Angan di Balik Awan - FLP Blitar

Angan di Balik Awan

Bagikan


Angan di Balik Awan

Hariyani

 

            Malam ini bulan begitu anggun bersolek. Gaunnya yang putih berjuntai pada tubuhnya, menjadikannya makin memesona. Fenomena alam ini membuat Ibas semakin bergelora untuk segera  mengikuti hatinya ke gedung teater. Detak jantungnya mengubah nafasnya makin berirama tak tentu tatkala membayangkan pujaan hatinya akan pentas teater malam ini. Bulan itu masih menautkan matanya pada keelokan warnanya. Ibas memandangi dari balik jendela kamar kosnya.

            Ya, Iyan, adalah adik tingkatnya. Kepiawaian mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga aktivis organisasi di kelompok teater ini telah mengikat hatinya. Sejak pentas pertamanya, membuat Ibas tak pernah absen untuk hadir sekedar mengagumi penanpilan gadis pujaannya ini dari jauh.

            Penampilannya  yang lugu dengan teknik permainan yang luwes tak tampak seperti dibuat-buat, membuat matanya susah berkedip  seakan takut kehilangan setiap moment geraknya. Entah, bagi Ibas, Iyan begitu sempurna di matanya. Mungil, ramah, ceplas-ceplos, kadang kocak, namun menggoda. Hati siapa tidak berdesir tatkala melihat senyum dari bibir mungilnya. Semakin  dia jeli memperhatikan justru semakin menyiksa perasaannya.  Hatinya makin teriris.

            Keakraban Iyan dengan teman seangkatan Ibas membuat Ibas sedikit cemburu. Cemburu yang tak jelas maknanya. Betul, tak jelas karena rasa itu masih terpendam di dasar hatinya. Tapi biarlah, Ibas ingin menikmati rasa itu sendiri saja. Takutnya akan beralih rasa jika dia mengutarakannya. Itulah sebabnya disimpan rapi dalam hatinya. Dibingkainya dengan pesona warna yang melingkunginya. Jangan sampai ada yang tahu.

            "Hei, jadi nggak?" Suara Agus mengagetkannya. Ibas menoleh, lalu tertawa.

            "Tawamu aneh,ya, malam ini?" Agus mengernyitkan dahinya, "pasti  lagi terbayang-bayang seseorang, ya?" Lanjutnya. Ibas hanya mengepalkan tinjunya. Mereka pun tertawa. Kelakar seperti  ini akan berhenti ketika Ibas memberikan sinyal untuk tutup mulut.

            Begitulah laki-laki. Jika sudah tak ingin bercerita, ia hanya mengekspresikan dengan gerakannya. Lawan bicara pun tak ingin lebih banyak tahu urusan orang lain. Tak akan terjadi diskusi panjang tanpa ada permintaan pemecahan suatu masalah.

            Berbeda sekali dengan perempuan yang selalu ingin tahu urusan orang, bahkan tanpa diminta pun tetap ingin mengorek sampai berhasil.  Jika telah didapatkan yang diinginkannya, lalu berceritalah sepanjang jalan yang ia tempuh. Baginya ada kepuasan tersendiri bila mendapat berita baru.

***

            Hari ini grup teater pujaannya akan mementaskan naskah drama karya Putu Wijaya yang berjudul "Wah". Sebuah naskah drama yang mengisahkan tentang kegelisahan masyarakat terhadap komunitas tidak sehat. Komunitas ini beranggotakan para sampah masyarakat yaitu maling, pengemis, dan pencopet. Juga mengekploitasi anak-anak di bawah umur untuk menjadi bagian di dalamnya. Sebagai sebuah komunitas yang layaknya organisasi yang lain, juga mempunyai pengurus. Ada panitia, ada guru yang mengajari trik-trik dalam menjalankan aksinya, ada penyedia perlengkapan.

            Ibas telah sampai di gedung teater. Sambil duduk bersila pandangannya berkeliling. Rupanya ia mencari pujaan hatinya. Tentu saja tak diketemukannya. Semua pemain berada di balik layar.

            Mereka sedang mendapatkan breefing dari sutradara. Mereka sedang bermeditasi untuk memusatkan perhatian. Yang selalu ditekankan pada pemain adalah bermain dengan profesional. Perasaan hanya boleh terbawa dengan tujuan untuk menyentuh perasaan penonton saja. Jangan memasukkan permasalahan pribadi di dalamnya agar tidak keluar dari alur naskah.

            Lampu mulai dipadamkan. Cahaya samar tersorot pada sudut panggung. Properti jala yang menggambarkan sebuah kurungan. Satu demi satu pemain bermunculan dengan jalan mengendap-endap sedang menjalankan profesinya. Profesi maling.

            Iyan tampil dengan tegap begap. Dia berperan sebagai ketua panitia yang memanggil semua anggota. Dia memberikan evaluasi terhadap cara kerja anggotanya. Ibas semakin tak berkedip. Dalam pandangannya, Iyan adalah sosok pemimpin yang tegas. Menghentak lantang suaranya. Tajam penglihatannya. Sinis senyumnya.

            Sangat berbeda dengan aslinya yang murah senyum itulah justru membuat Ibas semakin bergetar. Dia sedikit beringsut untuk menyeimbangkan degup jantungnya dengan getaran jemarinya. Saat sorot mata itu mengarah ke penonton, Ibas merasakan pandangan tertuju padanya. Bibirnya terbuka. Dia melongo seakan tak mengenali perempuan mungil, tapi tampil sangar di panggung itu.

            Ibas semakin tak percaya dengan pandangannya. Menurutnya asing sekali perempuan itu. 180 derajat berbeda dari aslinya. Ibas mengamati bibir mungil yang tak menyungging senyuman sama sekali. Ibas kehilangan. Kehilangan bayangan akan sosok Iyan. Di panggung itu dia berubah sangat beringas.

            Ya, itulah tuntutan peran yang dilakoninya. Sebagai ketua panitia 'permalingan'. Tampil garang. Tata rias yang menambah kuat karakternya. Juga kostum hitamnya yang kumal membuat Ibas heran. Namun, ketika dia mengamati satu per satu pemainnya, semuanya berbaju kumal.

            Memang, itulah teknik untuk menuansakan sosok gelandangan. Kumal dan.kotor.  Kostum yang akan dipakai itu pun dikumpulkan seminggu sebelumnya. Diberi coretan lumpur lalu dikeringkan. Dengan begitu, kesan peran yang jorok makin kentara.

            Bagi Ibas, Iyan tetap memesona dalam pandangannya. Adegan demi adegan dinikmatinya. Gerak demi gerak, dialog demi dialog tak luput dari penglihatan dan pendengarannya. Ibas merasakan tersihir. Kadang dia mengambil nafas berat lalu dihembuskan pelan.

            Jari jemarinya sibuk menguliti kacang goreng di pangkuannya. Tempat pelampiasan debaran jantungnya. Kadang gigitan yang keras dijatuhkannya pula. Gemas pada Iyan tercurah pada butiran kacang goreng itu. Kegelisahannya menjadi-jadi sebab pesona Iyan semakin menusuk-nusuk jantungnya.

            Bug! Sebuah pukulan kepalan tangan mendarat pada pahanya. Ibas menoleh. Mendelik pada Agus di sampingnya.  Sorotan mata protes karena rupanya Aguslah yang mendaratkan pukulan itu. Agus menunjuk pada kaki Ibas yang menimpah pada jari kaki kelingkingnya.

            "Sakit, tau!"

            Ibas segera menarik kakinya sambil tertawa dan mengisyaratkan minta maaf. Dia tak mau berkata-kata. Takut mengganggu konsentrasi penonton lainnya.

            Permainan selesai. Lampu menyala. Semua pemain dan kru tampil di panggung mengucapkan terima kasih kepada penonton. Setelah pementasan ada acara sarasehan. Mengupas dan mengevaluasi pementasan. Dosen-dosen yang akan tampil berbicara. Penonton yang ingin masih tetap mengikuti acara pun disilakan.

            Ibas sebenarnya masih ingin berlama-lama memandangi pujaan hatinya.

            "Ayo, pulang!" Agus membuyarkan keinginannya.  Ada tugas kuliah yang harus dilanjut katanya. Sebenarnya Ibas masih ingin berlama-lama mengamati bibir mungil Iyan. Namun, apa hendak dikata. Tanpa Agus di sisinya, ia juga tak jenak.

***

            Sebuah stasiun radio menyelenggarakan event baca puisi. Tidak ditentukan puisi yang dibacakan. Ibas mendengarkan dengan seksama. Persyaratan apa saja yang menjadi ketentuan. Ibas merasa mendapat peluang. Melalui channel radio ini ia akan.mengungkapkan isi hati yang dipendamnya selama ini. Harapannya akan ada ysng mendengarkan. Tak terkecuali Iyan, pujaan hatinya.

            Tanggal yang ditentukan tiba. Ibas berbekal semangat yang menyala seperti bara api di hatinya, berangkat menuju stasiun radio. Program bertajuk “Sastra” malam ini akan menjadi media curahan hatinya. Untukmu yang sekian lama hinggap di hati. Ia akan memberi label itu dalam persembahan baca puisinya.  Malu? Ah, kalau tetap malu kapan dia mengerti perasaanku. Ibas meyakinkan dirinya.

            Penyiar radio itu mulai memperkenalkan nama Ibas sebagai pembaca puisi yang pertama. Ibas yakin pesan ini akan tersampaikan. Malam ini akan.menjadi malam bersejarah baginya. Malam yang romantic sebagai saksi ungkapan perasaannya.

            Hati Ibas seakan dipenuhi mawar merah bermekaran. Sensasi aroma harum tercium. Dada Ibas mengembang dan.mengempis bergantian.  Keringat mulai membasahi sela-sela jarinya. Beginilah ketika gejolak rasa itu tak dapat dibendungnya. Ia mulai.kikuk.

            "Pendengar yang tersayang di mana pun Anda berada,  untuk mengisi suasana malam yang romantis ini  selama satu jam ke depan Anda akan dimanjakan dengan suguhan bacaan puisi remaja yang sedang dilanda cinta. Sebuah rasa yang menjadi anugerah terindah dalam hidup kita. Bersiaplah untuk menyimak dengan pendengaran dan perasaan yang mendalam. Dijamin Anda akan merasa melayang ke awan. Kebetulan sekali yang tampil pertama ini adalah seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hmm, hati siapa yang akan tergoyang setelah mendengarkan baca puisi ini, ya. Sudahlah, yuuk,  kita simak bersama ... Ibas."

            Ibas segera menuju tempat siaran. Crew stasiun radio mengisyaratkan agar dia lebih mendekat pada mikrofon. Ibas menurut. Dia mulai membuka buku kumpulan puisi yang dibawanya. Sapardi Djoko Damono. Puisi "Aku Ingin" mulai dibacakannya dengan perasaan.

             “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

            Aplaus diberikan seluruh crew. Penyiar segera memberikan klmentarnya. Mengapa puisi itu dipilihnya. Untuk siapakah, dan bagaimana harapannya? Ibas menjawab semua pertsnyaan itu srolah-olah Iyan sedang memeluk radio dan.mendengarkannya. ibas yakin seyakin-yakinnya, esok adalah hari terindah baginya sebab teman-teman sekampus akan memberi ucapak srlamat dan kagum kepadanya tak terkecuali Iyan.

***

            Pagi yang sejuk sesejuk hati Ibas. Langkahnya menuju kampus sangat ringan. Ia telah berhasil mengungkapkan rasa yang terpendam selama ini. Kelegaan tergambar dalam raut wajahnya. Ia membayangkan akan disambut teman-temannya terkait bacaan puisinya tadi malam.

            Benar, beberapa teman mengerubutinya. Mereka menanyai Ibas teruntuk siapa puisi yang dibacakannya tadi malam. Karena memang sangat samar dia menyebut nama itu. Ibas tersenyum menanggapi. Dia akan menanti waktu yang tepat. Nanti ketika dia bertemu dengan Iyan, ia akan menjawab dan menunjuk sosok yang dikirimi puisi tadi malam.

            Pucuk dicita ulampun tiba.  Dari jauh Ibas melihat langkah kaki Iyan menuju ruang kuliah. Kebetulan mata kuliah yang diambil Ibas hari ini sama dengan Iyan. Pun dalam kelas yang sama mereka nantinya. Ibas mulai bergetar. Irama langkah itu menimbulkan jantungnya berirama pula. Namun, iramanya saat ini adalah irama yang cemas. Kecemasan yang timbul karena keraguannya. Akankah Iyan menerimanya? Tertarikkah Iyan padanya?

            “Hey, jawab! Untuk siapa pusi yang kamu bacakan tadi malam?” kembali Agus mengulang pertanyaannya.

Ibas berkedip lalu berjalan mendekati Iyan. Tangannya menunjuk pada Iyan. Yang ditunjuk hanya tolah-toleh tak mengerti apa maksudnya. 

“Yan, itu lo, tadi malam Mas Ibas baca puisi “Aku Ingin” yang dipersembahkan padamu.

“Di mana?” Iyan semakin tak mengerti. Ia hanya menampakkan wajah melongo.

“Naaaahhhhh!” semua berteriak sambil tertawa. Ibas juga ikut tertawa untuk menghilangkan rasa kecewanya. 

“Sabar, ya, Ibas, tak paham dia dengan penampilan kamu tadi malam.” John menimpali.

***

Biodata Penulis

 

Nama              :   Hariyani, M.Pd.

Alamat            :  Jalan Cilincing 28 Kel Bendo, Kec. Kepanjenkidul, Blitar

 

https://www.gurusiana.id/bima-content/d0d486f06c0b0cc28c3cf51bb0df648a/2020/04/25/m-closeup-249e99c7e9cfaa3a8acae1aa0d12c051f20200425101705-bimacms.jpg

            Penulis lahir di Blitar, 23 Desember 1968 lulusan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UM. Kegiatannya menulis terus berlanjut dengan senangnya mengikuti proyek-proyek nulis bareng. Buku-buku yang telah terlahir di antaranya  Dwilogi Mentari senja (Mentari Senja di Balik Awan dan Lembayung Mentari Senja) kumpulan cerpen Senyum terakhir. Prestasi dalam kepenulisan, meraih Juara satu dengan cerpen berjudul “Bulan di Taman” dalam kumpulan cerpen A Thousand  Dream, Favorit kedua melalui  cerpennya “Kulabuhkan Cintaku dengan Bismillah”  dalam kumpulan cerpen Temu, dan Terbaik kedua dengan Nonfiksinya “Sosok Berilmu yang Rendah Hati” dalam kumpulan My Favorite Teacher, Terbaik kedua dalam kumpulan cerpen Dalam Sakitku, terbaik ketiga dalam kumpulan cerpen Perjuangan.

 

 

 

No comments:

Pages