Pasanggrahan Djojodigdan* - FLP Blitar

Oleh : Titiek Setyani Merry Moe

Blitar kutho cilik sing kawentar
Edi peni gunung Kelud sing ngayomi
Blitar jaman Jepang nate gempar
Peta brontak sing dipimpin Supriyadi

Blitar Nyimpen awune sang noto
Mojopait ning candi Penataran
Blitar nyimpen layone Bung Karno
Proklamator lan presiden kang kapisan

Ono crito jare Patih Gajah Modo
Ingkang bisa nyawijikne nuswantoro
Lan ugo Bung Karno sing kondang kaloko
Ning tlatah Blitar lair cilik mulo

Ora mokal Blitar dadi kembang lambe
Ora mokal akeh sing podo nyatakne
Yen to geni ngurupake semangate
Yen to banyu nukulake patriote

Syair tembang itu mengiringi kayuhan pedal sepedaku, perlahan dan pasti dengan niat yang suci ‘Napak tilas Kota Blitar”. Rasanya malu terlahir; tumbuh kembang dan  menetap di kota ini tak mengenal setiap sudut batang tubuhnya, kota yang termashur dan terkenal.  Blitar laksana api pengobar semangat; laksana air yang  menumbuhkan jiwa-jiwa patriotnya.

#

Angin pagi semilir menyibak rambutku, embun satu dua menetes mengering menyambut mentari, kicau burung bernyanyi merdu mendayu membakar semangatku. Jalan  Sudanco Supriadi , TMP, Tugu Pahlawan, terlewati sudah. Kepalan tangan dan semangat juang membakar darahku perlahan, mendidihkan kecintaanku akan kota kecilku.

Rumah kuno joglo besar dengan halaman yang begitu luas; bangunan yang terletak di Jalan Melati No 43 ini adalah tujuan utamaku pagi ini. Perlahan aku dorong pintu gerbang  besi.
Sreeekkk… Suara engsel-engsel pagar yang rindu pelumas berderit membuat sedikit hatiku berdesir.

Seorang lelaki tua, menghentikan  ayuhan sapu lidinya, menoleh dan menatapku sejenak. Baju kejawen lurik coklat gelap agak kedodoran, udeng tekuk lusuh menambah wibawa penampilannya. Perlahan aku sandarkan sepedaku di pohon tua kanan depan rumah.
”Maafkan aku, sepedaku tak berpenyangga semoga stang stirku tak melukaimu “ bisikku pelan.

Aku tinggalkan sepedaku dan melangkah ke arah Eyang tadi, perlahan aku jelaskan maksud  kedatanganku. Eyang itu mengangguk seperti beliau telah menantikan kedatanganku, dengan bahasa isyarat tatap pandang matanya beliau mengajak aku ke belakang rumah. Dia meletakkan sapu lidinya dan mempersilahkanku duduk di sebuah kursi  menjalin dengan sebuah meja bundar di depanku. Beliau menghilang sesaat dan kembali dengan dua cangkir kopi hitam pekat yang masih mengepulkan asap harumnya, beliau sodorkan satu untukku.

#

“Eyang Djoyodigdo lahir  tanggal 29 Juli 1827,”  beliau memulai kisahnya. Aku menyimak dengan seksama. “Beliau merupakan sahabat dekat Pangeran Diponegoro dan dia juga merupakan keturunan darah biru Mataram. Sepak terjang Eyang Djojodigdo berkaitan erat dengan Perang (melawan Belanda) selama masa peperangan lima tahun (1825-1830), dan beliau merupakan salah satu pengikut setia  Pangeran Diponegoro.

“Beliau sangatlah sakti  banyak orang percaya bahwa beliau mempunyai Ajian Pancasona. Aji Pancasona merupakan ilmu yang bila pemiliknya mati, dia akan hidup kembali dengan catatan tubuhnya menyentuh tanah. Dalam epos Ramayana, hanya ada satu orang yang dikenal memiliki Aji Pancasona. Dia adalah Subali, saudara kembar Sugriwa. Mereka berdua berasal dari bangsa kera. Namun, karena rayuan Rahwana, ajian ini jatuh ke tangan raja Alengka. Dengan kesaktiannya itu, konon Joyodigdo tak hanya sekali tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang (dan menyentuh tanah), dia hidup kembali tanpa sepengetahuan kompeni. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda, Joyodigdo (yang usianya masih sekitar 30 tahun kala itu) masih meneruskan gerilya. Karena Yogyakarta dijaga terlalu banyak pasukan Belanda, Joyodigdo memilih bergerilya kearah timur. Sepanjang perjalanan, dia menyerang tiap pos  Belanda yang lengah.

Beliau batuk perlahan, “Memang sungguh menyenangkan menguasai Aji Pancasona, kita bisa berjuang dalam waktu tak terbatas, namun hidup hanyalah titipan dan tak ada yang kekal, apakah kita harus hidup selamanya?” pertanyaan itu menggantung begitu saja. Aku terdiam seribu bahasa, apa yang harus aku jawab, menimpali? Ahh…baiknya aku diam, matanya menerawang jauh–jauh menembus batas ruang dan waktu.

Beliau menghela nafas dalam-dalam dan melanjutkan ceritanya, “Singkat kata, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigdo di wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar saat itu, Joyodigdo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.”

    “Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi  untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar,” Beliau menyeruput kopi hitamnya dan melambaikan isyarat untuk mempersilahkan aku, bak robot yang ter-remote control, aku angkat cangkir kopiku, aku teguk perlahan. Hangat? Panaskah? Hilang rasa sudah, kopi hitam mengalir ke tenggorokanku dan sedikit menghangatkanku.

    “Hingga pada akhirnya, telik sandi dikirim oleh Sang Adipati, menemukan diriku  di sebuah hutan yang masuk Blitar Selatan. Atas perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigdo untuk datang ke pendopo. Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasannya, Joyodigdo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni.”

    “Karena tolakan halus dari Joyodigdo ini, kemudian telik sandi langsung pulang dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.”
 
 “Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigdo bersedia menjadi pati di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang meninggalkan Blitar lantara serangan gerilya pasukan Joyodigdo, tokoh ini bersedia menerima tawaran Adipati Blitar,” sesekali Eyang menghela nafas.

    “Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigdo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigdo mampu mengambil kebijakan yang sangat cakap.  Hal inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan ini kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di Jalan Melati kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigdo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama, Pesanggrahan Joyodigdan,” beliau menghela nafas dalam-dalam dan menatap aku tajam seakan menembus tiap relung sanubariku, mengulitiku bak terhipnotis mataku melekat erat pada pandangan mata beliau.

“Mengajar amatlah mudah, namun mendidik itulah yang utama,”  Aku mengangguk dalam, beliau bangkit dan dengan isyarat mengajakku melangkah, “Ayo, mentari akan muncul beberapa saat lagi”, kami berjalan dengan diam aku persilahkan Eyang berjalan di depanku, namun langkahnya terhenti, beliau tarik tanganku perlahan untuk dapat  berjalan beriringan, dingin dan beku aku rasakan namun menghangatkan hati sanubariku.

“Jika usia telah renta, seratus tahun lebih telah aku jalani maka kemana lagi aku akan melangkah selain keribaan Illahi,’ hembusan nafasnya terasa begitu lelah.

“Jenasah Eyang Djoyodigdo dibaringkan dalam peti besi dengan empat penyangga dan dimasukkan kedalam liang lahatnya,” beliau berhenti sejenak menatapku dan tersenyum, senyum yang begitu ikhlas dan senyum yang paling indah yang pernah aku dapatkan.
“Itulah mengapa pemakaman ini disebut makam gantung,” beliau melengkapi ceritanya dengan suara yang berat dan parau namun menenangkan.

#

Sampailah kami di area pemakaman, aku tersimpuh di dekat pusara aku alunkan ayat-ayat doa yang kuampu dalam benakku paling dalam. “Ya Allah, biarkanlah beliau beristirahat dalam rengkuhanMu, dan ijinkanlah aku meneruskan perjalanan dan perjuangan beliau dalam mendidik anak bangsa.” Aku terpaku untuk beberapa saat silih berganti semua lakonku melintas  bak slide show kehidupan, apa yang sudah aku sumbangkan pada Ibu Pertiwi? Air mata bergulir perlahan menghanggatkan pipiku, sepoi angin di pagi hari memaksakan aku merapatkan jaketku.

“Nak…hari sudah pagi." Aku terperanjat, aku toleh datangnya suara yang menepuk bahuku perlahan, sosok lain. Aku kebingungan aku cari Eyang bersahaja penuh kharisma, mataku menyapu ke sekeliling namun tak kutemukan, aku menatap ke arah bapak tua di sampingku, binar  mata kebingunganku hanya terjawab dengan senyuman. “Bersyukurlah engkau Nak, teruskan apa yang beliau pesankan padamu.” Pak tua itu tersenyum dan menepuk bahuku sekali lagi.
Aku…Eyang Joyodigdo?  Ahh…entahlah wallahu a’lam.

Aku jabat Pak Tua itu, Pak Man, juru kunci Pasanggrahan ini, berkata padaku, “Datanglah sesekali jika engkau ada waktu,”
“Njih, Pak,” jawabku lirih. Masih tergiang dalam telingaku “Mengajar itu gampang tetapi mendidik itulah yang utama”,  ya Eyang, aku setuju sekali, “Hidup itu hanya titipan dan tak ada yang kekal”, ya benar, benar itu adanya.

Aku berpamitan pada Pak Man, beliau tersenyum dan mengantarkan aku menuntun sepedaku sampai regol depan. Apakah yang akan terjadi esok? Aku tak boleh terhenti untuk berjuang dalam kemampuanku dan duniaku, dalam lindungan dan ijinMu Ya Robb, Aamiin.[]

Blitar, 25 Pebruari 2017

*ditulis untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut milad FLP ke-20.

1 comment:

titiek setyani_titiek st said...

Mengemas sejarah dalam baluran fiksi yang menarik merupakan tantangan tersendiri. Berharap memperkenalkan kota tercinta dan menyelipkan pesan moral di dalamnya semoga mampu memberi makna kepada pembaca. Ditunggu krisannya

Pages