Sepotong Hati di Kyoto - FLP Blitar

Sepotong Hati di Kyoto

Bagikan
 | Oleh Ahmad Fahrizal Aziz




"Belum tentu juga dia mau menemuimu," Ucap Gin padaku.

Ya. Belum tentu, bukan karena tidak mau, tetapi karena dia sibuk. Sudah kukabari sebelumnya, bahwa aku akan ke Kyoto pada libur semester. Dia menjawabnya dengan singkat, dan tak mau berjanji menemaniku berlibur disana.

"Saya sibuk," Jawabnya melalui pesan Whatsaap.

Hampir 4 tahun pasca kelulusan SMA, aku dan Mia tak pernah bertemu. Ia memilih ke Jepang, mencari jejak keluarganya. Ayah Mia konon orang Jepang, meski ia tak pernah bertemu. Ibunya hanya memberikan wasiat sebelum meninggal, untuk ke Kyoto.

Mia juga sedikit berubah. Dia lebih sering menggunakan kata "Saya" untuk berkomunikasi dengan kami, teman sekolahnya dulu. Termasuk dengan Gin dan Marsha. Terasa kaku, dan asing.

Padahal, kami satu geng. Berempat. Satu kelas sejak kelas XI SMA. Bahkan kami berjanji untuk kuliah di kampus yang sama, namun Mia berbeda. Dia akan ke Jepang, sebagaimana wasiat Ibunya.

-00-

Pasport dan Visa sudah kusiapkan. Tiket pesawat juga kupesan. Gin dan Marsha tak bisa menemaniku. Memang butuh dana cukup untuk pergi kesana, aku pun paham itu. Harapan untuk kumpul kembali berempat sepertinya tertunda lagi.

Dari Malang, aku harus bertolak ke Jakarta, ada penerbangan langsung dari Cengkareng ke Kansai, Osaka. Butuh sekitar 6 Jam penerbangan. Lebih dekat dari Osaka jika ingin ke Kyoto, dibandingkan dari Tokyo.

"Kalau udah cinta mati apapun dilakuin dah," komentar Gin padaku.

Banyak yang mengira begitu, termasuk Marsha. Ketertarikanku dengan Mia sepertinya begitu terlihat, sejak SMA. Mia hanya meresponnya biasa. Kami tak pernah benar-benar dekat. Juga tak bisa disebut jauh. Memang sulit membahasakannya.

Lagipula, banyak yang tertarik dengan Mia. Dia berkulit putih, matanya agak sipit, senyumnya polos, rambutnya tergerai anggun. Benar-benar seperti orang Jepang.

Mungkin karena itu, Mia menganggap biasa lelaki yang mendekatinya. Terlalu banyak, dan mungkin aku salah satunya. Atau dia menganggapku sebagai teman, dan mungkin sahabat satu geng. Tidak lebih.

-00-

Setibanya di Kansai, aku langsung menuju stasiun kereta. Lokasinya berada di lantai II terminal 1 Bandara. Aku memilih kereta Nankai menuju stasiun Tengachaya lalu oper ke Kereta Hankyu yang langsung menuju Stasiun Kyoto. Lebih dari satu jam perjalanan.

Kuaktifkan pocket wifi dan kukirimkan sebuah pesan ke Mia, bahwa aku sedang perjalanan menuju Kyoto. Awal bulan Juni di Kyoto masih masuk musim semi, suhunya cukup dingin, meski sudah di atas 10 derajat celcius.

Sesampainya di stasiun, aku langsung berjalan menuju Shikoji-dori, singgah sejenak di kedai, memesan secangkir teh untuk menghangatkan badan. Mia belum juga membalas pesanku. Suasana sudah mulai gelap.
Shimogyo-ku

Aku langsung menuju penginapan, di Teppo-cho, Shimogyo-ku. Penginapan super murah yang kupesan lewat internet. Aku juga belum tahu lokasi pasti Mia. Dia begitu irit memberikan informasi. Padahal Kyoto termasuk kota besar di Jepang yang memiliki 11 distrik. Namun menurut perkiraanku, lokasi Mia tak jauh dari pusat Kyoto.

Dua jam kemudian, Mia membalas pesanku. Ia mengirimkan lokasinya. Sebuah tempat yang tak jauh dari Sungai Kamogawa.

Baca lanjutannya, klik DISINI

No comments:

Pages