Mendung (Bagian 10) - FLP Blitar

Mendung (Bagian 10)

Bagikan


Jangan pungkiri. Semua itu ada saatnya. Biarkan datang dan hilang secara alamiah. Kata Bapak.

Seminggu. Dua minggu. Tiga minggu. Hingga liburan semester, aku tak lagi bertukar sapa dengan Clara. Kebetulan kelas kami berjauhan, sehingga sesekali hanya kulihat Clara berjalan menuju Musolla saat istirahat kedua.

Kantin Pak Woto tak lagi menjadi tempat kami berbincang seperti biasa. Tiap kali aku duduk di kursi-kursinya menjelang sore, selalu muncul ingatan bersama Clara.

Tugas-tugas sekolah dan kewajiban ekstrakurikuler cukup membantuku mengalihkan perhatian pada Clara. Meskipun itu tidak selalu bisa.

Jangan pungkiri. Semua itu ada saatnya. Biarkan datang dan hilang secara alamiah.

###

Liburan ini aku berkunjung ke Batu, ke rumah kakek. Selama empat hari. Rumah kakek di daerah Bumiaji, Batu. Sekitar 3 kilometer dari alun-alun. Rumahnya bergaya lama dengan kebun di sekitarnya.

Aku kesana bersama Rani, adik perempuanku yang masih kelas 6 SD. Naik kereta api penataran turun stasiun baru kota Malang, lalu dua kali berganti angkot menuju kota Batu yang dingin itu.

Naik becak dari perempatan klenteng menuju rumah kakek. Masuk dusun bulukerto, melewati hamparan kebun apel dan persawahan.

Hari kedua disana, kami diajak berkeliling Cak Man, orang yang bekerja di kebun apel kakek. Kami pergi ke pemandian air panas cangar, lalu ke galeri raos yang sedang ada pemeran.

Bersama Rani, aku berjalan mengelilingi lukisan yang terpajang. Hingga mataku terpaku pada sebuah lukisan semi abstrak yang entah bermakna apa.

Judul lukisan itu, lepaskan!

"Itu adalah jarak yang selalu kita jadikan pembatas," Ujar seseorang, sambil menunjuk garis-garis merah pada lukisan tersebut.

"Kita mencoba memutusnya, tapi tak pernah bisa. Cara satu-satunya adalah mengendalikannya," Lanjutnya.

"Setelah itu lepaskan!"

Aku hanya mengangguk pelan, tak mengerti apa yang dimaksud.

Menjelang sore kami pun menghabiskan waktu di alun-alun. Di kedai yang agak jauh, ada hiburan akustik. Aku dan Rani mendekat, Cak Man sedang ngopi di tempat yang berbeda.

You won't remember
When this is blown over
And everything's all by the way
When I get older
I will be there by your side

Lagu yang indah, meski liriknya begitu menyakitkan. Clara sangat membenci lagu ini. Mungkin baginya ini hanya lagu basa-basi bagi pria hidung belang.

Clara mungkin trauma, atau apalah namanya. Lagi-lagi, aku ingat Clara lagi. Mungkin aku yang sedang trauma.

Kita mencoba memutusnya, tapi tak pernah bisa. Cara satu-satunya adalah mengendalikannya. Setelah itu lepaskan!

Tiba-tiba ucapan pria berambut gondrong di galeri raos tadi terngiang.

"Mas.. mas... ayo kesana," Rani menarik kaosku.

Lamunanku pun buyar.

Bersambung

~~~
Cerbung by Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages