Jumat, 26 November 2021, Relawan Pemuda Peduli Perempuan dan Anak (RP3A) berkunjung ke MI Al Maarif, Ngadri, Binangun, Kabupaten Blitar.
Sekolah yang dikelola Lembaga Islam Baitun Naim tersebut masih memiliki tanah yang luas, serta kebun yang asri di dekat kantin.
RP3A datang ke sekolah tersebut dalam rangka Festival Kaum Muda untuk Iklim dan Kemanusiaan. Tak kurang dari 100 bibit ditanam mulai dari bibit pohon, sayuran hingga tanaman obat.
Anak-anak begitu antusias mengikuti agenda ini, mereka diperkenalkan macam-macam jenis tanaman, cara menanam hingga dampak perubahan iklim jika pohon semakin habis ditebangi.
Tradisi menanam pohon
Dari cerita masyarakat, menanam pohon sudah jadi tradisi orang Jawa, termasuk di Blitar. Tidak hanya pohon, namun juga tanaman untuk keperluan konsumsi dan pengobatan.
Misalnya, rumah-rumah zaman dulu selalu ada pohonnya, terutama di bagian depan. Pohon-pohon yang biasa ditanam adalah Rambutan, Mangga, Blimbing dan Jambu.
Keberadaan pohon itu dipercaya sebagai tatanan rumah, sekadar iyup-iyup (peneduh) atau agar menjadi tempat singgah burung prenjak hingga agar membuat tamu nyaman.
Di pekarang samping juga ada tanaman untuk keperluan konsumsi dan pengobatan.
Cerita ini mungkin hanya disampaikan secara turun temurun via lisan, belum sempat "disakralkan" sebagai naskah akademik atau dijadikan dasar pelestarian tradisi.
Sekarang tatanan itu sudah berubah seiring bertambahnya jumlah penduduk, pemukiman-pemukiman baru terus dibangun, profesi petani banyak ditinggalkan sehingga lahan produktif ditimbun beton-beton.
Namun hilangnya tradisi menanam itu juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan sains. Dulu tidak ada AC atau kipas angin, cara agar suasana sejuk yang dengan berada dekat pohon.
Selain itu juga perkembangan ilmu kesehatan, obat-obat kimia menggantikan peran jamu tradisional dari daun atau rimpang tanaman. Meskipun waktu sekolah kita belajar tentang tanaman obat keluarga (Toga), namun tradisi menanam itu sendiri yang sudah mulai luntur.
Kembali ke alam
Pandemi covid membuat manusia mulai mencari alternatif, misalnya kembali ke alam. Cara-cara tradisional kembali dipercayai khasiatnya. Misalnya minum air kelapa, seduhan jahe, kunyit hingga pengobatan tradisional yang memanfaatkan daun-daun obat.
Makin menarik ketika ternyata itu mudah ditanam, akhirnya mulailah orang menanam di rumahnya masing-masing. Tak jarang kita temui rumah-rumah perkotaan yang dipenuhi pot-pot tanaman, serupa mini garden di teras rumah.
Oksigen kecil untuk rumah
Kita harus kembali menanam. Jika ada lahan cukup, kita bisa menanam pohon, bisa dari bibitnya.
Pohon-pohon yang menghasilkan buah. Selain buahnya bisa dinikmati, pohonnya bisa memperbaiki lingkungan, juga menyumbang oksigen agar mitokondria dalam tubuh kita berfungsi maksimal yang itu berarti kita masih bisa melanjutkan hidup.
Pemerintah juga bisa memperbanyak ruang hijau dan konservasi hutan.
Pada skala rumahan, tradisi menanam itu bisa kembali digalakkan. Merawat tanaman dalam pot-pot minimalis menambah suasana sejuk dan memperbaiki kesehatan, tidak saja fisik namun juga mental.
Apalagi jika tanaman tersebut bisa dimanfaatkan daun, rimpang atau buahnya sebagai penjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.
Di era sekarang ini, menanam jadi skill yang harus dilatih. Sekolah-sekolah harus mulai menjadikan ini bagian dari kegiatan pembelajaran. Entah melalui ekstrakurikuler atau program insidental.
Kesadaran akan pentingnya menanam, merawat tanaman, pohon, menjaga alam dari sampah plastik sudah begitu mendesak. Semua pihak harus terlibat.
Ayo menanam untuk kehidupan yang lebih baik. []
Blitar, 30 November 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
No comments:
Post a Comment