Menjadi Diri Sendiri - FLP Blitar

Oleh : Ahmad Radhitya Alam

Kadang kita merasa tidak percaya diri dengan apa yang kita miliki. Merasa rendah diri dan ingin menjadi orang lain. Padahal diluar sana, masih banyak orang yang masih memiliki kekurangan. Hal itu karena kurangnya rasa syukur kita terhadap Allah Swt. Atau juga kita telah hanyut dalam budaya pop yang membuat kita mudah gengsi. Mungkin kita malah kelewat jauh meninggalkan budi pekerti, dan menanam subur siklus bullying.

Menjadi diri sendiri, itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku telah jenuh dengan hal-hal plagiasi di luar sana. Aku memang pemuda tanggung yang biasa saja. Tidak ingin menjadi siapa-siapa. Karena aku adalah aku, jangan samakan dengan orang lain, karena aku tidak suka dibandingkan.

Kalau ditakdirkan menjadi orang yang besar itu adalah aku. Kalaupun kecil dan dipandang sebelah mata, itupun juga tetaplah aku. Aku bangga dengan diriku sendiri, yang sederhana dan tidak neko-neko. Karena itu adalah pemberian Tuhan, hal yang tak bisa kita elakkan.

Bicara tentang gengsi, aku hidup di lingkungan itu. Banyak teman bertopeng yang merasa hebat padahal tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya nol besar. Ada pula yang menguras keringat orang tuanya untuk memenuhi gaya hidupnya. Sampai ada yang menyuruh orang tuanya pergi bertualang keluar negeri untuk menjadi TKI. Banting tulang sana-sini untuk sang buah hati. Tetapi sang buah hati malah tak punya hati, malas-malasan dan tak mau belajar semau sendiri.

Padahal kalau dipikir-pikir itu tidaklah perlu. Bukankah menjadi diri sendiri itu lebih  baik. Jika memiliki rezeki lebih memberi, jika kurang mampu menerima. Itulah rantai kehidupan yang telah direncanakan. Kewajiban  kita hanyalah belajar untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Bukan hanya menuntut hak serta bersolek pada topeng kemalasan.

Ada yang berpakaian norak dianggap bergaya. Ada yang tampil  apa adanya dianggap mati gaya. Ada yang membanting tulang orang tuanya dianggap kaya. Ada yang kaya hidup sederhana dianggap papa. Ada yang pamer ibadahnya dianggap taat. Ada yang gemar tirakat dan ibadah tanpa update di social media dianggap laknat. Ada tirani bersabda keadilan dianggap bijaksana. Ada pelaksana keadilan dan kebijaksanaan dianggap pencitraan belaka. Kadang hidup memang selucu itu. Hanya Tuhan yang mengetahui segala kebenaran di dunia ini. Karena topeng kemunafikan telah dijual bebas di sana sini.

Tak perlulah sombong dengan kepintaran. Mengikuti olimpiade dan kejuaraan akan mengajarkan kita tentang terus belajar dan mengingatkan kita bahwa banyak yang belum kita mengerti. Masih banyak yang belum tercapai di luar sana. Tak perlulah sombong dengan kekuatan dan kekayaan. Mendaki gunung akan mengajarkan kita bahwa kita hanyalah hamba Tuhan yang kecil. Bahwa uang tidak bisa membeli segala. Bukankah di belantara tak ada toko yang buka? Bukankah di alam terbuka yang kita butuhkan adalah kerendahan hati dan kerja sama?

Mungkin inilah semua yang kurasakan saat ini. Aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Menjadi insan yang sederhana apa adanya. Kau boleh saja menghinaku karena itu, karena aku tidak akan mempedulikannya. Aku hanya ingin menikmati nikmat Tuhan dengan syukur. Juga merasakan kehangatan keluarga dengan terus berbaur.

No comments:

Pages