BULAN
DI TAMAN
Hariyani
Petang
yang meremang menggamitku untuk duduk di
taman. Menikmati pendarnya sinar bulan. Cahaya bulan menerpaku dari sela-sela
ranting dedaunan. Melukis bayangan daun
gelap pada paha dan lengan kananku. Bulan bergeser perlahan bagai gadis sedang
beringsut malu-malu. Kadang awan tebal meredupkan sinarnya. Tak ada
lagi bayangan. Gelap dan semakin gelap.
Aku
amati bulan itu. Dalam hati aku meminta, [“Bulan, jawab pertanyaanku. Takwilkan
mimpiku.
Aku menjadi pengantin Namun, pernikahan itu aneh, di pelaminan duduk dua pengantin perempuan dengan satu
pengantin lelaki. Aku dan perempuan itu saling kenal. Tak bisa menerima kondisi seperti ini, aku berlari sambil
menangis. Datang sekelebat seorang
lelaki menangkap tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya. Bulan, apa arti
mimpi ini?”]
***
Dug!
Terkejutku saat mataku berpapasan
sekilas dengan pemilik rambut
ikal di depan toko jok mobil. Aku kenal sekali siapa dia. Sudah lima tahun tak
kudengar kabar beritanya. Jarak dan kondisi yang memisahkan membuat komunikasi terputus tidak saling berkirim kabar. Ada apa
dengannya muncul lagi di kotaku?
Hati
kami pernah saling bertaut walau hanya dalam hitungan hari. Rasa saling memiliki memenuhi relung hati. Meski kami tahu jika
rasa itu tak bisa bertahan sebab jarak akan memisahkan.
Saling
mengungkap rasa tertuang dalam lembar-lembar surat cinta yang kami kirimkan lewat
pos kecil, keponakannya yang masih berumur lina tahun. Ah, rasa debaran ini bangkit lagi. Kebetulan hati ini tiada yang mengisi.
Dia menghampiriku, aku segera menyembunyikan rasa terkejutku.
"Mas
Rory, ya?" Kupertajam keyakinanku ini dengan pertanyaan basa-basi. Senyum
khasnya menggoyang lagi. Menghadirkan ombak
gelombang yang berdeburan dalam hati.
“Apa
kabar?” Dia balik bertanya. Ingatanku melayang
pada lima tahun yang silam. Kulirik lengannya yang kekar itu pernah
menggamitku.
“Alhamdulillah,
baik.” Kumaniskan senyumku.
Kami
sempat saling berkirim kabar lewat pos sekali. Setelah itu suratku tak
dibalasnya lagi. Entah karena apa? Sejak itulah aku tak berani lagi mengirim
surat dan akhirnya tak berlanjut. Kini senyum itu bisa kunikmati lagi. Bahkan
sangat dekat.
"Kuliah,
ya, sekarang.?” Duuh.. senyumnya masih
seperti dulu.
“Iya,
Mas." Aku mencoba menghiasi bibirku dengan pesona senyumku pula.
"Pinter.
Aku dengar juga mendapat beasiswa?"
"Alhamdulillah,
Mas." Rupanya ia masih mencari informasi tentangku. Mungkin dari
saudaranya ini yang selalu berkunjung ke rumahnya tiap hari lebaran. Hari yang
menjadi tradisi kami untuk saling bersilaturohim, saling memaafkan.
"Mas
sendiri, masih di pondokkah?"
"Sudah
selesai."
"Apa
kegiatannya sekarang?"
"Aku
buka bengkel di rumah. Nanti kita jalan-jalan, yuk."
Ajakan
ini yang menakutkanku. Meski aku sudah kuliah, rasa takut bergaul dekat dengan
lawan jenis masih membelenggu hasratku. Orang tuaku sangat membenci kata 'pacaran'
. Aku tahu alasan mereka. Memecah perhatian belajar. Namun, hati tak bisa
dibohongi. Rasa ini tak mungkin ditutupi dan dipaksa untuk berhenti.
Hari ini aku ada acara reuni
dengan temanku SPG di sekolah. Aku mendapat tugas membawa sayur dan buah. Aku
pikir ini kesempatan baik. Aku minta dia untuk mengantarku mengirimkan makanan
ini, lalu kami reuni sendiri. Dengan
begitu orang tuaku tidak mengetahui kalau aku jalan-jalan dengannya.
“Tolong ya Lis, nanti tempat
sayurku dibawakan. Nanti aku ambil ke rumah kamu.”
“Hayyooo, mau ke mana?” Listiyani
menggodaku.
Dia
memang suka sekali menggoda dengan candaan khasnya. Kami sama-sama kuliah di
IKIP Malang. Satu indekos pula. Sejak SMP, SPG, sampai sekarang ini kami
bersama. Anaknya kecil, kulitnya agak hitam tetapi manis, dengan matanya yang
lebar menambah manis jika membelalak. Aku dan teman kos yang lain sering
menggodanya pula dengan ukuran pakaiannya yang setengah meter jadi. Memang imut
anaknya. Rok-rok spannya yang menurutku seperti baju boneka itu menambah
penampilannya semakin menggemaskan.
“Ada
deh, nanti saja aku cerita, ya.”
“Oke
deh.”
Selalu
hangat dan menyenangkan kata-katanya. Teman-teman
yang lain masih belum datang, aku segera berpamitan. Kasihan Mas Rory kelamaan
menantiku.
Aku
berlari kecil menuju ke boncengan motornya. Motor berjalan saja tak tentu arah
sambil kami saling berbincang dan bercanda. Di suatu tempat kami berhenti. Dia
bertanya banyak hal tentang kuliahku, teman-temanku, dan siapa pacarku. Aku
bilang padanya kalau aku tak punya pacar.
“Ah,
masak anak kuliah dengan teman kampus yang begitu banyak tidak ada yang menarik
perhatianmu.”
“Nggak
ada yang tertarik kepadaku, Mas.”
“Gombal,
ah, gadis secantik dan sepintar kamu gak ada yang tertarik.” Aku semakin
tersipu malu. Ada bagian dari wajahku
yang memesona katanya. Bibirku yang sexy akan menggoda orang setiap melihat
senyumku. Mungil dan sedap dipandang, dia melanjutkan. Kami saling memuji,
saling tersenyum, dan begitu bahagia. Setiap mata kami beradu, deburan ombak
dalam dada ini semakin dahsyat. Tidak hanya bergelombang, tetapi berdebum
menghantam.
***
Lelaki
memuakkan itu muncul lagi dalam ingatanku.
Sudah lima bulan kami menjalin hubungan. Saling berkirim surat. Dia
sekolah di SMA swasta. Aslinya dari desa
lain yang ikut saudaranya di dekat rumahku. Aku tidak tahu bagaimana awalnya
kami bisa saling suka. Bahkan semua keluargaku melarangku. Memang kata ’pacaran’
tidak ada dalam kamus keluargaku. Jika ditemukan kami tetap menerobosnya, maka
akan sering dimarahi. Kami tetap mempertahankan perasaan suka kami dengan backstreet. Namun, kehadiran orang ketiga itu yang
memorak-morandakan.
Pagi
tu, sehabis salat subuh, seperti biasa, tugas rutinku adalah menyapu halaman.
Ketika aku hendak membuka pintu aku melihat sepasang remaja berjalan melintas
di depan rumah dengan bergandengan tangan. Aku seperti mengenal mereka. aku
segera berlari ingin menyatakan kebenaran penglihatanku. Benar! Ternyata dia
sahabatku dan kekasihku sedang berjalan bergandengan. Apa maksudnya ini?
Perempuan
itu, Asih namanya. Berangkat dan pulang sekolah selalu bersama. Dia adik
kelasku. Buku-buku pelajaran bekas aku
berikan semua agar dia tidak membeli buku lagi. Rasa kasihanku selalu timbul
ketika dia membicarakan mengenai kondisi ekonomi keluarganya. Bukan berarti aku
ini orang kaya. Hanya karena aku sedikit mampu kalau urusan sekolah.
Kebersamaan
kami dalam segala hal selalu sama. Dia juga punya hobi menyanyi. Kami pernah
ikut lomba menyanyi solo, dengan begitu kami berlatih bersama. Kedekatan
semakin lekat. Bahkan lelaki yang menjadi pacarku itu juga ikut lomba menyanyi,
meskipun aku nilai suaranya yang tak jelas karena tidak mengerti nada. Suaranya
sumbang. Seharusnya nada rendah dia malah menaikkan. Jadi terasa sakit di telinga
yang mendengarkan. Penjedaan syairnya pun tak dipahaminya. Tapi dia percaya
diri. Entah apa yang menyebabkannya.
Hatiku
merasa remuk melihat jalan mesra mereka. Pasti berselingkuh. Kalau tidak,
mengapa di pagi buta begini mereka berjalan berdua dan bergandengan tangan?
Dasar lelaki buaya. P erempuannya ini yang aku herankan juga. Bisa-bisanya dia
mengembat pacar sahabatnya. Tidak bisakah dia mencari lelaki lain? Apa perlunya
dia merebut pacarku? Berbagai macam
pikiran negatif tentang mereka berputar-putar di kepala.
Menitik
pula air mataku mengingat bagaimana aku bersahabat dengannya. Haruskah rusak
karena seorang lelaki yang baru datang dalam kehidupan kami? Selera kami memang
sama dari beberapa hal. Baju misalnya, pernah kami menjahitkan baju dengan
model yang sama. Model rambut juga sering sama. Seakan kami ingin menyatukan persahabatan kami dengan berbagai
kesamaan kesenangan.
Ternyata
untuk selera lelaki idaman, dia juga ingin menyamai. Ya sudahlah, kalau engkau
mengartikan persahabatan hanya sebatas itu. Sahabat datang dan menyakiti.
Seharusnya dia tak berlaku menusuk dari belakang kalau dia ingin langgeng
persahabatan. Itu artinya dia memang sudah jenuh bersahabat denganku. Okelah,
aku turuti keinginanmu.
Sejak
saat itu aku tak lagi menjemputnya ke sekolah. Kami berangkat sendiri-sendiri.
Aku menjemput temanku yang tinggal di lingkungan lain, tetapi masih sekelurahan
denganku. Dengan Lastri inilah aku terus bersama sampai masa kelulusan. Aku
sudah bisa move on darinya.
Pernah
dia mencoba berkirim surat kepadaku. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku sobek
kecil-kecil dan langsung aku buang tanpa aku membacanya. Sudahlah kalau hanya
sebatas itu keinginanmu. Selamat jalan untuk kalian berdua. Biarkan aku lebih
memilih jalanku. Aku lebih bahagia tanpa pacar. Kekecewaanku ini pula yang
membuat aku frustasi. Hatiku tertutup untuk lelaki. Kepercayaanku sudah menurun
pada kesetiaan.
Mas
Wahib, namanya. Dia indekos di belakang rumahku. Dialah yang terkena imbas rasa
ketidakpedulianku dengan lelaki. Dia kuliah di STKIP jurusan PMP. Memang di
belakang rumahku dihuni mahasiswa-mahasiswa dari PTS itu.
Waktu
itu dikirimkannya surat kepadaku. Aku
heran, mengapa dia mengirim surat. Aku buka sampul surat yang seperti sampul
surat izin ke sekolah itu. Baris-barisan tulisan tangannya sangat bagus dan rapi. Dari kedua
lelaki yang pernah mengirim surat kepadaku, inilah tulisan surat cinta yang terbaik.
Surat
cinta menurutnya karena dia mengatakan itu padaku. Namun, aku tidak
menganggapnya begitu sebab setiap kutelusuri kata demi kata tak menimbulkan
rasa apa-apa. Aku mencoba lagi mengejanya pelan-pelan, aku resapi maknanya, aku
ingin menghadirkan getaran saat membacanya, tetap hambar saja.Ini artinya
cintanya tak bisa mereguk rasaku.
Rasa
kecewaku lebih mengemuka daripada rasa cinta. Cinta itu seperti sudah sirna
terbawa sahabatku entah ke mana.
Lagipula, kini aku sudah kelas III SPG. Aku harus fokus pada pelajaran. Aku
harus bisa membuktikan bahwa aku tidak terpengaruh dengan rasa kecewa ataupun
rasa cinta.
Aku
mengirimkan balasan kepadanya, aku meminta maaf tidak bisa menyambutnya karena
aku harus fokus pada cita-citaku. Aku takut pecah perhatian belajarku jika aku
menerimanya. Entah nanti, jika aku sudah bisa menyelesaikan sekolahku. Seakan
aku masih memberikan harapan kepadanya agar tidak menyakitinya. Jadi
prtimbangannya bukan karena wajahnya yang tak berkenan di hatiku, tetapi memang
karena kondisiku yang tidak mengizinkan.
***
Mendengar
ceritaku seperti itu, Mas Rory hanya tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Aku tak perlu menanyainya. Biarlah makna
senyum itu dia sendiri yang tahu. Yang penting aku sudah cerita bagaimana
perjalananku setelah kepergiannya.
“Kamu
sih, aku kirimi surat gak mau membalas.”
“Mana?
Kapan kamu mengirim surat? Aku tidak
pernah menerima surat dari kamu.”
Aku
ceritakan bahwa sekali aku pernah
mengirimkan surat kepadanya. Lalu
diceritakannya bahwa di pondok ada yang
bertugas sebagai penyensor surat. Memang pondok adalah tempat orang mencari imu
agama. Tidak boleh dikotori dengan hal-hal yang merusak pemahaman agama.
Pacaran jelas-jelas dilarang oleh agama.
Itulah sebabnya surat yang aku kirimkan tidak sampai ke pangkuannya.
Kini
dia memintaku lagi untuk bersedia melanjutkan hubungan kami yang pernah terputus
oleh jarak dan waktu meski kami sama-sama tidak menghendaki. Aku tersenyum bahagia menyambutnya. Inikah
arti mimpiku?
Kupandangi
lagi bulan yang tak lagi mengintip dari celah dedaunan. Bulat berpendar
ceria menyambut senyum manisku. Ada
lukisan alam yang elok di dalamnya. Semakin aku mengamatinya, semakin
mengaguminya. Seraut wajah dan senyuman yang menggoda itu ikut terbawa di sana.
Berjalan seiring dengan awan yang tak lagi menghalanginya.
***
Biodata Penulis
Nama : Hariyani, M.Pd.
Alamat : Jalan
Cilincing 28 Kel Bendo, Kec. Kepanjenkidul, Blitar
Penulis lahir di Blitar, 23 Desember 1968 lulusan S-2 Pendidikan
Bahasa Indonesia UM. Keinginannya menulis baru disalurkan ketika WFH di masa
pandemic covid-19. Tulisan-tulisannya diunggah di blog Gurusiana, Teras Putiba
Indonesia, Kampung Pentigraf, dan
Academia Edu. Penulis yang mengajar di MTsN 1 Kota Blitar Karya-karyanya adalah
novel berjudul Mentari senja di Balik Awan.
Selain itu beberapa karyanya masuk pada antologi Belajar dari pelajar, Sulam
Rindu, Guru Petualang. Bintang Kecil (Anakku Inspirasiku), Berumah dalam
Sastra Tiga, dan Takziah Juli untuk Sapardi.
No comments:
Post a Comment