Pagi di Persimpangan Jalan* - FLP Blitar

Oleh : Mila Jamilaturrosyidah

Awan putih merajang langit, menajamkan sinar matahari yang akan menerjang bumi. Menyengat kulit, menyapukan keringat di tubuh. Sinar matahari lolos menerpa sebuah rumah yang berdiri di ujung persimpangan jalan. Menembus celah celah tirai di jendela persegi itu, meneriaki penghuni rumah untuk bangun dari alam bawah sadarnya.

Burung gereja liar saling bercumbu di atas tiang lampu lalu lintas, tepat di seberang rumah itu, sepasang burung gereja yang lupa waktu lupa tempat. Tak peduli banyak pasang mata menatap mereka dari bawah, hingga bunyi klakson truk menggusur aktivitas mereka ke sebuah Pohon Asem yang akarnya tertimbun tanah sungai.

#

Kendaraan-kendaraan saling melaju cepat ketika si hijau  membuka matanya, seakan kendaraan itu siap dilumat  waktu. Namun, rumah bercat putih lusuh tetap ditempatnya, tak pernah berpindah, ataupun beranjak, menjaga kesetiaannya. Meski sudah puluhan, atau ratusan kendaraan melaju di depannya. Teras rumah yang hanya selebar kendaraan roda tiga, becak. Dengan atap asbes yang ditusuk papan reklame iklan rokok, bak siapa yang tega menancapkan papan reklame di teras selebar bahu becak.

Daun pintu terbuka, munculah siluet tubuh pria, yang masih terhalangi sinar matahari yang menimpanya. Langkahnya terhenti di halaman rumah, seluas satu setengah meter dari bahu jalan. Siluet milik seorang pria tua, mengenakan baju berlogo partai yang ia soraki, ketika uban belum memakan habis rambut hitam di kepalanya. Di depan rumahnya, pria itu memejamkan mata, merasakan udara yang masuk di hidungnya, dan menyeruak di paru-parunya. Sayangnya, hidungnya sudah terbiasa dengan kepul asap yang ikut terhirup, meski paru- parunya terasa terpelintir keras- keras.
Pria itu lantas berjongkok di atas tanah, menghadap di taman kecil yang ia buat di sebidang tanah satu setengah meter. Tangannya terulur, mencabuti rerumputan liar yang menyerap air untuk hidup bunga Kamboja, Dandelion liar, dan Bunga Bugenvil miliknya.

Mendengar derap langkah kaki, pria itu menoleh ke dalam rumahnya. Ia dapati, seorang wanita yang selalu menemani hidupnya, sejak puluhan tahun silam. Kegiatan mencabuti rumputnya terhenti, ia menatap wanitanya, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Wanitanya, rambut hitamnya juga telah dimakan uban. Wanita, yang kerap ia lukai di masa muda, namun keukeuh setia didekapnya. Adakah cinta, yang lebih nyata dari pada cinta seorang wanita. Memberinya keturunan dan menjaganya, hingga di usia tua mereka tak ada lagi yang tersisa.

Lamat-lamat, pria itu berdiri, melepaskan sandal jepit hijaunya –satu-satunya sandal yang tersisa di rumah –ia  sodorkan sandal itu di hadapan wanitanya.
Tanpa berucap satu kata apapun, ia kembali berjongkok. Setidaknya, di penghujung usia mereka cinta akan tetap mengalir di persendian tua hidupnya.

Wanitanya tersenyum tanpa sadar, ia mengikuti sang suami. Berjongkok di sebelahnya, namun pria itu menatap wanitanya tajam, seolah berkata ‘’Kenapa jongkok di sini? Kalau keserempet motor gimana?”
Puluhan tahun hidup bersama, wanita itu hafal betul tabiat suaminya. Lantas, ia berpindah berjongkok di dinding batu bata pagar rumah , dan mencabuti rumput liar di hadapan suaminya.

Setiap pagi, inilah aktifitas yang mereka lalui, tanpa absen sekalipun. Meski, sang suami melarang istrinya turun tangan, istrinya tetap bersikukuh menemaninya. Mereka berdua tak peduli dengan banyak orang yang menatap aneh mereka setiap pagi. Dengan klakson kendaraan yang membuat gendang telinganya berdengung.

#

Pria itu menoleh ke samping, ditatapnya dalam-dalam jalanan yang sesak dengan asap knalpot yang saling menyatu di udara. Truk-truk berposter gambar tidak senonoh, mobil-mobil yang mengkilap. Anak-anak berseragam sekolah, menjinjing tas punggung, mengayuh sepedanya ke sekolah masing-masing, atau justru hanya tinggal menderukan mesin motor. Ketika, lampu hijau menyala, semua kendaraan saling menyela, melewati sepasang suami istri yang berjongkok di persimpangan jalan.

Semua melenggang sombong, tak ada lagi anak muda yang akan menganggukan kepala, atau membungkukkan badan sopan padanya. Seolah umur mereka sama, tak ada lagi norma-norma yang saling mengikat kehidupan, ikatan itu terputus oleh waktu. Pria itu melototkan matanya, ketika sebuah motor Kawasaki hendak menyerempet istrinya. Tangannya langsung mendekap punggung istrinya. Syukurlah, tidak sampai terjadi apa-apa.

Pria itu membopong tubuh istrinya yang masih membeku, terkejut. Memapahnya dan duduk di kursi rotan, di teras rumah. Ia masuk ke dalam rumah dan membawakan secangkir teh hangat untuk istrinya. Keduanya duduk bersebelahan. Menatap nanar apa yang disuguhkan Tuhan padanya. Tewaslah sudah ladang dan persawahan yang membentang luas di depan rumahnya, jalan setapak yang kerap di lewati lembu-lembu pembajak sawah, anak-anak kecil yang akan berlarian mengejar capung dan kupu-kupu.

Anak anak mereka turut mengejar capung dan kupu-kupu, dulu. Kini, mereka terbang jauh mengejar cita-cita mereka, melupakan seonggok kenangan lama bersama kedua orang tuanya. Yang setiap pagi akan menunggu kepulangan mereka di teras rumah.

Mewanti-wanti, jika anaknya pulang, harus terhidang menu masakan kesukaan anak anaknya di meja makan, dan ibunya akan selalu memasak menu itu setiap hari dengan air mata yang mengalir, ketika matahari datang tanpa membawa pulang anak-anaknya.[]

Blitar, 26 Pebruari 2017

*ditulis untuk Writing Challenge FLP Blitar, dalam rangka menyambut Milad FLP ke-20.

No comments:

Pages