membasuh pipinya yang basah dengan air mata? Ternyata jawabannya merupakan jawaban yang biasa saya dengar dari kakak laki-laki saya selama bertahun-tahun. Anehnya saya baru terpikir maksud jawaban tersebut ketika mendengarnya kembali, di usia kepala dua ini.

 

“Kkarena gue laki-laki, kalo gue nangis gue keliatan lemah,” jawab kenalan saya.

 

Keras sekali saya berpikir setelahnya. Lingkungan saya adalah hasil konstruksi secara tidak sadar ideologi patriarki. Ideologi ini menghendaki seorang laki-laki berada pada posisi superior dan perempuan adalah inferior. Laki-laki dibentuk dengan kekerasan yang brutal sebagai “jagoan” dan tidak diasuh dengan kelembutan tutur kata seperti “puteri”.

 

Laki-laki menjadi superior dengan melindungi bukan dilindungi. Menjadi superior dengan dilayani bukan melayani. Ideologi patriarki telah menjadi konstruksi sosial dan semua orang terlibat dalam pengkonstruksian ini. Hasilnya adalah pendidikan berbasis gender bahkan benda pun memiliki gender.

 

Baju untuk bayi laki-laki haruslah warna yang gagah, hitam, abu-abu, cokelat adapun warna biru sebagai lambang gender laki-laki. Bayi perempuan haruslah dikenakan bando dengan pita hampir menutupi kepala, tembok kamar merah muda, dan seprai motif barbie.

 

Sejak di taman kanak-kanak, anak laki-laki akan dibiarkan aktif melakukan permainan di lapangan, sedangkan anak perempuan bermain berkelompok dengan membuat prakarya. Tante dan om mereka memanggil mereka “jagoan” jika mereka laki-laki dan memanggil mereka “si cantik” jika mereka perempuan padahal mereka punya nama. Terlihat bahwa orang tua, guru, dan kerabat menjadi agen pengembang patriarki. Lalu siapa yang akan dirugikan karena adanya ideologi ini?

 

Ideologi ini menargetkan perempuan dengan penindasan dan membiarkan perempuan tersungkur pada posisi inferior. Perempuan yang diperkosa akan malu ketika pelaku menyatakan “Kami melakukannya atas dasar suka kok.”

 

Perempuan korban KDRT akan dihujat habis-habisan ketika memutuskan kembali bersama dengan pelaku KDRT, padahal ia tidak memiliki pilihan lain untuk melindungi perasaan anak-anaknya. Tetapi bukan hanya perempuan, laki-laki juga adalah korban dari patriarki. Pendidikan dengan ideologi patriarki mewajibkan laki-laki memiliki bekas luka.

 

Orang-orang disekitarnya mengatakan bahwa ia tidak boleh menangis. Laki-laki harus tahan banting, laki-laki harus menang. Padahal laki-laki juga manusia, perbedaan gender laki-laki dan perempuan hanya bentuk seksualitas organ. Perasaan manusia tidak memiliki gender bahkan otak juga tidak bergender.

 

Tapi pembeda antara ketahanbantingan laki-laki dan perempuan masih sangat terasa. Laki-laki boleh menangis, ia bebas melepaskan beban hatinya juga. Tanpa mengurangi esensinya sebagai manusia, laki-laki boleh menjaga kulitnya dari bekas luka bahkan harusnya dianjurkan memakai sunscreen.

 

Konstruksi sosial yang sudah terbentuk berabad-abad tidak dapat dilenyapkan begitu saja. Perlu perubahan dasar pendidikan rumah, sekolah, dan benda-benda yang harusnya tak bergender.

 

Akan tetapi, ketika menyadari bahwa langkah-langkah besar tidak dapat dilakukan sekaligus maka lakukan langkah kecil. Perlakukan pasangan (laki-laki) sebagaimana ia manusia. Ia dapat menangis, boleh memakai skincare ataupun menyukai sesuatu yang feminin. Ia boleh berkata “terserah” ketika pasangan (perempuan) menanyakan “Ingin kemana setelah ini?”

 

Anak laki-lakimu bebas bermain boneka demi mengembangkan empatinya. Saudara laki-lakimu boleh menggunakan kaus kaki polkadot jika ia ingin. Laki-laki harusnya tidak menjadi korban dari ideologi yang menjadikannya superior. Benar begitu bukan?

No comments:

Pages