Keluarga Kecilku - FLP Blitar

Keluarga Kecilku

Share This
 animasi-bergerak-keluarga-0017
Oleh Mohammad Rifai

Malam itu HP Samsung J4  Ram 2/16 berdering. Kulihat papan layar  bertuliskan Ibuk dengan nomor akhir 598. Langsung  kutekan tombol terima dengan warna hijau.

"Assalamualaikum, Nak"  sahut Ibu mengawali percakapan ini.

"Waalaikumsalam, Buk"  kujawab dengan nada rendah penuh hormat.

Tiada angin ataupun mendung. Hujan pun langsung turun ke bumi, itulah perasaanku waktu itu. Ibuku telah mengutarakan apa yang telah terjadi pada keluargaku, bahwa kedua orang tua ku telah berpisah untuk selama-lamanya. Ya, mereka telah bercerai. Aku berusaha menerima kenyataan ini dengan hati tegar meski air mataku terus bercucuran.

Mungkin sudah lima bulan yang lalu, aku curiga dengan ayahku. Dia bermain wanita di belakang kami, dengan bukti ayah selalu menelpon nomor yg tak ku kenal sebelumnya. Aku membiarkannya dan berusaha tidak memberintahu ibuku karena aku merasa kasihan padanya.

Ibu selalu bekerja keras, tiada lain untuk membiayai kebutuhan kuliahku dan kecukupan di keluargaku. Namun respon dari ayahku seakan-akan tak menghargai kerja keras istrinya. Nasi telah menjadi bubur, itu perumpamaan yg kurasakan saat itu.

Sudah 60 menit ibuku berbicara via telpon. Dan dia berpesan untuk segera pulang melihat kondisi rumah.

"Iya, Bu. Besok pulang" sahutku untuk membalas ucapan ibuku.

Keesokan harinya, matahari bersinar sangat orange sekali, menunjukan waktu sore telah datang. Tibalah montor Supra fit bodi touring berwarna hijau kolaborasi hitam, tiada lain montor ku, yang kukendarai dengan sahabatku waktu di bangku SMP Herman nama nya.

 Tanpa fikir panjang, aku langsung mengetuk pintu rumahku yang terbuat dari kayu jati. Tak lama kemudian ayah membuka pintu dengan perlahan.

"Assalamualaikum"  Aku ucapkan salam sebelum masuk rumah.

 "Waalaikumsalam"  sahut ayahku, "Kok ndengaren! Muleh nggak kabar-kabar, Le?"  pertanyaan ayahku dengan nada penuh kasih sayang.

"Mboten, Pak. Niki wau nembe saking Malang. Terus mampir grio kaleh endang". 

Herman dengan santainya duduk di kamar tamu rumah ku. Beberapa menit kemudian Herman ku beri kode untuk segera keluar sebentar agar pembicaraanku dengan ayah tak terganggu.

 Aku tak bisa berbuat apa-apa, mataku seakan tak kuat menatap mata ayahku yang berbinar binar, mulutku serasa bisu, sulit untuk mengawali sebuah percakapan. Namun hati terus berkata, kamu butuh penjelasan Zafrann, kata hati sanubariku.  Oke!!  Bismillah. " Pak ada apa dengan keadaan keluarga kita?. "
Itu pertanyaanku.

Ayah menjawab, " Ibukmu di kandani wes nggak kenek. Wes sak karepe dewe."

Waktu itu aku tak bisa membela siapa siapa,  semua aku anggap salah. Ibuku menjelekkan ayah, sedangkan ayah juga menjelekkan ibu. " Lha, wong wedok neng omah kae sopo,Pak? "

Satu bulan yang lalu, aku melihat wanita ada di rumahku waktu ayahku keluar.

Ayahku menjawab, "Yo kui bakale ape tak rabi, aku tresno"

Hati ini hancur seketika ayahku berkata seperti itu, dugaanku sangat tepat sekali, bahwasanya ayahku sudah selingkuh sebelumnya dengan wanita tersebut. Aku tetap emosi, melihat sikap ayahku yang berubah 360°.

" Bapak, ndek wingi kae yo wis ngomong neng gene mak e, lek hubungane Bapak karo Ibuk cukup semene." lanjut Bapak.

Tak lama kemudian aku langsung keluar rumah dan mengajak Herman untuk segera pergi dengan hati yang sangat panas.  Akhirnya aku meninggalkan rumah tanpa pamit Bapak. Namun, di tengah perjalanan, masih berdekatan dengan rumahku,  hati ku berkata untuk pamit dulu kepada Bapak dengan baik. "Man! Man! balik lagi?" pintaku. "Ada sesuatu. "

Tanpa pikir panjang Herman memutar balik sepeda kami dan sampai di depan rumah. Ayahku tepat berdiri di depan pintu,

Tanpa basa basi, raga ini langsung memeluk erat-erat tubuh Bapak. Mata ini tak sanggup menahan air mata dan kucium kaki Bapakku sebagai rasa sayangku. Yang dimana banyak dosa yang kuperbuat. Sejelek-jeleknya Bapak, dia tetap bapakkuku. Tidak ada istilah mantan anak.  "Pak, ngapunten sedoyo kalepatan kulo?" Ucapku sambil mencium pipi Bapak.

Hermanlah yang menjadi saksi begitu pilu kedaan waktu itu.
Ayahku menyahut, "Wes, Le. Sampean lek ngene Bapak sedih?"
Itu jawaban dari ayahku.

Setelah mengungkapkan curahan isi hatiku, aku pamit dengan penuh cinta. Aku dan Herman segera pergi dari rumah untuk berangkat ke pondok. Di perjalanan aku meratapi semua ini.  Ya Allah apa salah hamba? Hingga kau berikan cobaan hidup hamba? Dengan memisahkan kedua orang tua hamba? Di sepanjang jalan air mataku terus mengalir. Herman berusaha menenangkanku.

 Setelah itu aku baru sadar bahwasanya kehidupan di dunia ini hanyalah sandiwara. Semua bisa terjadi jika Allah berkehendak. Tak perlu di sesali. Mungkin ini jalan yang harus kulewati. AkU harus bisa belajar dari setiap peristiwa dengan selalu sabar, tabah, dan ber husnudzan kepada kehendakNya.

Untuk Bapak semoga dia bahagia dengan wanita pilihannya dan jangan lupa tetap melaksanakan sholat berjamaah. Untuk Ibu, maafkan Zafran masih belum bisa menjadi anak yang baik. Terimakasih ibu telah mendukung lahir batin dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi ini.  Hanya ridhomu yang kunanti-nantikan. Semoga anakmu nanti bisa menjadi seseorang yang bijak, berilmu, berakhlak dan bisa mencintai wanita dengan sepenuh hati.

1 comment:

titiek setyani_titiek st said...

Bagus, semakin banyak berkarya semakin mengasah ketajaman pena Anda.

Pages