Sedikit ulasan yang akan saya bagikan kali ini adalah tentang bedah buku bertema local content yang baru saja terselenggara di Balaikota Koesomo Wicitro tanggal 30 November 2023, Saya bersama rekan-rekan FLP Cabang Blitar menjadi salah satu tamu undangan yang ikut meramaikan acara yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Blitar.
Acara dimulai pada pukul 07:30 dan akan berakhir pada pukul 11:30. Buku yang di bedah kali ini berjudul Bosho Camondan; Bahasa pergaulan dan perjuangan karya dari penulis ternama kelahiran Blitar Bpk Yanu Aribowo
Bahasa Camondan, membaca sekilas membuat saya merasa asing dan sama sekali tidak mengetahui darimana asal-muasal bahasa tersebut, hal ini lumrah karena memang bahasa camondan sendiri tidak diajarkan di bangku-bangku sekolahan atau sejenisnya.
Setelah serangkaian acara baru saya mengetahui bahwa bahasa camondan sendiri adalah bahasa khas (Prokem) yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan sebelah barat Alun-Alun Kota Blitar. Terbentuknya bahasa camondan diperkirakan terjadi pada awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, pada rentang tahun 1945-1947.
Bahasa camondan yang pada awalnya hanya dipergunakan untuk bahasa pergaulan atau tegur sapa kemudian berkembang menjadi bahasa perjuangan akibat masuknya pasukan penjajah Belanda di Kota Blitar pada Agresi Militer Belanda II pada Tahun 19 Desember 1948. Hal inilah yang menjadi awal mula para penutur bahasa camondan yang semula hanya sebagai bahasa pergaulan berubah menjadi bahasa rahasia agar komunikasi di tengah masyarakat desa kauman tidak diketahui oleh mata-mata dan pera penjajah Belanda.
Bahasa camondan tidak seperti bahasa prokem jakarta atau bahasa walikan yang familiar berasal dari Kota Malang, keunikan bahasa camondan terletak pada pembentukan kosakata yang lebih bebas. Bahasa camondan sendiri adalah bahasa plesetan dari bahasa Jawa, sedikit yang saya kutip begini kira-kira dalam penuturan bahasa camondan:
"Yindor nggle."
"Iya nak."
"Iyo Le"
"Yandu kemlak-kemlak nengging danion."
"Ayo jalan-jalan di stadion."
"Yoh mlaku-mlaku ning stadion."
"Yimbis nggle?"
"Bagaimana nak?"
"Piye le?"
"Wondis wundis mengglek?"
"Kamu sudah makan?"
"Sampean wis mangan?
Sepanjang acara saya dan rekan-rekan perwakilan dari FLP Cabang Blitar berusaha untuk dapat memahami bagaimana pengucapan dan penggunaan bahasa camondan. Karena seperti awal kemunculan bahasa camondan yang hanya digunakan oleh kalangan tertentu membuat bahasa ini bersifat privat sehingga tidak semua masyarakat kota atau bahkan di lingkungan kelurahan kauman mampu memahami dan menggunakannya.
Selaras dengan penulis bersama insan-insan literasi di Kota Blitar beserta perwakilan dari masyarakat penerus bahasa camondan kami semua sepakat untuk melanjutkan dan mempublikasikan bahasa camondan agar semakin dikenal dan dapat dipelajari oleh semua kalangan khususnya masyarakat Kota Blitar sehingga bahasa camondan terus terjaga eksistensinya dari masa ke masa dan dapat dipergunakan sebagai ciri khas atau bahasa gaulnya masyarakat desa kauman dan Kota Blitar.
Esai
Ragil Anim
30/11/2023
No comments:
Post a Comment