Literasi Kita - FLP Blitar




Rabu, 10 Juli 2019 

Literasi kita masih tahap membaca, atau lebih tepatnya penyediaan bahan bacaan. Makanya hadir banyak taman baca, perpustakaan jalanan, dan lapak buku.

Tahap penyediaan bacaan adalah tahap pertama, yang sangat penting. Tahap berikutnya adalah pelestarian budaya membaca.

Apakah tersedianya buku dan bacaan berarti budaya membaca bagus? Belum tentu. Buktinya banyak perpustakaan sepi pengunjung, banyak buku-buku sampai berdebu di rak taman baca, banyak toko buku bangkrut, bazar buku murah pun juga tak ramai-ramai amat.

Sebab saat ini akses bacaan sangat luas. Banyak buku sudah dikonversi ke format digital (PDF, App book, dlsb). Orang lebih banyak membaca lewat ponsel.

Tahap pertama dari gerakan literasi, yaitu dalam rangka penyediaan bacaan, sudah teratasi oleh kecanggihan teknologi.

Tahap kedua ini yang berat, yaitu melestarikan budaya membaca. Sebab belum kuat budaya membaca kita, teknologi informasi sudah tersaji dengan seksinya.

Generasi milenial lebih suka main game, nonton video prank youtube, drama korea, dan video klip penyanyi kesayangan, ketimbang baca artikel pengetahuan lewat website yang ada.

Padahal kan website dengan artikel yang berkualitas, bisa jadi bacaan alternatif selain buku. Bisa menambah wawasan, perspektif, dan sudut pandang.

Tahap berikutnya, ya menulis. Ini tahap paling sulit. Tahap ketika seseorang tidak berhenti sebatas sebagai pembaca, konsumen ide, namun juga sebagai produsen. Ia memproduksi sendiri gagasannya, bersanding dengan gagasan lain.

Orang memproduksi sendiri pengetahuannya, membandingkan pengetahuan satu dengan lainnya, melihat sebuah isu dari sudut pandang yang beragam.

Sebagaimana yang tertuang dalam KBBI, bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Ada kata kerja "membaca" dan "menulis" yang perlu direnungkan sebagai proses belajar yang tiada henti.

Pada tahap menulis, maka ia akan sangat aktif, haus akan pengetahuan, kepo pada banyak hal.

Buku-buku cukup ditaruh pada rak, dan mereka akan mendatanginya. Hasrat untuk mencari tahu, memastikan apakah sumber informasi yang didapat benar-benar valid, memastikan jika pandangan orang lain cukup berdasar atau tidak.

Maka, jika serius pada literasi, seriuslah untuk menambah para penulis. Ketika penulis semakin banyak, buku-buku akan tetap ada. Ketika penulis semakin berkurang, maka buku-buku mungkin hanya jadi pajangan, properti yang mempercantik ruangan, atau menjadi peredam suara di studio-studio musik.

Jika literasi kita kuat, hoax tak akan laku. Pembuat kebijakan tak akan mencetuskan keputusan yang seenaknya, sebab ia tahu masyarakat sudah cerdas dan kritis.

Jika serius berliterasi, maka menulislah. Toh menulis tidak harus menjadi penulis. Sama ketika orang bisa memasak dan tidak selalu menjadi koki atau juru masak.

Atau minimal, punya kebiasaan membaca yang kuat, dan mampu berpendapat atas suatu hal. 

Literasi tidak saja perintah agama lewat ayat yang pertama turun : Iqra (bacalah). Namun literasi adalah cita-cita Indonesia, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. []

Salam,
Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages