Ketika mendatangi
agenda rutinan FLP Blitar yang digelar setiap hari ahad, fikiran kita
seharusnya lebih santai. Tidak seperti pergi ke sekolah, dan harus berhadapan
dengan berbagai macam buku dan teori. Meskipun, apa yang dibahas dalam forum
rutinan tersebut mungkin lebih berat. Namun berat
tidaknya sebuah materi kadang bergantung bagaimana kita menempatkannya.
Lazimnya liburan
diisi oleh hal-hal yang santai, bahkan kalau perlu tidak menyentuh buku sama
sekali. Sudah saatnya otak istirahat. Menulis dianggap sebagai beban baru bagi
otak, karena harus berfikir apa yang hendak ditulis.
Padahal bisa
sebaliknya, menulis justru bisa meringankan beban fikiran. Hanya saja, kita
agak keliru memulainya.
Untuk itulah, dalam
forum rutinan di FLP Blitar, saya mengingatkan siapapun agar tidak terlalu
berlebih bicara teori, apalagi terpaku pada teori yang tertera dalam modul.
Bukan berarti saya anti, Hanya saja, kadang saya sangsi dengan teori-teori
menulis yang ada.
Kenapa sangsi?
Biasanya orang yang produktif menulis tidak ada waktu untuk membuat teori.
Seorang novelis akan sibuk menulis novel. Begitu pun dengan cerpenis, eseis,
dan lain sebagainya. Mereka hampir-hampir tidak ada waktu untuk membuat
teori-teori menulis.
Nah, seringkali keinginan
untuk menulis justru kandas setelah membaca teori menulis. Ternyata teorinya
susah dan njelimet. Namanya teori memang begitu. Contohnya saja, teori
gravitasi. Setiap hari kita melihat benda-benda jatuh dari atas ke bawah. Itu
hal biasa. Kita pun bisa melakukannya. Namun setelah diteorikan, ternyata
masyaallah rumitnya.
Menulis itu justru
meringankan. Contohnya saja, banyak orang menulis status panjang-panjang,
bahkan setiap jam memperbaharuinya. Ada rasa lega karena telah memuntahkannya,
meski yang membaca tidak selalu memberikan respon positif.
Mungkin kita dibuat
sebal dengan orang yang sedikit-sedikit mengeluh lewat sosial media, atau
mengumpat. Tapi disatu sisi itu merupakan kebutuhan psikologis. Itu mungkin
saja saluran emosinya. Emosi perlu disalurkan, salah satunya melalui tulisan.
Namun tulisan yang bagaimana?
Untuk itulah
perlunya kemampuan menulis, agar pemilihan katanya lebih tepat, agar teknik
pengungkapannya bisa menjadi karya yang bisa dinikmati. Entah lewat puisi atau
catatan sederhana. Menulis itu bisa meringankan beban psikologis.
Makanya banyak yang
mendadak jadi pujangga, justru ketika ia patah hati. Begitu pun, ketika
seseorang sedang didera permasalahan hidup yang pelik, kata-kata bijak menjadi
penguat jiwanya yang nyaris ambruk. []
Blitar, 3 Mei 2017
A Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment