Puisi-Puisi Fitriara (2) - FLP Blitar

Puisi-Puisi Fitriara (2)

Bagikan

Kepada Pengingat Bermata Senja

Aku tak pernah tahu kabut apa yang menggelapkan mataku, hingga usaha kerasmu terlalu buram olehku
Ketulusan dan kasih sayangmu tak lagi punya tempat di hati sebab penghuni sedang cuti
Tak kuasa untuk kubuka pintunya
Meski kepastian belum hadir mengetuk lebih dulu daripada luka

Aku takut, jika aku terlarut membuatmu kalut
Melupa bahwa ada hati yang tak lelah berjuang meski cahayanya kian meredup
Selain makan nasi, kau pasti makan makanan bergizi dan imunisasi
Hingga benteng pertahananmu atas badai yang kucipta tak mampu merobohkannya

Sering kau tawarkan bunga di taman, namun justru kusiram dengan minyak dan melemparkan granat di hadapanmu
Seperti hari yang sudah-sudah
Menyulut harapanmu setelah malam yang panjang
Hingga untuk mengatakan yang sebenarnya saja kau tak sempat

Berhentilah, cintailah dirimu sendiri
Jaga hatimu yang sudah banyak ditambal isolasi
Kau pantas bahagia dengan wajah langit lainnya
Karena bersamaku hanya membuat mata senja itu layu dan kepalamu akan berkabut sendu

Jika ada yang bertanya perihal tanpa makna, ia adalah waktu yang sia-sia
Waktu yang kau beri untukku yang tak melihatmu

Jangan berkeras hati
Mungkin suatu hari nanti perbedaan yang menjadi satu-satunya harapan kita bersatu
Bukan persamaan
Bukan hari ini

Tertanda,
Pelupa Berwajah Jingga (yang acap kali mengingatkan)





Kepada yang Lupa Kusapa

Apa kabar yang terlupakan?
Masih adakah sepotong ingat tempatmu tumbuh dalam maaf dan kenangan?

Sudah lama kau tak menyuratiku
Sejak bertahun-tahun setelah perpisahan itu aku pun tak berkabar
Lalu kesibukan mengoyak wajah masa lalu
Hingga aku lupa
Ada hati yang sempat membuat setiap hari adalah hari wisuda
Ada hati yang dulu menjadi taman berbunga setiap kehadiran pukul lima tiga puluh

Oh, apa kabar sepeda merah?
Nampaknya warna itu masih menjadi warna keberuntunganmu

Masih terlalu pagi untuk membuka kotak kenangan malu-malu
Langkahku tak bisa kutahan untuk tidak memanggil kembali masa lalu
Ada tawa dan lebih banyak pilu terkandung
Debu membuatku menumpahkan percik debar akan seperti apa wajah masa lalu

Akulah pengumpul surat paling ulung
Namun tak kutemukan suratmu di sana
Mungkin ia raib menjadi santapan hewan penyuka tulisan
Atau kau memang tak pernah menyuratiku?
Entahlah aku lupa

Apa kabar debu di kaca rumahmu?
Tidakkah ia rindu lap basah untuk menghapusnya?
Atau ia senang berlama-lama di sana untuk mengintipku yang diam-diam mencarimu?

Oh, apa kabar grup band kesayanganmu?
Kau masih saja merapal liriknya dengan suara tak seberapa sambil memainkan gerakan konyol itu?
Oh, rupanya sekarang kau memilih menjadi penabuh
Padamu senyum teduh kau asuh

Jika ada waktu mari semeja mengoleksi tawa atas tingkah jenaka di kemudaan bertahun lalu
Mari saling membahas kekitaan yang sempat saling membahagiakan
Mari saling tak menyalahkan ingatan karena telah mengabarkan apa yang telah terkubur





Kepada Tuan yang Menghukum Diri dengan Tanda Tanya di Kepala

Maaf, hari ini takkan kau dapati berlembar-lembar surat
Bukan karena aku tak mau menunggu satu hari lagi untuk jatuh cinta
Namun karena rasanya inginmu adalah petaka masing-masing; menjadikan kita semakin asing
Katakan saja Tuan, bahwa Tuhan tidak mematahkan langkah tanpa pelajaran
Kurasa kuat memang tak semudah memperbesar otot dan perkataan

Padamu aku paham, cinta bukan hanya perkara keikhlasan; ialah kesabaran yang tak pernah habis dimakan masa
Terima kasih untuk luka yang semakin hari semakin mencekik leher
Punggung yang menjadi saksi kita semakin menjauh satu sama lain
Hari ini aku kalah telak; takkan ada kau kelak


Hormat saya,
Pembunuh rasa di dada sendiri.





Kepada Perempuan Pemungut Rindu

Ada yang lebih sulit dari jatuh cinta
Ialah berhenti untuk mencintai cinta itu sendiri
Kadang kita tidak hanya perlu membuka mata dan telinga
Namun juga hati yang sering kita dustai

Melihatmu seperti sedang bercermin
Kita adalah sepasang manusia kecil yang dewasa
Yang mau melewati lorong-lorong kenangan
Dengan rindu sebagai kompasnya

Kau masih kerap memungut rindu yang berceceran
Padahal rindu yang lain menari-nari di terpa angin malam yang membawa perahu menuju pelabuhan

Ruangan itu tak lebih riuh dari isi kepala perempuan beransel coklat muda
Cermin yang melihat sinis tentang apa yang tak ingin kau ingat
Pintu yang menanyakan tentang kedatangan yang kau nanti

Jauh di lubuk hatimu kutahu sudah berpenghuni
Ialah lelaki dengan senyum yang bahkan belum bisa kau pahami
Cinta atau luka yang bisa menarik garis lengkung di bibir

Meski Maret serupa Desember
Tak kulihat hujan itu membasahi pipi
Kau adalah apa-apa yang tak penting tapi begitu istimewa
Aku enggan lupa

San, kutahu rindu yang pungut itu patut mempertemukanmu dengan apa yang kau perlu
Kain yang menjadi penutup kepala itu semoga menjadi saksi atas keringanan yang diberikan kepada lelaki penghuni lama di hati
Semoga ia mendengar bait doa yang ucap
Semoga keberhasilanmu adalah upaya untuk membahagiakan yang tersisa
Berjuanglah sampai akhir
Kaulah rindu yang dinanti rindu yang lain





Kepada Nona yang Senang Berkerudung Duka

Tak ada yang tak indah dalam kerlip cahaya
Diantara semua terang
Ku temukan kaulah yang paling benderang

Kau tahu Ka'bah itu hitam tapi ia manis
Langit malam itu gelap tapi ada bintang yang melatarinya
Seperti itukah kau mengagumi warna duka?

Nona yang namanya ingin dikenal penduduk langit
Aku melihat sesekali kau membanjiri boneka kesayanganku
Apa yang terjadi dengan harimu?
Apakah duka yang rawat itu kian menjadi-jadi?

Nona yang terlampau mencintai dengan cara-cara dangkal
Kutahu kau tak lagi menjadi kekasih tembok merah muda
Kau telah menjadi hamba kata-kata
Dan saat bersama mereka kau tak ingin diselamatkan
Meski oleh Iron Man-mu yang tak pernah sakit itu

Kulihat kau sering terburu-buru mengemas cemas yang kadang tumpah
Mungkin karena luka yang diasuh oleh orang tuamu di pundak
Kau tak bisa melepaskan rasa takut mu di perjalanan

Jadilah apa-apa yang terbaik, Nona
Sebelum manusia lain membuatmu terbalik
Aku tahu, kamu lebih dari sekedar mampu

Tertanda aku;
Dirimu sendiri.





Kepada Nona Tempat Bahagiaku Berpulang

Kamu tahu, hadirmu serupa senja
Setiap hari bersamaku
Tapi menghadirkan warna yang berbeda
Keindahan berbagai macam rupa

Bersamamu pilu harus kupilah-pilah
Karena tak semua harus kuratapi dengan air mata
Terkadang  kita hanya perlu menertawakannya berdua

Bersamamu, aku terkutuk menjadi wanita yang hatinya mudah terketuk
Entah dari mana kamu lahirkan kekuatan yang mengalahkan Polat Alemdar
Sampai aku takluk pada mata lelahmu yang melahirkan bahagia

Segala yang mulut enggan mengutarakannya seketika tumpah ketika kamu hadir
Segala tawa yang kadang sekejap mampir seketika meledak ketika kamu ada
Perkara yang tidak lucu bagi orang lain
Kita bisa tertawa seharian membahasnya

Kamu yang diam-diam mengajarkanku banyak hal
Hari ini aku ingin tahu bagaimana kamu meracik tegar dan menebarkan ikhlas kepada semesta
Seolah kau adalah wanita paling bahagia sedunia
Meski kutahu, luka tak pernah tak ada

Kia, terkadang perlu untukmu membebaskan danau yang terjebak di pelupuk mata
Kamu sama sekali tidak terlihat lemah dengannya
Setidaknya menurutku
Kamu pantas mendapatkan yang lebih dari sekedar keberuntungan


No comments:

Pages