Oleh: Dinantari S.
Tidak ada pagi sedamai ketika malamnya Paduka Rahwana begadang memikirkan puisi untuk Shinta. Beliau akan terlelap panjang seolah sengaja menghindari pagi, menolak bangun dan sadar akan kenyataan cinta Shinta belum bisa didapat. Semangatnya yang pasang surut membuat rakyat kerajaan kadang bertanya-tanya, secantik apakah Dewi Shinta, sesulit apakah mendapatkannya? Sampai raja mereka merasa tergila-gila dan merasa berat harus menculik dan memaksanya ikut ke Alengka? Mengapa tidak seperti dewi-dewi lain? Meski pada akhirnya kini sang dewi terpenjara sempurna di Agrasoka, replika taman khayangan sehingga tak banyak warga kerajaan yang tahu. Bahkan setiba sang dewi di sana, Raja Alengka juga sama sekali tak berani menyentuhnya.
Dewi Shinta jelas menolak cinta sang raksasa Dasamuka dengan dalih kesetiaan pada Rama. Namun kegigihan sang raksasa juga tak main-main. Ia rela menunggu berapa lama pun sampai Shinta mencintainya. Kisah cinta tak berbalas ini kemudian menjadi fenomenal dalam sekejap. Sampai-sampai terdengar dalang dan sastrawan kondang Sudjiwo Tedjo. Diangkatnya kisah mereka dalam kemasan lebih romantis nan modern di kitab karya sang dalang “Rahvayana.”
****
Dewi Shinta memang bukan sekedar penyandang gelar istri setia Rama Wijaya. Ialah wanita yang berada dalam angan-angan Raja Alengka yang tidak dimengerti siapapun bahkan juga abdi setianya. Dayun hanya tahu konon Shinta memang berbeda dari dewi-dewi lainnya, namun dijelaskan bagaimana juga ia tetap tidak mengerti. Kenal perempuan saja tidak pernah.
Memang sudah jadi nasib umat wayang klithik. Jarang terlihat, apa-apa harus izin tuannya. Tertutup segala akses senang-senang pribadi, Dayun mencari cara menghibur dirinya. Yakni mendengarkan gosip para petani yang sawahnya dekat kerajaan. Tak hanya itu, Dayun ternyata di balik kepolosannya, diam-diam berangan-angan juga. “Bagaimana rasanya perempuan? Mengapa Paduka dan para petani di luar sana sangat menggilai mereka? Lalu cinta itu apa?” pertanyaan tanpa suara itu hanya bisa ditelah bulat-bulat dirinya seorang.
****
Suatu malam, Rahwana di pendopo tempat biasa ia menulis surat dan meminta angin melayangkan pada Shinta sang pujaan, seraya membujuk abdinya berkomentar tentang beberapa foto.
“Cantik nggak, Yun?”
“Nggih, Ndoro.”
“Kalau ini?”
“Nggih, Ndoro.”
Wajah Paduka mulai sedikit masam. Dayun melirik sebentar lalu memperkuat pijatan di kaki sang raja. Jangan-jangan tuannya marah gara-gara ia berkomentar sampai lupa pada tugas utamanya memijat kaki. “Heh, Yun … Kamu itu! Nggah-nggih, nggah-nggih aja, jangan bikin malu aku kamu! Aku tadi menunjukkan perempuan dengan pipi peyot dan bergigi ompong! Masa kamu bilang cantik?! Buta kamu ya?!” “Saya ndak tahu lo, Ndoro... mana perempuan cantik mana tidak. Saya kan hidup mengabdi terus. Bahkan kalau ndoro ndak manggil saya, saya nggak akan keluar dari bilik. Beberapa kali ganti bendoro juga saya ndak pernah diajari cara jeli lihat perempuan.”
Rahwana mengangguk-angguk. “Hmm, ... masuk akal. Ya sudah, nih kukasih akun perempuan di FB biar bisa kamu ajak ngobrol. Dia pernah bilang mengagumiku tapi dia jauh dari seleraku.”
“Walah,.. tapi ndoro, ...”
“Uweess! Jangan membantah! Ini misi, perintah bendoromu! Aku tahu apa yang mau kamu tanyakan lho, Yun. Jangan lupa, aku ini sakti!” Rahwana menyeringai menunjukkan wajah yang bangga. Dayun yang tadi manyun seketika mingkem dan menelan ludah, Ada perasaan haru, merinding, geli. Kemudian Dayun mengangguk. Baru kali ini, dirinya diperhatikan tuannya. Paduka Rahwana bukanlah butho, dialah ksatria sesungguhnya meski wajahnya memang seperti bencana. Sayang saja keduluan Rama, kasihan sekali padukanya ini. Cintanya bertepuk sebelah tangan. “Yun, aku ngerti lo, kowe mbatin opo!” Dayun segera membuyarkan lamunan dan fokus memijat kembali kaki sang tuan.
****
“Rindu itu tidak pernah roboh bagiku.
Ia masih sanggup tumbuh selama akarnya bertemu mata air.
Bahkan saat terik menghujam, rindu tidak pernah gagal memberi kehidupan
Seperti kokoh jati meski menggugurkan daunnya.
Sebab itu aku masih bertahan, mas. Suamiku mungkin sudah mati, tapi anak-anakku, kerinduanku sama almarhum jadi semangat memompa rejeki.”
Dayun membaca pesan singkat itu dan hatinya menghangat. Ia tidak menyangka, ada orang lain selain tuannya yang bisa berkata-kata magis begini. Cara perempuan ini menyatakan rindu rasanya sangat indah. Nama perempuan ini “Angsara Jelita”. Entah asli atau bukan. Begitu juga dengan foto profilnya. Namun bagi Dayun kata-kata yang Angsara sampaikan lebih dari sekedar cukup menggambarkan dia adalah wanita yang menarik.
Angsara, perempuan itu mengaku telah menjanda karena suaminya telah mati dalam perang dengan kerajaan besar. Saat ini selain mengerjakan sawah, ia juga menjual apa-apa lewat facebook. Dia hanya tahu cara main facebook, Dalam foto profil facebooknya, Angsara berpose memangku dagu di tangan kiri, sambil matanya yang belo memandang jauh ke sesuatu. Ia memakai caping dan bajunya hanya kemben lalu dibahunya tersampir selendang kuning. Senyumnya diukir memperlihatkan lesung pipit. Kulit Angsara juga putih dan hidungnya mancung. Sekilas ia teringat satu tokoh drama korea yang pernah Paduka tonton untuk cari inspirasi puisi.
****
Pada suatu pagi yang damai, Dayun merasa ini saatnya menghampiri Angsara. Ia berjingkat-jingkat tak lupa manyun. Pada penjaga gerbang dan pagar istana, Dayun berdalih melaksanankan perintah. Ia masih ingat “Warung dekat sungai, waktu tergelincirnya matahari.” Pesan Dayun sebelum meninggalkan komputer tua pemberian sang paduka. “ :-) ” emoticon senyum dari Angsara menjadi penanda kesepakatan mereka berdua.
Ketika Dayun sampai di lokasi yang mereka sepakati, Dayun memesan sebuah meja, Rakyat sudah tahu betul kalau Dayun adalah abdi sang raksasa Dasamuka, mereka menyingkir perlahan. Bahkan ada yang tak jadi mampir ke warung itu. Dayun manyun lagi karena kesal, “sebegitu hinanya kah aku?” namun permanyunan itu tak berlangsung lama. Ia teringat Angsara. Wanita dalam angan Dayun yang akan membenahi hidupnya sebagai wayang khlitik.
Pagi bergeser ke siang, tuannya akan segera terbangun, tapi tak disangkanya Angsara tak muncul jua. Telinga Dayun mulai berdenging, Tuannya mungkin akan bangun sebentar lagi. Mengapa ia belum datang? Menyerah. Dayun menyerah. Selama perjalan pulang ia mengucap maaf berkali-kali dalam hati, tak bisa menunggu Angsara.
Setiba di biliknya, Dayun baru menyadari, banyak pesan inbox masuk. Angsara memutuskan janji mereka karena ia baru diperingatkan Damarwulan, musuh Minakjinggo, mantan tuan Dayun. Lelaki muda itu membongkar identitas Dayun. Angsara mengaku agak kecewa karena baru tahu yang sebenarnya. Nama facebook dan foto profil Dayun juga ternyata tak sama. “Abdi Aksara” dengan foto siluet tokoh wayang. Angsara sempat mengira Dayun adalah dalang, patih atau penasihat sebab jika ditanya Dayun selalu mengelak dengan menjawab, dia adalah staff khusus kerajaan.
Dayun manyun. Kini bibirnya entah lebih panjang berapa senti. Ia bergetar marah, sekaligus kecewa, ingin menangis tapi malu juga. Ini patah hati pertama Dayun, lalu dirinya lesu dan ingin mencoba membela diri membalas inbox Angsara. Namun gerakannya tertahan. Ia sadar apa yang disampaikan wanita itu benar semua.
Baiklah, kini Dayun mengambil nafas dan hendak menulis kata-kata. Ia sepertinya pernah tahu kata-kata ini dari tuannya. “Apa yang kamu bilang tentangku itu benar, aku tak cukup sempurna untukmu yang segalanya. Namun aku punya ruang kosong yang bisa jadi tempatmu membuang segala penat, kecewa dan tidur. Hidup telah banyak mengujiku dan aku bisa lulus bahkan jika harus bertambah lagi satu ujianku yakni menunggumu.” Kemudian diakhir kalimatnya, Dayun mencoba berimprovisasi. “Aku bodoh tapi aku sadar bahwa ada harapan dikutuk dalang agar dipecat jadi wayang khlitik dan selamanya bersamamu.”
Baru saja Dayun akan menekan tanda kirim, notifikasi baru masuk. Angsara Jelita mengunggah sebuah foto. Foto seorang perempuan dengan postur tubuh sangat kurus dan pipinya agak peyot memeluk laki-laki yang lebih tinggi dan agak kurus yang bercaping. “Bertemu cinta pertamaku.” seketika Dayun merasa pintar, dihapusnya semua kata-kata yang belum sempat dikirim. Manyun yang sedari tadi menghias wajah kini berganti senyuman lalu tawa yang keras. “Hahahaha ... Hooalah ... Assseeeeemm! Podo podo tibak e.”
Sumber gambar: sujiwotejo.com
No comments:
Post a Comment