Badai - FLP Blitar

Oleh : Nezli Rohmatullaili

     "Nggak boleh! Kalau Bapak bilang nggak ya nggak, jangan ngeyel!" kata bapak dengan tegas. Matanya melotot ke arah putrinya, Rina.
     "Bapak kenapa sih, aku bukan anak kecil! Kenapa dilarang-larang? Lagi pula aku belum pernah lihat festival, Pak!" balas Rina tak mau kalah.
     "Tapi itu malam, nduk. Kamu kan anak perempuan, nggak baik keluyuran malam-malam."
     "Aku perginya nggak sendirian, Pak. Ada Santi, Wulan, sama Wawan."
     "Bapak nggak suka kamu pergi malam-malam cuma buat lihat festival. Bahaya, nduk. Kamu mau pulang jam berapa? Pagi? Apa nggak malu sama tetangga?"
     "Ah, bapak kolot!"

Rina yang tak sabar mulai diliputi emosi, ia tak tahan dengan sikap bapaknya yang menganggapnya seolah anak kecil. Ia bangkit dan berlari ke kamarnya kemudian menutup pintu kamar hingga terdengar bunyi BRAK! yang keras.

Cepat-cepat ibu datang menghampiri bapak. Di tangannya tergantung sebuah bungkusan kain berisi bekal.

     "Sudahlah, Pak, nanti juga lupa," katanya dengan suara sedikit serak. "Hati-hati Pak, apa ndak sebaiknya istirahat saja? Tadi kan baru panen cengkeh, besok saja melautnya." tambahnya kemudian mengulurkan bungkusan yang dibawanya.
     "Sebentar lagi Rina kan masuk kuliah, Bu, kita harus nyicil. Sudah, Bapak berangkat dulu."

Ibu mengantar bapak sampai di depan perahunya. Perahu kecil yang biasa dipakai mencari ikan bergerak-gerak terkena ombak. Warnanya biru laut di sisi mulai memudar. Lelaki paruh baya itu mulai mendorong perahu menuju laut.

Sehabis mengantar bapak, ibu menghampiri Rina di kamarnya. Gadis itu melamun sembari menatap ke luar jendela. Ia kesal, tapi rasanya keterlaluan juga karena mengatai bapaknya kolot. Sekarang, dada Rina terasa sesak.

Ini bukan kali pertama ia berdebat dengan ayahnya, tapi ia tak pernah mengatakan hal seperti itu. Paling ia hanya mendegus dengan keras kemudian mendengarkan musik bertempo cepat di kamarnya, tanpa membanting pintu seperti tadi.

     "Nduk, bapak cuma khawatir," kata ibu sembari mengelus kepala Rina dengan lembut. "Dari rumah kita ke kota jaraknya jauh, malam-malam pula."
     "Tapi, Rina kan sama teman-teman, Bu." Rina merengek, sedang ibunya mengehela napas. Mereka diam sejenak.
     "Kamu tahu, kan, apa yang terjadi sama Mbak Putri? Bapak takut apalagi kamu anak satu-satunya. Makanya, beliau nggak pernah mengizinkan kamu keluar malam."

Rina kembali mengingat kejadian itu, dua tahun yang lalu, Putri, sepupunya, ditemukan tak berdaya dan mengenaskan di sebuah kontrakan setelah pamit untuk menonton konser bersama teman-temannya. Waktu itu usia Putri masih 19 tahun, baru lulus SMA. Sejak saat itu, bapak lebih ketat mengawasi anaknya. Rina bergidik, ia takut dengan hanya membayangkannya.

     "Bapak melaut lagi, Bu?" tanya Rina, suaranya melunak.
     "Iya, katanya nyicil buat biaya kuliahmu." jawab ibu sembari tersenyum.

Sekali lagi, perasaan bersalah itu kembali muncul. Ucapannya pasti sangat kasar. Ia menatap ke luar jendela, menatap bibir pantai yang terlihat sangat kecil. Perahu nelayan yang berdempetan dan bergerak-gerak diterpa ombak. Lampu kekuningan yang tergantung di angkringan di dekat pantai berpendar muram. Sejak kapan pantai terlihat begitu menyedihkan.

***

Sudah dua hari sejak malam itu, Rina terus berdiri di depan pintu rumah dan menatap laut. Ia memainkan kukunya. Hujan turun dengan deras setelah bapak pergi melaut. Sedang ibunya, beliau selalu duduk berlama-lama sehabis salat. Rina mendengar ibu terisak di tengah malam.

Tuhan, apa yang tengah terjadi? Kenapa Bapak belum pulang? Rina bertanya-tanya dalam hati. Seharusnya bapak sudah pulang ketika subuh tiba. Tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya.

Badai, apakah ada badai? Rina mulai ketakutan, ia mulai memikirkan kata-katanya malam itu, bapak kolot. serasa ada beban berat yang menimpa dadanya, sesak. Tubuhnya melemas dan ia jatuh terduduk.[]

No comments:

Pages