Sang Pencari Jejak - FLP Blitar

Sang Pencari Jejak

Bagikan



Kelas yang kucari sekarang tak
berbentuk lagi. Tak ada papan tulis, meja dan kursi juga hiasan dinding. Ruang-ruang yang berjejer demikian berantakan, mirip kota gaza yang digempur Israel tanpa atap yang meneduhinya.
Aku menyapu pandang, mencoba mengingat
sesuatu. Mengapa semua menjadi seperti ini?, gumamku. Bukankah sudah jelas, bangunan yang dulunya adalah sebuah gedung sekolah tingkat dasar ini sudah tak dipakai lagi? Pikirku.
Bangunan yang pernah aku diami untuk menimba ilmu, kini menjelma sebagai bangunan tak beratap dengan kecoak, tikus dan sejenisnya sebagai penghuni barunya. Perutku terasa perih dan hatiku miris. Belum sempat aku membaktikan diri pada sekolah ini, pada Bapak Ibu guru yang telah mengajariku huruf-huruf hingga aku bisa merangkai dan melantun. Dan keinginanku untuk berbagi cerita tentang keberhasilanku baru-baru ini. Atau sekedar menanyakan kabar mereka. Kini harapan itu seakan pupus terbang bersama debu jalanan.
Aku kembali menatap disekeliling. Batu-batu kali sebesar kepalaku berjajar begitu rapi di bentengan pagar kayu yang mulai lapuk digerus panas, hujan, atau mungkin hewan pengerat kayu yakni rayap. Disebelahnya, lebih tepatnya ditengah-tengah halaman yang menghadap pintu utama, berdiri lelah gapura besar, sebuah bangunan tak bersel lagi, yang dulunya digunakan sebagai pintu masuk utama, setelahnya berdiri sebuah ruangan kecil sebagai tempat pos satpam memantau keamanan sekolah.
Melihat gapura itu mengingatkanku lima belas tahun silam. Tepat hari pertamaku masuk sekolah. aku malu-malu diantar Ayah. Tangan kecilku menggandeng tangan Ayah kuat. Seorang Bapak Tua dengan rambut tersisir rapi. Kaca matanya tersemat di kedua matanya menampakkan sifat kebapakannya. Ia mendekati kami dan menawarkan senyum ramahnya. Aku yang bersembunyi dibalik punggung Ayah, mengintip malu.
“Ayo Nak! Masuk kelas, pelajaran pertama segera dimulai. Tak usah malu, nanti kamu akan terbiasa dengan lingkungan barumu.” Kata Bapak berbaju batik itu setengah membujukku.
Aku menatap Ayah lekat dan mencengkeram tangannya kuat. Mirip anak ayam yang takut kehilangan induknya. Ayah berjongkok dan menatapku dengan angukan kepala. Melepasku untuk mengikuti pendidikan pertama.
Tanganku kemudian beralih, dan digandeng bapak berbaju batik itu. lambat laun aku mengetahui namanya. Guru kelas satu yang sabar itu bernama Pak Budiman. Lantaran guru inilah aku mulai mengenal huruf dan angka.
Kini, tak ada lagi rangkaian huruf atau deratan angka, yang ditulis rapi di papan tulis. Tergantikan oleh kayu lapuk yang berjajar di halaman sekolah. Lalu dimana Pak Budiman sekarang?, desahku.
Aku melangkah pelan sambil mengamati sekitar. Kedua kakiku terhenti saat tampak olehku sebuah surau mungil beratapkan langit. Tak ada suara, tak ada pujian,  sunyi menyelimuti surau ini. Rupanya sebelum mereka berpindah, bangunan-bangunan ini telah diambil atap, pintu, genting dan tentunya barang penting lainnya untuk difungsikan ditempat yang baru, sehingga menyisakan bangunan yang mirip manusia berdiri tanpa kepala.
Di sini, aku dan teman-temanku melepas lelah setelah berlari jauh berkeliling kampung pada jam olahraga. Di tempat ini kami bersujud untuk mengingatnya diwaktu dhuha dan dluhur. Belajar alif, ba, ta bersama Ustadz Marzuki. Kini, meskipun bangunan ini telah dimakan lumut dan tak terawat, namun kenangan itu takkan hilang dari benakku.
Di kanan kiri tak kujumpai isyarat kehidupan. Semua begitu kering dan mati. Kampung ini begitu sepi. Kulangkahkan kakiku, kuhampiri dan kudorong pintu kelas enam. Derit kecil menyapa telingaku. Aku menyapu pandang. Satu-satunya hiasan dinding berupa kaligrafi masih tersemat kuat di tempatnya. Barangkali petugas yang membersihkan ruangan lupa atau mungkin tergesa-gesa sehingga kaligrafi itu luput dari eksekusi.
Centi demi centi kupandangi seluruh isi ruangan. Lamat-lamat aku teringat dengan teman-temanku SD dulu. Kami harus menggadaikan jam bermain demi membuat kaligrafi berlafad “Annadlofatum minal iman” yang artinya sungguh berbalik dengan kondisi saat ini.
Di kelas inilah, aku merangkai kata-kata untuk lomba puisi pada hari bahasa. Di sini, aku dan teman-teman berikrar untuk tetap berkomunikasi meskipun nanti kami sudah tak sekampung lagi. Tepatnya setelah malam purnawiyata, sebuah malam perpisahan. Kami saling berpelukan haru. Sungguh! Aku tidak ingin jauh dengan mereka. Namun, Ayah yang harus pindah tugas dinas ke kota, membuatku terlempar jauh dengan teman-teman kecilku. Lalu, dimana mereka sekarang? Pasti sekarang mereka sudah jadi orang sukses. Ingin rasanya aku bercerita sambil memeluk mereka satu persatu. Akankah rindu ini terbayar?, gumamku lirih.
Lamunanku terbuyarkan oleh seekor tikus pengerat yang sedang menggerogoti sebuah buku berdebu dikaki meja. Aku menghentakkan kaki dan mengusir tikus-tikus itu. Spontan sekawanan tikus itu lari terbirit-birit. Lalu, kupungut buku usang itu. Kubersihkan, kulihat, kuamati, kemudian kubuka halaman pertama. Derit kertas tertangkap lirih di telingaku. Saking lirihnya, sampai-sampai angin yang mengintip dari rekahan daun pintu takkan sanggup mendengar suara gesekan itu. Pun kecoak dan tikus yang mengintip dari balik sisa-sisa almari lapuk takkan sanggup mendengar dan memahami ketidakmengertianku.
Dihalaman pertama terdapat tulisan indah dan acak-acakkan, berjajar huruf besar kecil memanjang disusun secara vertical dan horizontal. Aku seperti mengenal tulisan ini, pikirku.   Kemudian huruf yang belum bermaksud itu aku hubungkan dan kurangkai susah payah. Dan ajaib terciptalah sebuah nama, Aku seperti kenal dia, gumamku lirih.
Kenanganku kemudian timbul tenggelam dalam benakku. Saat kenangan itu timbul aku mengingat seorang gadis cilik cantik dengan rambut kepang dua, setengah berlari kearahku.
“Rehan…, tunggu! Mana janjimu untuk mentraktirku disaat ulang tahunmu kemarin?” katanya tersengal. Gadis berumur dua belas tahun itu menatapku lekat.
“Jelita…, dengar ya, jika kemarin aku telah berjanji padamu juga teman-teman yang lain untuk mentraktir kalian, sekali lagi maaf, karena aku belum bisa memenuhinya, lantaran Ayah memangkas uang sakuku,” kataku blak-blakan.
“Memangnya kenapa?Matanya bulatnya mengerling sebagai pertanda meminta jawaban.
“Ayah marah, setelah melihat baju seragamku berlumur tepung, belum lagi badanku berbau amis. Keluargaku tidak suka budaya merayakan ulang tahun seperti itu. Sekali lagi maaf, tetapi aku janji bulan depan semoga aku bisa memenuhinya,” kepalaku menunduk. Sedangkan Jelita yang mendengarkan penjelasanku terlihat heran, meskipun kemudian dia berusaha mengerti.
Ah! kini harapanku pada masa lalu menjadi sebuah penyesalan di masa sekarang, aku belum bisa memenuhi janjiku pada Jelita juga teman-teman yang lain. Kini aku harus dihadapkan dengan kenyataan pahit. Aku telah kehilangan jejak. Dimana mereka sekarang?, sesalku.
Kupegang erat buku usang dan berdebu. Kupandangi lekat-lekat dan rasanya sudah tidak sabar untuk membuka halaman kedua dan seterusnya.
Semoga buku ini bisa menuntunku menemukan kepingan-kepingan masa lalu yang terserak. Aku ingin mengumpulkan serpihan-serpihan itu sehingga akan terjaga dan membuahkan rasa manis jika nantinya kukenang di masa senjaku. Setengah berbisik aku berharap.
Kuselipkan buku penuh kenangan itu ke dalam tas bututku. Aku melangkah pergi untuk mencari jejak berikutnya. Sementara itu debu-debu jalanan beterbangan mengiringi langkahku di kemarau yang kering.
(Lereng Kelud, Juni 2015 - Saif Lintang Sore)

No comments:

Pages