Tradisi Ideologi - FLP Blitar

Tradisi Ideologi

Bagikan
Oleh : Subek A. B. 

Di siang cerah nan terik. Bre dan Im lekas mereggangkan tubuh dan menjujurkan kedua kakinya di rerumputan bawah pohon pisang tepian ladang. Hembusan angin kencang menemani mereka beristirahat sejenak, setelah bekerja dari subuh merawat tanaman tembakau varietas terbaik bahan cerutu di dearahnya.

Merasa tubuhnya sudah cukup rileks, Im langsung mengeluarkan sebuah radio portabel kecil dari dalam tas. Radio seukuran kotak kapur itu bergegas Ia nyalakan, mencari-cari stasiun radio yang suaranya jernih. Tepat minggu ini negara mereka tengah melaksanakan serangkaian festival kemerdekaan. Sebuah acara wajib nasional yang dilaksanakan selama satu minggu penuh setiap awal bulan Mei.

Ya ... kemerdekaan negara yang terletak di tepian pelosok bumi ini memang diperoleh lewat serangkaian peristiwa penting selama satu minggu, minggu pertama bulan Mei tahun 1870. 
Bahkan, ada undang-undang khusus yang mewajibkan selama satu minggu penuh, seluruh media baik daring maupun cetak, nsional maupun lokal. Harus menyiarkan tentang minggu kemerdekaan ini, wajib!

Bahkan setiap harinya selama satu minggu itu, kepala negara setiap jam 9 pagi sampai 11 siang melakukan pidato kenegaraan, yang disiarkan langsung lintas media. Saat pidato itulah segenap rakyat harus menyaksikan, medengar, menyimaknya dengan seksama. Maka di jam-jam itu seluruh kegiatan kerja, belajar mengajar, dan lalu lintas terpaksa harus dihentikan demi momen penting ini. Memang tidak ada pengawasan khusus akan hal itu, namun komitmen kuat setiap rakyat negeri itu terlampau cukup untuk mengawasi pribadi masing-masing.

“Gimana Im?”

“Tenang Bre, nah nah ... nih ketemu.” Im melatakkan radionya di tanah dan mereka berdua menydengarnya dengan seksama.

      “Bapak-Ibu, Saudara-saudara, sahabat-sahabat. Seperti diawal yang saya sampaikan tadi ...”

“Yah ketinggalan kita” Bre menyeletuk sambil menggaruk-garuk lengan yang gatal.

“Huuusss, dah dengerin aja!”

       “Ingat ... ingat dan catat, bangsa kita bukan bangsa rendahan!, kita bukan bangsa babu, bukan bangsa pengecut, jelas bukan pula bangsa lemah yang kere!. Kita adalah bangsa T! Terdepan, Terpintar, Termaju, Terkuat, Terkaya, Termakmur, lantas juga Tersantuy!

Lihat dan kenanglah bagaimana para pahlawan dan pendiri negara ini dulu dengan santuynya berjuang. Bukalah buku-buku sejarah, dan lihatlah foto-foto perjuangan mereka di museum-museum. Lihatlah senyum-senyum mereka selalu mengembang di tengah pertempuran. Lihatlah foto mereka bermain petak umpet di tengah mempertahankan pos-pos jaga yang diserang musuh. Lihatlah foto tokoh pejuang diplomasi kita tetap tenang mencuci baju saat rumahnya dikepung moncong-moncong senpan berpeluru tajam!
Saksikan bagaimana para pejuang kita yang tertangkap, tetap bergembira ria sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika akan dipenggal.

Itulah Santuyisme! Ideologi juga dasar negara ini. Ideologi sempurna tanpa cacat yang dicetuskan Bapak Pendiri kita. Sebuah ideologi yang mengakar kuat pada budaya kebiasaan masyarakat bangsa ini sejak turun-temurun ratusan tahun lamanya. Sebuah ideologi yang tanpa diajarkan sudah melekat mendarah daging disetiap pribadi. Tak hilang meski terjajah pemikiran-pemikiran asing selama berabad-abad. Itulah Santuyisme! Santuyisme bukanlah pemikiran yang diada-adakan, lalu terlalu amat disakralkan bak pemikiran dari langit. Bukan pula pemikiran Individu ‘Berjasa’, yang secara halus dipaksakan harus disetujui dan diakui oleh seluruh rakyat. Bukan! Dalam Santuyisme tidak ada kekang terhadap pemikiran lain, apapun itu. Bahkan jika pemikiran yang dianggap menyimpang juga menentang Santuyisme, tak akan ada cap radikal. Tidak!

Karena Santuyisme adalah memang pemikiran yang melekat langsung sejak lahir pada diri dan jiwa segenap rakyat sebangsa setanah air. Santuyisme tidak memaksa diri segenap rakyat untuk menjiwainya. Maka ingat jikalau ada seorang Santuyist radikal, mengancam pemikiran lain diluar Santuyisme di Negeri Ini, maka Ia bukanlah Santuyist sejati. Maka dari itu, marilah kita---”

“Lah kok mati Im?”

Bergeas Im mengambil radio kotak itu, dibolak-balikanya dengan seksama.

“Habis kali baterainya, kayaknya lupa gua cas kemarin” melihat kondisinya ditengah ladang yang jauh dari rumah, Ia lantas menaruhnya lagi dan tak ambil pusing.

“Lah tapi kan ...” tampak Bre gelisah.

Namun tak ada jawaban dari Im. Im hanya terfokus menikmati rokok sembari rebahan. Melihat temanya yang acuh, Bre beranjak, Ia berjalan ke tepian ladang tebu tetangga, memotek satu batangnya. Dan kembali duduk, dikupasnya hati-hati, lalu menyesap batang tebu itu dengan rakus. Sesekali Ia menepuk kakinya yang digerayangi semut.

Tulungagung, Minggu, 25 Agustus 2019 


No comments:

Pages