Resensi Buku Di Tanah Lada - FLP Blitar

Resensi Buku Di Tanah Lada

Bagikan
Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Jakarta - Gramedia Pustaka Utama 
Tahun Terbit: 2015
Jumlah Halaman: 254
ISBN: 978-602-03-1896-7
Subjek: Fiksi – Indonesia
Bahasa: Indonesia
Bentul Karya: Novel

      Pada akhir tahun 2021 kemarin saya baru selesai membaca buku Di Tanah Lada salah satu novel karya Ziggy pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta  Juara II 2014, sayang rasanya jika saya tidak sedikit mengulas novel yang menurut saya perlu untuk dibaca dan dipelajari ini.

       Di Tanah Lada menyajikan cerita dengan tokoh aku berupa anak kecil berumur 6 tahun yang suka membaca kamus Bahasa Indonesia pemberian Kakeknya bernama Salva atau dipanggil Ava dia selalu kemana-mana membawa kamus itu, tiap kali ada kosa kata yang tidak diketahui dia akan mencari maknanya dikamus tersebut, walaupun tidak semua kosakata dapat dia pahami, namun Ava tumbuh menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. 

   Suatu hari Ava tidak sengaja bertemu dengan anak berumur sepuluh tahun bernama P di rumah makan dekat Rusun Reno. Kala itu Ava baru saja pindah ke rusun yang dekat dengan tempat judi Papanya, sehingga dia belum mempunnyai teman dan P adalah teman pertama serta satu-satunya yang dimiliki.

      Ava dan P mempunnyai kisah hidup yang hampir sama, keduanya mempunyai Papa yang seringkali kasar terhadap mereka. Ava sendiri awalnya ingin diberi nama “Saliva” yang artinya ludah oleh Papanya, sebab menurut Papanya anak tersebut seperti Ludah tidak berguna, namun mama Salva menolak dan memberi nama Ava atau Salva yang artinya Penyelamat.

  Dalam cerita Papa Ava selalu menyebutnya anak haram tapi sampai akhir tidak ada kebenaran yang pasti yang jelas Papanya Ava memang rodok gendeng. Begitu pula tokoh anak lelaki P yang selalu mengalami kekerasan oleh Papanya, bahkan Papanya juga tidak memberinya nama.

     Tokoh Papa Ava adalah lelaki yang suka menghaburkan uang dengan berjudi, kerap melakukan kekerasan pada istri dan anak bahkan mungkin setan pun lebih baik darinya. Ava juga menggambarkan karakter Papanya dengan paragraf deskripsi sebagai monster. 

“Sikap Papa juga seperti monster. Dia mengeram-ngeram, berteriak-teriak ke orang-orang hanya karena mereka membawa paha ayam alih-alih dada ayam, menggebrak-gebrak banyak barang, membanting piring favoritku, dan tidur seberesnya dia marah-marah. Dia juga kuat kurasa semua monster kuat, Mungkin itu syarat terpenting untuk menjadi monster”. (Hal 3) 

    Penulis kerap menyajikan deskripsi atau dialog dari sudut pandang tokoh anak kecil yang polos sehingga membuat pembaca terkadang dapat menemukan humor gelap didalamnya. Ava dan mamanya sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Papanya, saat keluarga Ava baru pindah ke Rusun Reno, di ruang yang mereka tempati hanya ada 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi dan Ava tidak diperbolehkan tidur dikamar, karena itu kamar Papanya dan juga Papanya tidak mau tidur dengan Ava.

   Maka diri itu di hari pertama setelah pindah ke rusun Reno Ava gadis kecil ber-umur 6 tahun tidur dikamar mandi sedangkan mamanya tidak bisa berbuat banyak karena Papa Ava akan melakukan kekerasan jika tidak menuruti perintahnya, alhasil Mama Ava hanya bisa menangis, diam, dan hanya bisa merawat Ava jika Papa Ava tidak berada dirumah.

     Suatu hari Ava sedang tidur dikoper yang penuh dengan baju, yang disarankan oleh P, karena Ava tau kamar tidur yang ada hanya 1 di rusun itu, dan hanya boleh ditempati oleh Papanya saja maka dia tidur dikoper dari pada harus tidur di kamar mandi lagi.

   Kala itu Papa Ava melihat Ava tidur di koper alhasil Papa Ava marah besar dan hendak mengunci Ava didalam koper. Mama Ava tentu marah, mereka bertengkar hebat hingga tetangga berusaha merelai, tapi yang namanya monster pasti selalu menang dalam pertarungan, Papa Ava mengganggap orang-orang terlalu mencampuri urusan keluarganya.

   P juga sering kali mengalami kekerasan yang di lakukan oleh Papanya, pasalnya Papa P ini tidak suka melihatnya sehingga, P membuat tempat tinggal sendiri di dalam rumah dengan beberapa tumpukan kardus hingga membentuk rumah dan sering mengganti bentuknya agar tidak ketahuan kalau P bersembunyi didalamnya, suatu hari tangan P pernah di setrika oleh Papanya, tidak ada sebab selain tidak suka melihat anaknya.

    Hingga akhirnya Ava dan P kabur dari rusun itu, Ava mengajak P untuk tinggal dirumah neneknya di Tanah Lada dan menjanjikan bahwa hidupnya akan lebih bahagia. Namun diperjalan menuju rumah neneknya ,P menemukan fakta bahwa Papa yang selama ini tinggal bersamanya bukan Papa kandungnya, melainkan orang lain yang dia anggap kakak-kakak baik yang merupakan tetangganya, ternyata mereka adalah Papa dan Mama kandung P, yang dimana saat mereka masih berumur tujuh belas tahun, lahirlah P. 

    Meskipun Ava dan P memiliki Papa yang jahat, tetapi mereka tetap sayang dengan Papa mereka. P merasa kesepian ketika jauh dengan Papanya, padahal tiap kali Papanya melihat P, yang ada hanyalah siksaan belaka. 

“Aku nggak punya rumah, nggak punya Papa, nggak punya nama … Seenggaknya, dulu, meskipun banyak tikusnya, kamar 315 di Rusun Nero itu rumahku, Meskipun dia membakar tanganku pakai setrika, dia Papaku. Meskipun cuma satu huruf, itu dulu namaku. Sekarang … sekarang …” (Hal 152)

  Demikian juga Ava dia sayang pada Papanya, tetapi dia merasa lebih bahagia jika Papanya tidak ada dan hanya tinggal dia dan mama berdua. Sikap para Papa yang sering menyiksa mereka ini membuat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang skeptis dan berpikiran negatif. Mereka berfikir bahwa "semua Papa itu jahat" dan bukan Papa namanya jika tidak jahat. Bahkan, mereka percaya bahwa menjadi "Papa yang jahat" merupakan salah satu takdir kehidupan.

    Akhir cerita dari Ava dan P bisa teman-teman temukan sendiri bukunya Di Tanah Lada, walaupun merupakan buku fiksi mungkin diluar sana ada kehidupan seperti ini dan mengingatkan saya bahwa jika  manusia yang sudah bisa berpikir mengenai baik buruknya kehidupan dapat memilih jalan hidupnya, dia dapat memilih untuk memiliki pasangan, menjadi orang tua, dan ketika setiap manusia menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih, saya rasa berani bertanggung jawab atas segala keputusan akan lebih mengurangi merugikan dan menyusahkan orang lain.

No comments:

Pages