Sepotong Hati di Kyoto (2) - FLP Blitar

Sepotong Hati di Kyoto (2)

Bagikan
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz


"Saya kerja di salah satu Kawayuka, Kyo-Ryori Fumiya," Jelasnya.

Sembari mencari informasi tempat yang diberikan Mia, dia menanyakan tujuan kedatanganku ke Kyoto. Dua tahun lalu aku memang ke Jepang, namun untuk sebuah agenda di Tokyo. Kami tak memungkinkan untuk bertemu. Jarak Tokyo dan Kyoto cukup jauh.

Kali ini, mungkin Mia mengira kedatanganku karena sebuah agenda yang sama. Padahal aku sendiri juga tak tahu pasti, apa yang ingin kukunjungi di tempat asing ini, selain bertemu Mia.

"Aku cuman liburan di sini," Jawabku.

"Sama siapa?" Tanya Mia.

"Sendiri."

Mia tak langsung membalas, sampai aku tertidur. Lelah perjalanan seharian. Suhu di Jepang sebenarnya sedang stabil, apalagi menjelang musim panas begini. Namun bagiku masih dingin, karena terbiasa dengan suhu di atas 20 derajat celcius.

-00-

Kawayuka ternyata adalah sebutan untuk kedai makanan dan restoran di sekitar sungai Kamogawa. Berada di distrik Kamigyo-ku. Dari penginapan aku naik bus menuju lokasi yang diberikan Mia. Ternyata tak begitu jauh. 

Sekitar halte pemberhentian, aku menyewa sepeda. Sepertinya ini lebih baik daripada harus jalan kaki mencari lokasi yang tak pasti. Dalam perjalanan aku membeli dua buah onigiri untuk mengganjal perut. Keinginan untuk langsung menemui Mia pun beralih sejenak untuk menyusuri tepi sungai Kamogawa yang indah dan bersih. Ada banyak pohon sakura, yang sepertinya baru lewat musim semi.

Mia mengirimkan lokasinya kembali, ia tinggal di desa Keihoku. Aku lekas menuju lokasi dengan bantuan Google map. Kyoto memang jauh berbeda dengan Tokyo. Kota ini sebagian masih mempertahankan bangunan lama.
Desa Keihoku

Di sekitar tempat tinggal Mia, masih banyak bangunan kuno, Machiya, yang berdinding kayu dan kertas tipis. Apa kalau musim dingin tidak kedinginan ya? Pikirku.

Beberapa rumah lain sudah dikombinasikan dengan arsitektur modern. Lamat-lamat kudengar suara orang memanggilku, aku mencari lokasi suara. Dari lantai dua seseorang melambaikan kain dan agak berteriak : Angga-kun.

Itu Mia? Senyum polosnya menyambutku. Ia lekas menuruni tangga, aku pun mengayuh sepeda ke arahnya. Pintu depan rumahnya terbuka dan muncullah sosok yang ingin kutemui selama ini.

"Mia," Sapaku.

Aku berniat memeluknya, namun ternyata Mia justru membungkukkan badan.

"Tak menyangka kamu ada disini," Ucapnya.

Ia mempersilahkanku masuk. Dari banyak perempuan Jepang yang kutemui sepanjang jalan tadi, sepertinya Mia tak nampak terpengaruh. Dia tetap seperti dulu, meski nampak lebih formal.

Di dalam rumah, seorang perempuan tua menyambutku. Sekilas mereka berbincang dalam bahasa jepang yang tak kumengerti artinya.

"Ini nenek saya," Jelas Mia.

Nenek? Apakah Mia memang benar-benar menemukan keluarganya di sini? Aku berharap Mia bercerita banyak tentang apa saja yang ia jalani selama hampir 4 tahun di Kyoto.

Baca Lanjutannya klik DISINI
Baca Sebelumnya klik DISINI

No comments:

Pages