Sepotong Hati di Kyoto (3) - FLP Blitar

Sepotong Hati di Kyoto (3)

Bagikan
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz




Aku duduk bersila di ruang tamu. Mia datang membawa cerek dan dua cangkir kecil, lalu menuangkan minuman hangat bewarna kuning kehijauan. Sepertinya teh. Aromanya begitu harum. Satu cangkir disodorkan padaku.

"Silakan," Ucapnya.

Memang ada rasa canggung. Mia terlihat lebih dewasa, apalagi dengan cara berpakaian yang lebih mirip orang tua ketimbang perempuan Jepang seusianya.

"Disini kamu tinggal berdua?" Tanyaku membuka perbincangan.

"Tidak. Kami berempat, dengan paman dan bibi, paman sedang bekerja, bibi sedang keluar," Jawabnya.

Mia juga menjelaskan jadwal kerjanya mulai sore hari, hingga malam. Jelang musim panas, dia bekerja di Kawayuka sekitar Kamogawa. Musim-musim yang lain ia membantu bibinya di kedai daerah Gion-dori atau Gion Street.

"Sebentar lagi masuk musim panas, biasanya anak-anak sekolah disini ada liburan khusus," Jelasnya.

"Jadi pagi ini kamu tak ada jadwal? Bisa nemenin ke museum manga?" Ajakku.

Mia nampak ragu, namun sepertinya ia mempertimbangkan ajakanku yang langka ini. Lalu ia memberitahuku hanya bisa menemani sampai maksimal jam 2 siang. Sementara aku tak bisa memprediksi butuh berapa lama untuk menuju tempat itu, dan apa yang sebenarnya aku cari disana, selain ingin lebih tahu manga-manga Jepang yang sebagian menjadi favoritku.

Akhirnya kami hanya menepi di Sungai Kamogawa dengan bersepeda. Mia mengayuh sepedanya sendiri. Sebelumnya kami berkeliling desa. Jepang memang sangat ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda.

"Andai kamu datang sebulan yang lalu, bunga sakura bermekaran disini," Jelasnya sambil menunjuk pohon-pohon sakura yang sebagian tinggal menyisakan ranting.

Aku mengambil foto berdua dan mengirimkannya ke WAG. Kami punya satu grup yang hanya berisi 4 orang. Mereka meminta kami membuat video sapaan dalam beberapa menit. Temu kangen itu akhirnya berlangsung di WAG, dan kulihat Mia tertawa bahagia. Semoga dia benar-benar bahagia.

-00-
Kawayuka, Kamogawa

"Tak ingin pulang ke Indonesia?" Tanyaku, saat kami makan siang di Keihoku Kissabu.

"Pulang?" Responnya. Kata "pulang" mungkin menjadi asing untuk Mia, yang memang tak lagi punya rumah di Indonesia.

Mia menjual rumah peninggalan Ibunya untuk biaya ke Jepang. Orang sekitar juga tak banyak tahu tentang keluarga Mia. Selepas Ibunya meninggal, Mia hidup sebatang kara. Benar-benar sebatang kara.

Ayah pernah bercerita jika Mia adalah anak seorang diplomat Jepang, yang sedang bertugas di kedutaan besar di Jakarta. Ibu Mia seorang model. Mungkin kedua orang tua Mia memiliki hubungan gelap, hingga akhirnya Ibunya memilih tinggal di Malang, kami satu komplek perumahan.

Waktu Mia lahir, beberapa kali ayahnya menyambanginya dan ibunya di rumah itu. Namun menurut ayah saat itu Mia masih berusia bulanan. Sepertinya ayah Mia telah selesai ditugaskan dan harus kembali ke Jepang. Namun Ibunya bertahan di Malang sampai Mia besar.

Sejak Ibunya meninggal, Mia sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh keluarga kami. Ibu juga lah yang mengambilkan rapor Mia saat kelulusan. Mia benar-benar hidup sebatang kara. Tak banyak tahu siapa saja keluarganya.

-00-

"Pulanglah ke rumahku."

Mia menatapku lekat-lekat. Tatapan yang sama saat aku mengantarkannya menuju bandara kurang lebih empat tahun silam.

Mia menggelengkan kepala. Meskipun aku tahu tak mudah juga menjalani hidup di Jepang, karena sulitnya syarat menjadi warga negara Jepang.

"Rumahku disini, di Kyoto," Jawabnya.

Mia menceritakan bahwa ayahnya meninggal saat ia berusia enam tahun. Ayahnya meninggal di Kyoto. Karena itulah sejak kembali ke Jepang selepas tugasnya di Indonesia, ayahnya tak bisa lagi mengunjungi Mia.

Saat ibunya sakit, ibu Mia menghubungi dua keluarga besarnya. Lalu Ibunya mengirimkan foto Mia melalui email ke pamannya di Jepang. Mia memang mirip ayahnya, karena itulah kakak kandung ayahnya bersedia mengadopsi Mia menjadi anak angkat. Hanya saja urusan administratif tak semudah itu, karena Mia sudah berusia di atas 17 tahun.

"Tak ada lagi tempat pulang di sana. Saat ini saya sedang proses menjadi warga negara Jepang," Tegas Mia.

-00-

Sudah lewat jam 2 siang, kami berpisah di dekat halte. Mia harus segera kembali ke rumah untuk bersiap, dan aku akan menunggu bus lewat.

"Terima kasih sudah datang," Ucap Mia sambil membungkukkan badan.

"Mia."

Aku ingin berkata sesuatu, namun sepertinya lidahku terasa ngilu. Setelah aku masuk bus, aku tak tahu lagi kapan akan kembali dan bertemu Mia. Malang-Kyoto bukan jarak yang bisa didatangi setiap tahun. Butuh waktu-waktu tertentu, dan entah kapan lagi waktu itu datang.

"Jika sewaktu-waktu ke Malang, hubungi aku ya. Langsung saja ke rumah, anggap itu rumah kamu juga. Kapan-kapan kesana lah, banyak yang merindukanmu," Ucapku.

"Terima kasih."

"Mia."

Lagi-lagi, aku ingin mengucapkan sesuatu, namun lidahku kembali ngilu. Sulit sekali berucap, sementara dua bus menuju Shimogyo-ku sudah lewat. Bus ketiga datang.

"Bus sudah datang," Mia mengabarkan.

"Iya, sampai jumpa Mia. Setelah ini aku pasti bakal rindu kamu," Pungkasku sambil tersenyum ke arahnya, dan lekas aku masuk ke dalam bus.

Kulirik dari jendela bus, Mia berbalik arah dan mengayuh sepedanya. Bus kian menjauh, membelah jalanan pusat Kyoto. Pertemuan yang terasa sangat singkat. Bahkan aku tak sempat mengucapkan sesuatu padanya, yang selama ini ingin aku ucapkan.

"Tembak langsung, ajak balik ke Malang," Kata-kata Gin terngiang di benakku.

Sepertinya Mia bertekad untuk menjadi orang Jepang. Disini mungkin dia menemukan keluarganya. Tak mudah untuk mengajak Mia kembali kesana. Tiba-tiba aku bersyukur karena tidak pernah mengungkapkan itu. Biarlah terkubur bersama waktu.

Setidaknya, pertemuan ini menerangkan padaku bahwa yang kukejar makin menjauh. Hati Mia sudah di tempat ini. Mungkin tak tersisa lagi di sana. Semoga tidak denganku, aku tak ingin meninggalkan apapun di tempat asing ini.

Kyoto begitu asing bagiku, meski sepotong hatiku ada di antara satu juta lebih penduduknya. Kyoto bukan tempatku pulang, lebih baik aku bawa kembali potongan hati itu. []

Baca Sebelumnya klik DISINI

No comments:

Pages