Kalau ditanya kenapa saya tertarik menulis esai, jawabannya mungkin, karena saya menemukan “rumah” di dalamnya.
Rumah yang pintunya terbuka, dindingnya tidak kaku, dan atapnya bisa dibongkar pasang sesuai kebutuhan.
Tidak seperti puisi yang penuh simbol, atau cerpen yang menuntut plot dan karakter, esai memberi ruang lebih longgar bagi pikiran untuk keluar masuk tanpa terlalu banyak protokol.
Awal ketertarikan saya pada dunia menulis, seperti banyak anak muda lain, pintu pertamanya adalah puisi.
Saat itu, rasanya keren sekali menulis bait-bait dengan kata-kata yang melompat-lompat, meski sebagian besar hanya saya sendiri yang memahami.
Setelah itu, belajar menulis cerpen, mencoba memintal alur dan tokoh, sambil meniru gaya penulis yang saya baca.
Juga, sempat bermimpi menulis novel, meski tak semua naskah yang saya mulai berhasil sampai halaman terakhir.
Perjalanan itu semakin serius ketika bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Blitar.
Di sana, bertemu banyak kawan seperjuangan yang sama-sama gemar mengutak-atik kata.
Ada yang tekun menulis cerpen, ada yang rajin membacakan puisi, ada juga yang sibuk menggodok novel.
Pertemuan rutin, diskusi naskah, hingga bedah karya membuat menulis bukan lagi sekadar hobi pribadi, melainkan jalan sunyi yang ditempuh bersama-sama.
Namun, sebelum mengenal esai, sebenarnya saya lebih dulu menulis berita.
Itu terjadi karena ikut ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah.
Saat itu saya belajar disiplin 5W+1H. Berita tidak boleh berputar-putar; harus jelas siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana.
Dari situ, terbiasa menulis ringkas, tapi juga sering merasa terbatasi. Karena bagaimanapun, berita selalu menuntut fakta, bukan opini.
Kini, menulis esai terasa lebih menarik. Bagi saya, esai adalah jalan tengah antara kebebasan sastra dan ketegasan jurnalistik.
Ia adalah prosa nonfiksi yang disajikan lugas dan jelas, berbeda dengan puisi atau cerpen yang seringkali mengundang banyak tafsir.
Esai juga lebih elastis, tidak terikat teori, tidak terjebak pada syarat-syarat struktural yang kaku.
Bayangkan saja, cerpen selalu menuntut alur, konflik, dan resolusi.
Puisi selalu mengharapkan majas dan rima yang pas.
Berita menuntut data. Tapi esai? Silakan saja. Mau ditulis dengan gaya santai atau ilmiah, reflektif atau argumentatif, semua sah-sah saja.
Mau diksinya lugas, puitis, atau bahkan naratif panjang, juga tidak ada yang melarang.
Saya pernah membandingkan begini: esai itu ibarat makanan siap saji, langsung bisa disantap pembaca.
Sementara puisi lebih seperti bahan-bahan mentah: cabai, bawang, garam, dan minyak goreng.
Pembaca masih harus mengolahnya sendiri menjadi masakan sesuai selera.
Cerpen juga butuh “dapur” yang lebih lengkap, karena harus ada bumbu dramatik, pengolahan karakter, dan penyajian yang runtut.
Nah, esai justru menawarkan kepraktisan.
Lewat esai, saya bisa menceritakan banyak hal dengan cepat dan tidak terlalu panjang.
Bisa tentang pengalaman pribadi, tentang isu sosial, tentang literasi, bahkan tentang hal-hal remeh yang sering diabaikan orang.
Semua bisa ditulis tanpa perlu menunggu ide sebesar novel atau suasana hati sepekat puisi.
Esai memberi ruang untuk menuliskan yang sederhana, tetapi tetap bernilai.
Mungkin inilah alasan kenapa saya semakin betah menulis esai.
Ia konkrit, to the point, dan tidak menguras energi terlalu banyak.
Esai bisa lahir dari percakapan sehari-hari, dari perjalanan singkat, atau dari secangkir kopi di sore hari.
Tentu, menulis esai bukan berarti saya meninggalkan puisi, cerpen, atau bahkan berita.
Semua genre itu punya keistimewaan sendiri.
Tapi kalau saya ditanya sekarang, di usia segini, kenapa lebih memilih esai? karena ia lebih dekat dengan cara saya berpikir dan berbicara. []
Tabik,
No comments:
Post a Comment