Membicarakan Linda Christanty
pada pekan terakhir Bulan Mei adalah jadwal rutinan FLP yang kesekian kali.
Sebenarnya aku tak terlalu mengenal siapa itu Linda, tapi pernah mendengar
namanya karena Mas Fahri yang menjadi pemateri hari itu dalam beberapa diskusi
sering menyebut namanya.
Rutinan hari ahad kemarin,
seperti biasa aku datang terlambat. Terlalu banyak yang dipersiapkan, padahal
jauh-jauh hari sudah menyusun jadwal bakal berangkat jam berapa, bawa apa apa
saja. Termasuk membawa bekal ‘Klenyem’ yang ternyata ada sedikit rasa pedas.
Hehe.
Sebenarnya keinginan untuk
berangkat karena ingin bertemu orang dan berbincang soal menulis. Meskipun pada
akhirnya hanya bisa mengikuti setengah jam diskusi, tapi bagiku sudah bisa
menjadi bagian charge energi untuk kembali menulis, seperti tulisan ini.
Apalagi setelah acara selesai, sebenarnya masih banyak yang ingin kudengar,
tapi ya gimana, untungnya ada sesi curhat sejenak.
Disclaimer, ya. Tulisan
kali ini nggak terlalu banyak bercerita tentang Linda Christanty, karena efek
datang terlambat jadi nggak banyak yang didengarkan. Tapi sejauh ingatanku,
obrolan kemarin sempat menyinggung soal ‘Kakek, Linda, Muhammadiyah’ serta
‘Hijab soal harga diri’.
Diskusi panjang yang menyenangkan
jika saja banyak yang menyadari bahwa rutinan seperti ini sebenarnya bisa saja
jadi sarana healing dan refreshing tipis-tipis. Menghilang
sejenak dari kesibukan, dan membicarakan sastra jadi hari minggu yang dulu
selalu kurindukan.
Dari rutinan hari kemarin, aku
mendapat pelajaran berharga bahwa penulis tak bisa hidup sendirian. Menjadi
penulis memang sering dikatakan miskin dan tak ada masa depan, tapi jika anti
sosial dan hidup menyendiri tanpa pernah terlibat dalam diskusi, bisalah
disebut masa depannya suram.
Aku merasakan sendiri, sebelum
datang hari ahad kemarin, sempat bilang sama Mas kalau ‘aku ingin bertemu
orang’. Aneh, ya. Tapi begitulah realitanya. Mungkin jika diskusi, Mas
memang jadi teman ngobrol yang menyenangkan, banyak sudut pandang unik di luar
nalar yang selalu diceritakan.
Tapi ternyata aku butuh orang
lain untuk diajak bicara. Itulah kenapa penulis tak bisa hidup sendirian,
menulis terus-terusan di kamar, seolah hidupnya bisa update dan sudah
berkomuninasi hanya lewat media sosial. Ah, menurutku penulis yang seperti ini
sebenarnya terlalu takut melihat kenyataan dan bertemu orang baru.
Seperti aku dulu di tahun 2015,
seringkali di kamar, menulis sendirian, mengirimnya ke koran, punya banyak
teman penulis dari media sosial. Tapi kenyataanya, di akhir tahun 2015 aku
memutuskan mencari teman penulis di kota ini, syukurlah bertemu dengan FLP dan
orang-orang yang bersemangat menghidupkan literasi.
Apapun yang terjadi dengan organisasi
ini, yuk sama-sama kita jadikan hari Ahad sebagai sarana healing sejenak
membicarakan sastra. Nggak usah berpikir tak menguasai materi, bukankah kita
bisa belajar bersama.
Menjadi kaya dari nulis nggak
cukup cuman bermodal nulis, tapi juga butuh skill lain, salah satunya kepekaan
yang bisa diasah dari diskusi dan bermodal skill public speaking, juga. Jadi,
lain waktu bisa nih kita ngobrolin apa aja sih skill yang dibutuhkan biar
penulis jadi punya banyak uang. :-D ***
No comments:
Post a Comment