Berlian Yang Terabaikan - FLP Blitar

Berlian Yang Terabaikan

Bagikan

Oleh : Arif Budairi

“Tiit, tiit, tiit”, bunyi nada SMS/pesan masuk dari HP di dalam saku jaketku membuatku tersentak dari menikmati segarnya semilir angin di teras musholla kampus.  Meski sudah tahun 2018, aku masih menggunakan sebuah HP model lama yang hanya bisa dipakai untuk telefon dan SMS (pesan singkat).

“Jony, pulanglah! Waktunya ambil dagangan sayuran!!”  sebuah pesan sekaligus perintah dari Ibuku.  Meski hanya sebuah pesan tapi aku tidak bisa menolaknya sedikitpun, layaknya perintah untuk sebuah tugas resmi dari komandan satuan dalam batalyon tentara yang siap tidak siap harus di patuhi dan dijalankan oleh anak buahnya.

Namun mendadak hati dan pikiranku di hinggapi rasa bimbang luar biasa, waktu itu pukul 2 siang dan aku sedang menunggu kedatangan dosen.  “Duh, bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? sudah jam 2 lewat 10 menit, tapi Pak Richard belum datang sedangkan mamak sudah menyuruhku pulang”, terjadi perdebatan dalam hatiku sambil suara bergemeretak kaluar dari mulutku karena gerahamku beradu akibat dilanda bimbang.

“Nanti kalau Pak Richard datang jangan lupa beritahu aku,” pintaku kepada Dani yang duduk di sebelahku. “Oke kalau tak lupa”, jawabnya sambil tersenyum berat.

Segera aku bergegas pulang dan berharap dalam hati agar Pak Richard benar-benar tidak datang.  “Jon tolong segera ambil sayuran di desa sebelah, pemiliknya sudah menunggu!” mamak menyambutku dengan kata-kata yang lembut tapi tegas, dan aku hanya mengangguk pelan.

Namun firasatku tidak enak, seperti mengatakan bahwa ingin segera kembali ke kampus. Tapi tak ku hiraukan karena perintah dari mamak harus segera kulaksanakan demi membantu mencari lembaran rupiah.

Bapakku hanyalah buruh tani dan Ibuku berdagang kecil-kecilan di pasar dekat rumah, dengan penghasilan tak menentu setiap bulannya.  Kami tinggal di desa Kidulkali, Kabupaten Tanah Raja.  Sebuah pedesaan di pegunungan yang cukup jauh dari kota.

Jadi merupakan anugerah besar dari TUHAN yang harus selalu ku syukuri karena bisa merasakan bangku kuliah di jurusan teknik sipil meskipun harus sambil bekerja serabutan untuk membantu orang tua membiayai kuliahku dan terkadang aku terpaksa harus bolos kuliah saat musim panen padi tiba karena harus membantu orang tua di sawah.  Pekerjaan apa saja sudah pernah menggores telapak tangan dan badanku sampai muncul kapal an di telapak tanganku. Kasar mirip lembaran amplas saat di gosokkan.

“Glek, glek glek,” suara air putih mengalir membasahi kerongkonganku yang kering setelah menempuh 25 menit perjalanan pulang dari kampus.  Cukup menyegarkan badan saat  cuaca sedang panas menyengat karena sedang musim kemarau.

Tak sempat menelan beberapa makanan untuk mengisi perut, aku segera ganti baju dan bergegas menuju kebun dimana harus segera  diambil dua karung sayuran segar hasil panen petani desa sebelah agar tak layu. Ku abaikan rasa melilit perutku yang segera minta di isi, aku hanya fokus agar bisa segera membawa pulang sayuran ini karena masih harus dipilah dan di bungkus lagi di rumah untuk dijual ke pasar.

Namun hatiku terus berbisik, “Jon segera kembali ke kampus, Pak Richard sudah datang” dan terus saja bisikan itu mengusik telinga dan pikiranku.  Tapi apa daya, selesai mengangkut sayuran, lelah menyerang tubuhku.  Sehingga membuatku terkapar dan tertidur pulas setelah itu.

Tiba di kampus segera mataku berkeliling seperti teropong menerawang setiap sudut bangunan di kampus untuk mencari temanku. Hari berikutnya, aku datang ke kampus lebih awal. Tak lama ku lihat beberapa temanku duduk-duduk di Kantin.

“Guys, kemarin Pak Richard datang gak?” “Kalo datang di kasih materi apa?” “Ada tugas apa? Beliau datang jam berapa?” ku hampiri mereka dan langsung ku lontarkan serentetan pertanyaan seperti pistol menembakkan pelurunya,  sambil menahan gugup yang menyerang berharap jawaban mereka sesuai harapanku bahwa Pak Richard memang tidak masuk kemarin.

“Pak Richard kemarin tiba di kampus pas setelah kamu keluar dari kampus Jon”, dan tiba-tiba Beliau langsung memberikan soal UTS untuk dikerjakan”, sahut salah satu temanku. Seketika dadaku sesak, sulit bernafas dan pikiranku kacau balau karena terkejut dengan jawaban dari temanku itu.

“Kenapa kemarin kalian tak ada satupun yang memberi kabar dan membalas SMS ku?” aku bertanya balik sambil menahan emosi.

“Kami tak punya pulsa reguler untuk SMS, adanya kuota untuk sosial media,” jawab mereka dan kesedihanku semakin memuncak karena semua teman sekelas yang kutemui memberikan jawaban yang sama.

Kesedihan dan kekecewaan menyelimutiku, karena Pak Richard adalah dosen yang humoris namun sangat disiplin, tegas, suka memberikan shock terapy dan bisa dibilang killer sehingga tak ada satu pun pelanggaran dalam mata kuliahnya yang bisa di tawar. Dan kemarin aku tidak mengikuti ujian tengah semester mata kuliah beliau, sehingga mau tidak mau harus ku terima nilai E bertengger di transkrip nilai saat akhir semester.

“Pak, tidak bisa kah saya ikut ujian susulan? Tolong Pak, saya kemarin harus pulang untuk membantu Ibu”, pintaku kepada Pak Richard.

“Maaf, tidak bisa. kamu harus mengulang semester depan kalau mau memperbaiki nilaimu”, jawab beliau. Suaraku seperti tersendat, tersedak sebuah roti tawar besar di kerongkongan.

“I,  Iya Pak, terimakasih dan saya permisi”, jawabku terbata-bata. “Percuma berdebat  mau bagaimanapun sebagai mahasiswa ya harus mengikuti aturan dari dosen”, gumamku dalam hati.  Selain itu ku sadari bahwa Pak Richard bermaksud mendidik mahasiswanya agar lebih disiplin dan menghargai waktu.

Kejadian seperti itu ternyata harus terulang lagi pada 3 semester  berikutnya karena bapakku terkena TBC sehingga kemampuan untuk bekerja tak sekuat dulu lagi.  Dan nilai-nilai E semakin banyak hinggap dengan nyaman di lembaran transkrip nilaiku tiap akhir semester tanpa bisa kuhadang.

“Tak mengapa Jon, tak usah terlalu bersedih dengan nilaimu. Karena berbakti kepada orang tua lebih baik dan tak ternilai”, mamak berusaha menghiburku.

“Inilah kehidupan, terkadang memang kita harus bersabar dan lapang dada karena tak semuanya akan berjalan mulus sesuai keinginan kita”, bapakku menyahut.

Dengan agak berat hati aku mengangguk sambil menjawab, “Iya Pak Bu.”  ku coba sekuat tenaga untuk terus berbesar hati, aku tidak mau menyalahkan siapapun atas keadaan ini.  Aku meyakini bahwa ini adalah ujian dari TUHAN yang harus kulalui agar semakin dewasa dalam menjalani kehidupan.

“Bu, kenapa pemerintah belum bisa memberikan beasiswa yang merata bagi pelajar di seluruh Negara ini?” Tanyaku kepada Bu Haza yang menjabat sebagai ketua jurusan di kampus.

Bu Haza menjawab dengan kalem “Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membantu para pelajar dari kalangan kurang mampu yang membutuhkan biaya, namun jumlah pelajar di negara ini juga sangat banyak dengan jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta yang tak kalah banyak juga dan masih banyak kebutuhan pada sektor lain yang harus di tanggung pemerintah negara ini, jadi kamu fokus saja belajar, nanti saya bantu untuk meminta keringanan biaya ke pihak kampus. Selalu berpikir positif, optimis dan jangan pernah menyerah, Ibu tahu kamu memiliki potensi besar”, beliau menambahkan sambil tersenyum.

Tak bisa dipungkiri biaya pendidikan tiap tahun naik dan tak semua pelajar bisa menjalani pendidikan dengan mudah karena kendala biaya, termasuk aku.  Nusantara, sebuah negara yang sangat kaya Sumber daya alam dan mempunyai beraneka ragam budaya khas yang mempesona, disitulah aku dilahirkan dan dibesarkan.  Namun kenyataannya kehidupan penduduknya belum bisa makmur dan sejahtera karena belum maksimalnya pemanfaatan sumber daya alam nya.

Saat bercermin “Aku tak mau jadi pecundang hanya karena nilai semata, masih banyak jalan untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan untuk membuktikan potensi yang kumilki”, dengan mengucapkan kalimat itu perlahan namun ku hayati dengan serius, ku coba memotivasi diriku sendiri.

Sebenarnya sejak awal kuliah sampai tahun ketiga, aku aktif dalam beberapa organisasi kampus dan komunitas sosial.  Dan beberapa prestasi berhasil ku raih.  Laksana air hujan turun membasahi gurun pasir yang gersang, kesedihan hatiku bisa terobati dengan pencapaian yang ku dapatkan dari organisasi dan komunitas.

Mataku terbelalak tak berkedip saat melihat sebuah video di media online lewat HP bekas yang beberapa bulan lalu kubeli dari hasil kerja serabutan.  Ada anak laki-laki kelas 6 SD dari pulau seberang yang nekat memanjat tiang bendera ketika upacara hari kemerdekaan Negaraku berlangsung di daerahnya.  Dengan mengenakan seragam resmi siswa SD agak kumal dan telanjang kaki, anak itu memanjat tiang bendera dengan sigap dan cekatan untuk membetulkan kait bendera yang lepas agar bisa dikibarkan.

“Wah-wah hebat banget anak ini” spontan mulutku memujinya. 
Padahal disana ada pejabat dan banyak orang penting yang mengikuti upacara namun anak itu tak tampak merasa takut atau canggung sama sekali.  Seketika seluruh peserta upacara berteriak melontarkan berbagai macam pujian kepada anak itu dan “plok, plok, plok”, suara tepuk tangan menggema menyambut riuh penuh suka cita peristiwa itu.

Tetapi hal yang lebih luar biasa kutemukan setelah kejadian di upacara itu, ketika orang tua si anak di wawancara oleh wartawan media cetak.  “Kami selalu menanamkan dan memupuk rasa nasionalisme , semangat untuk terus belajar dan cinta negara kepada Jonny sejak  kecil meskipun kami dari keluarga tidak mampu dan tinggal di daerah terpencil yang jauh dari kemudahan dan kemewahan fasilitas hidup moderen”, jawab bapak si anak.

“Wah ternyata namanya Jonny juga”, gumamku sambil merasa bangga karena kebetulan nama kami sama.  Rasa malu dan terharu menyelimutiku, aku bertanya pada diriku sendiri, “Jonny, tak malukah engkau pada anak laki-laki itu? Kondisinya lebih memprihatinkan daripada engkau, namun semangatnya untuk belajar dan rasa cinta negara nya sangat luar biasa dan masih banyak lagi anak-anak dan pemuda lain yang bernasib sama bahkan lebih buruk lagi.

”Hidup terus berjalan , sukses tidaknya engkau di masa depan ya tergantung seberapa keras usahamu, sekuat apa niatmu untuk menggapai cita-citamu dan seberapa kuat keyakinan dalam doamu kepada TUHANmu.  Sebagai manusia beragama yang beriman tak boleh menyalahkan keadaan dan siapapun, apalagi menyalahkan TUHAN atas nasib yang kau terima, karena TUHAN maha penyayang kepada hambaNYA”, ungkapan Ustad MaghRez yang ku dengar dari audio lewat sosial media.

Serasa tersiram se ember penuh air es, membuat hatiku sejuk dan adem.   Ku cium  harum rerumputan segar di padang rumput hijau dengan langit biru yang cerah dimana kurebahkan badanku, seperti itulah yang kurasakan tiap kali mendengar audio kajian materi Magnet Rezeki dari sang Ustadz.

Cahaya yang sangat terang menerangi jalan pikiranku.  Pola pikirku perlahan tapi pasti mulai berubah.bahwa jangan fokus pada masalah tetapi fokuslah untuk menemukan solusinya. “ Jika kita ingin di tolong oleh TUHAN maka tolonglah sesama manusia dengan ikhlas”, salah satu pesan berharga dari ustad MaghRez yang menancap kuat di otakku.

Pandanganku terhadap apapun yang terjadi dalam hidupku perlahan berubah.  Semua pikiran negatif ku buang jauh-jauh dari dalam diriku.  Berusaha semaksimal mungkin membuat diriku bisa membawa manfaat untuk orang lain.

“Hemm, pemerintah juga manusia biasa Jon! yang punya kelemahan dan kekurangan sehingga kita juga harus bisa mengerti dan menghargai kinerja mereka, tahun ini sudah banyak kan kemajuan pembangunan di negara kita”,.   sebuah jawaban lugas dari mamakku saat ku ajak beliau berbagi cerita tentang problem yang kuhadapi sambil menonton televisi di ruang keluarga.

Ada penerimaan, pasti ada pemberian dahulu. “ Seperti apapun kondisi negaramu, tetaplah itu tanah airmu, tumpah darahmu dimana kamu tinggal dan dibesarkan sampai saat ini yang harus kamu junjung tinggi dan cintai sepenuh hati Jon” Bapakku menimpali jawaban mamak.

“Iya Mak, Pak. Saya mengerti dan sangat bertrimakasih atas nasihat Mamak dan Bapak”. Jawabku. 
.“Jadi jangan berpikir apa yang negara berikan untukmu, Tapi berpikirlah apa yang bisa kau berikan pada negaramu”. Sebuah ungkapan khas materi wawasan kebangsaan dari militer yang sangat kusukai. Memang sejak SMP dalam hatiku bercita-cita ingin mengabdikan diri kepada Negara dan Bangsa sebagai seorang tentara.  Cita-cita itu akan kukejar dan kuperjuangkan untuk membuat bangga kedua orangtuaku.

“Sebuah keberhasilan akan semakin membanggakan dikala kau raih dalam keterbatasan”, dengan kompak kedua orangtua ku mengatakannya. Dan aku hanya bisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca karena menahan haru atas perhatian dan dukungan dari orangtua ku.

“Saya janji akan terus semangat belajar dan berlatih untuk menggapai cita-cita agar di masa depan tidak mengecewakan dan bisa membahagiakan bapak dan mamak.  Saya mohon doa restu dari bapak dan mamak”, Jawabku agak serak karena menahan segala perasaan yang campur aduk dalam hati. Janji itu, adalah awal kebangkitanku.[]

No comments:

Pages