Pentigraf #1 - FLP Blitar



                              Nightmare
                        Oleh Subek A. B. 

   Derap cepat kuda menerbangkan butiran-butiran pasir cokelat. Tertiup angin, menutpi pandangan penunggangnya, sepuluh orang Indian itu tetap lincah, meliuk ke kanan kiri mencari celah diantara bumbungan debu. Diantara mereka memekikan suara keras, sahut menyahut. Sembari beberapa melesatkan anak panah pada dua orang yang menunggangi satu kuda. Dua orang itu meliuk sekuat tenaga mengendalikan laju kuda sembari meghindar. 

   “Disana, itu mesin waktunya.” Orang di belakang berteriak memberitahu temanya di depan. Mereka berguling keras mengantam tanah, dibalik bebatuan, cukup membantu menyamarkan keberadaan mereka sementara waktu dari para suku Indian itu. Berlari secepat mungkin, menggapai pintu sebuah mesin waktu yang tersetel otomatis. Salah seorang yang di depan tadi berhasil masuk, tubunya membentur keras ruang mesin,  Ia segera bangkit, namun matanya mendapati temanya tersungkur bersimbah darah, tiga anak panah menancap di lengan serta punggungnya.

   “Tidak, tidak  Jiim, JIIMMM!!.” Pekiknya keras, suaranya bergetar. Bergema dalam ruang mesin waktu yang menutup rapat. Kilatan cahaya menyambar, mendistorsi ruang waktu, melipat-lipat benda disekitarnya, lalu menghilang meninggalkan angin kencang menerbangkan debu. Orang itu meninggalkan sahabat karibnya, kembali ke tahun 2019. 


***


                           Travernian #1
                   “Dua Pria Paruh Baya”
                        Oleh Subek A. B.

   Mereka selalu menyebutnya “Gila” pada dua orang pria paruh baya yang menari-nari lincah mengikuti irama musik, di depan sebuah grup pengamen tradisional di Malioboro, Yogyakarta. Tarian yang menurutku tidak mengganggu, justru memunculkan rasa gembira bagi penonton. Setiap grup pengamen itu tampil tiga kali seminggu, dua pria itu pasti ada. Dua pria itu menyebut diri mereka Manusia Garpu dan Mbah Blangkon, sesuai dengan ornamen pakaian yang mereka kenakan.
 
   Setiap kali ditanya tentang olok-olokan orang lain. Mereka berdua tidak mau ambil pusing. Mereka mengatakan hanya hobi saja dengan menari serta menyukai musik dari salah satu grup pengamen di Yogyakarta itu. Mereka hanya melampiaskan rasa cintanya pada seni dengan caranya. Selain berjoget di pertunjukan pengamen Malioboro, terkadang mereka juga unjuk gigi di acara pewayangan.

   Aku terkekeh sendiri sembari mengambil gambar dua pria itu. Sudah dua kali pertujukan pengamen ini mereka hadir. Suara riuh orang lalu lalang berbaur musik rancak membuai telinnga, tetap dengan gaya joget uniknya masing-masing. Mereka berlenggak-lenggok lues, seolah tidak ada beban dalam hidup.




                 Tulungagung, 25 Desember 2019


No comments:

Pages