Tantangan Menulis dari Tahun ke Tahun - FLP Blitar

Tantangan Menulis dari Tahun ke Tahun

Bagikan


ilustrasi

2006, saat pertama kali bergabung dengan ekskul Jurnalis, salah satu kendala untuk menerbitkan tulisan adalah ketersediaan komputer. Komputer menjadi barang mewah karena tidak semua orang punya komputer. Jangankan komputer, ponsel saja masih lumayan langka. Satu kelas yang membawa ponsel bisa dihitung dengan jari.

Setelah mengerjakan tugas liputan, biar tidak lupa, saya membuat coretan dengan bolpoin pada secarik kertas, baru kemudian di ketik dengan komputer. Cara itu juga berlaku pada jenis tulisan lain, misalkan artikel, tips, cerpen, dll. Siswa yang mengirimkan tulisan ke redaksi, rata-rata berbentuk tulisan tangan, baru kemudian diketik oleh Tim Redaksi.

Jika dateline mendesak, dan satu komputer tidak cukup, biasanya kami ngerental. Satu jamnya Rp1500,- maklum, komputer jurnalis kala itu tidak hanya digunakan untuk mengetik isi majalah, tapi juga untuk ngelayout, dan tugas ngelayout tidak bisa dikesampingkan. Idealnya layout dikerjakan setelah semua tulisan siap. Namun karena waktu yang mendesak, dan layout juga membutuhkan waktu yang lumayan, dua-duanya dikerjakan secara bersamaan.

Pertengahan tahun 2007, ketika komputer jurnalis rusak, terasa betul “penderitaannya”. Untung kami diperbolehkan nebeng komputer di lab. Komputer. Syaratnya hanya boleh untuk mengetik. Tidak boleh untuk layout.

Tahun-tahun itu, fasilitas menjadi salah satu kendala besar dalam menulis. Saya saja, masih menulis novel pada buku tulis. Artikel dan cerpen juga masih dalam bentuk tulisan tangan. Beberapa yang diketik, biasanya saya kerjakan pas lagi di warnet. Kebetulan, ada paket internet khusus pelajar.

Dimana menyimpannya? Sebelum memiliki flashdisk, menyimpannya masih di blog. Tapi tidak di publis. Hanya di arsipkan. Baru setelah memiliki flashdisk, file yang diketik disimpan disitu.

“Penderitaan” menulis ini barangkali belum seberapa dengan penderitaan masa lampau, ketika komputer belum berkembang pesat. Katakanlah era 60-an hingga penghujung 90-an. Menulisnya masih dengan mesin tik. Saya ingat betul ketika hendak selametan 1000 harinya Alm nenek, undangannya masih menggunakan mesin tik.

Saya juga sering mengamati Pak Suprijadi, Guru SD Saya, dengan kacamata tebalnya sangat khusyuk mengetik surat-surat dinas dengan mesin tik. Menggunakan mesin tik dituntut harus teliti karena meminimalisir kesalahan. Kesalahan lebih dari satu kali bisa jadi masalah. Sebisa mungkin, tidak ada salah, agar tidak banyak bekas tinta yang tertutupi.

Anda bayangkan betapa penuh perjuangannya novelis era-era itu. Menulis novel atau buku yang tebal dengan mesin tik.

Ketika awal kuliah pun, saya masih belum memiliki laptop. Untung saja, di asrama, atau di kawasan kos-kosan, ada banyak rental komputer. Satu jam hanya Rp1000,- print hanya Rp250,- harga terakhir Rp200,- per lembar. Jika menulis makalah, atau ingin menulis sesuatu, harus mempertimbangkan waktu. Misalkan rental selama 2 jam. Dalam 2 jam itu, satu artikel sebisa mungkin harus kelar. Atau jika tidak begitu, artikel ditulis tangan dulu, baru kemudian diketik.

Tulisan-tulisan saya antara tahun 2008-2012 semuanya adalah hasil rental. Baru tahun 2012 membeli laptop. Sekarang, laptop menjadi unsur penting. Para mahasiswa baru, bahkan anak SMA masa kini, memiliki laptop adalah semacam keharusan tersendiri.

Setelah memiliki laptop, maka halangan menulis sudah tidak ada. Kalaupun ada, adalah halangan klasik seperti kesibukan, ide, dsj yang notabene adalah problem internal.

Setelah memiliki laptop, ternyata ada tantangan baru, yaitu fokus. Hal ini dikarenakan maraknya koneksi internet. Sejak tahun 2011 saya bekerja part time di Kemahasiswaan. Setiap pulang kuliah, saya harus ke kantor untuk mengerjakan sesuatu, salah satunya mengedit naskah dan menulis. Setelah memiliki laptop sendiri, dan karena kantor full wifi, tantangan “kurang fokus” ini begitu terasa.

Biasanya, sebelum mengerjakan tugas, iseng-iseng buka facebook dulu, dan biasanya lupa waktu. Kalau sudah keasyikan wifian, mood menulis agak hilang. Sehingga, target menyelesaikan tulisan pun sering tersendat. Misalkan, target menyelesaikan 3 tulisan, hanya bisa terselesaikan 1 tulisan. Itupun tugas wajib.

“Kurang fokus” menjadi tantangan baru, apalagi setelah muncul gadget. Wa, facebook, twitter, bbm, path, Instagram, dll kadang membutuhkan waktu tersendiri. Bisanya, kalau sudah keasyikan chat di wa, mood menulis itu jadi berkurang bahkan hilang. Misalkan baru membuka paket data, tujuannya untuk browsing materi, tapi karena notifikasi dari sosial media begitu bejibun, akhirnya gagal fokus lagi.

Sekarang, itulah tantangan terbesar dalam menulis. Memanej penggunaan gadget dan social media. Beruntung sekali yang belum atau tidak kencanduan gadget atau social media semacam itu. Fokusnya bisa lebih baik. (*)

Blitar, 1 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages