Yang Hilang Akan Terganti - FLP Blitar

Yang Hilang Akan Terganti

Bagikan


Yang Hilang akan Terganti

Hariyani

 

“Kehilangan.” Satu kata yang sanggup mengoyak batin kita. Menyesakkan dada kita. Semula yang ada dalam diri kita  lenyap begitu saja dalam rimba belantara yang tak pernah kita pahami apa yang menjadi penyebabnya. Semua  yang sudah menyatu dalam jiwa kita tiba-tiba sirna dari pandangan mata, dari dekapan, ataupun dari rasa kepemilikan. Menguap entah ke mana. Apa itu keelokan, jabatan pekerjaan, harta benda, kasih sayang, orang terkasih, dan  apa saja yang sudah merasa kita miliki kini telah tiada lagi.

Kehilangan segala yang menyenangkan  begitu menyiksa. Hati ini seakan tak bisa menerima. Protes, berontak, menuntut, dan keinginan  akan kembali dalam kehidupan kita selalu ada. Sampai berusaha mencari-cari penyebabnya. Bertanya ke sana-ke mari. Orang-orang pintar yang kita anggap mengetahui penyebab hilangnya dan ke mana posisinya sekarang, menjadi tumpuan pengaduan. Bahkan pihak-pihak berwajib akan turut juga dilibatkan.  

Menjadi emosional. Mudah marah, sering menangis, dan kadang menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain yang terlibat tatkala belum berhasil menemukan. Tidak bisa menerima realita bahwa sesuatu yang hilang tak bisa kembali. Mengurung diri karena kesedihan yang mendera. Yang lebih parahnya lagi jika merasa trauma. Lalu, akankah ketemu?  Bisa iya bisa juga tidak. Jika bisa menemukan lagi begitu bangganya akan perasaan memiliki.  

Ada yang kita lupakan ketika kita merasa kehilangan. Harusnya, kembali kepada siapa yang Maha Pemberi. Maha Pengasih. Dia yang paling berhak memberi dan mengambil kembali. Dia hanyalah menitipkan kepada kita. Dapatkah kita menjaga titipan-Nya? Jika kita merasa tak sanggup atau kesulitan menjaga titipan-Nya, maka Dia akan mengambil titipan-Nya.

Sejatinya,  Dia mengambil titipan ini juga karena sayang-Nya kepada kita. Namun, kita yang kurang menyadarinya. Kita merasa sebagai objek yang tersakiti. Kita merasa dijadikan objek yang tidak dipercaya. Bukan! Bukan karena itu. Karena sebenarnya Dia begitu Maha Penyayang kepada kita. Dia tidak mau melihat kita merasa repot, sakit, bingung, atau lelah hanya karena merawat titipan-Nya.

Sadar diri yang harus ditanamkan dalam jiwa kita. Ketika kita kehilangan, kita hanya bisa kembali kepada-Nya. Kita berbaik sangka bahwa Dia selalu memberi yang terbaik untuk kita. Memang, awalnya sangat mustahil,  kita begitu saja ikhlas saat semua kesenangan kita hilang dari kehidupan kita. Yakinlah, bahwa semua yang terjadi di dunia ini atas izin-Nya. Rahasia terindah masih disimpan-Nya.

Kelak ketika kita menemukan jawaban akan penyebab kehilangan,  kita akan begitu berterima kasih. Dari itu, keyakinan harus ditanamkan bahwa Dia telah mempersiapkan ganti semua yang diambilnya. Ganti yang dikirimkan akan lebih cocok dengan kondisi kita. Bahkan banyak yang mengatakan lebih baik daripada yang diambil-Nya.

Semua yang terjadi di bumi ini sudah menjadi hak Dia. Akan diapakan dan dikemanakan adalah di bawah  kehendak-Nya.  Sedangkan tugas kita hanya mengalami dan menjalani terhadap segala ketentuan-Nya. Apa pun itu. Andai kita sudah bisa mencapai keridaan akan segala tiba, tidak akan pernah sakit hati ketika kehilangan. Tidak akan ada ratapan, tangisan, penyesalan, saling menghujat, atau bahkan depresi. Tidak akan pernah ada. Betapa damainya hidup ini jika pencapaian itu telah menjiwa dalam diri kita.

Selain kita bertawakal akan segala ketentuan-Nya, satu hal lagi dapat kita tekankan. Terhadap segala kepemilikan, patut kita letakkan saja di tangan kita. Jangan dimasukkan ke dalam pikiran dan hati kita. Sehingga ketika kita kehilangan,  kita hanya mencari dengan tangan kita. Jika tidak menemui lagi akan tetap baik-baik saja.

 

Aku Kehilangan

  

Kenapa aku bisa mengatakan itu semua? Aku telah mengalami sendiri. Aku kehilangan harta benda dan kehilangan suami. Awal ceritanya adalah ketika suamiku menjalankan bisnis kerajinan yang dikirim ke Pulau Bali. Semula lancar-lancar saja. Namun, pada bulan keenam pembayaran mulai tersendat-sendat.

Kami diikat dengan mobil yang cukup mahal pada waktu itu. Tahun 2000 kami  dikirimi mobil Peugeot 306 dengan maksud agar kami terus mengirim kerajinan ke sana. Akan tetapi, mobil tanpa BPKB. Kami tidak berpikir negatif tentang ini. Kami  memaklumi  karena kerajinan yang kami kirim belum seharga mobil itu. Belum genap satu tahun, mobil diambil  oleh dealer karena selama 4 bulan tidak dicicil oleh krediturnya, mitra kerja suamiku.  

Inilah awal hancurnya ekonomi kami. Bagaimana tidak? Kami juga mempunyai tanggungan kredit di perajin, di koperasi, dan di bank. Akibatnya,  macet pula cicilan  kami ke debitur.

Tidak hanya itu, aku mencoba ikut bisnis yang investasi online dijalankan adik ipar. Maksudku ingin bisa membantu. Ini pun gulung tikar. Bahkan sampai terjadi teror terhadap keluarga suamiku.

 Beban yang begitu berat menghimpit suamiku. Namun, suamiku masih begitu kuat dan selalu berusaha menghiburku dengan kata-kata bijak.

“Dik, kita ini termasuk manusia pilihan. Kita diberi ujian sebesar ini karena kita mampu menghadapinya. Allah hanya menguji  sesuai dengan kemampuan kita menjalaninya. Yakinlah, kita bisa melewatinya.”

Namun, kekuatan manusia sangatlah terbatas. Suamiku tak kuat menahannya. Stroke telah menyerangnya. Begitu menyedihkan saat serangan pertama. Ketika menjadi imam salat Magrib di musala dekat rumah kami, suamiku tak bisa lagi bangun dengan normal setelah berzikir.

Terjadi penyumbatan pada pembuluh darah ke otak. Tak berhenti sampai di situ, serangan kedua dan ketiga pun telah menderanya hingga tak tertolong lagi nyawanya. Hati siapa tidak akan hancur? Kehilangan seorang suami yang aku cintai. Suami yang bijaksana. Imam yang bisa aku jadikan panutan. Ketika kehilangan harta benda, aku masih bisa mengatasi berdua. Tapi kini dan nanti, setelah kehilangan suami? Siapa lagi yang diajak bermusyawarah membicarakan segala permasalahan?

Aku ingat waktu itu hari Jumat. Suami pulang salat Jumat. Kami sempat makan bersama. Lalu aku berpamitan akan ke kantor ada urusan. Sepulang dari kantor, aku sudah melihat suami yang tak bisa menggerakkan tubuhnya di tempat tidur. Bicaranya pun terbata-bata. Aku membawanya ke rumah sakit. Namun, sampai malam kondisi tidak berubah dan Allah mengambilnya. Saat aku membisikkan Allah …, Allah …, di telinga kanannya sambil aku memeluknya. Inilah tanda betapa cintanya kepadaku. Di saat terakhirnya dalam pelukanku.

***

 “Tidak ada orang yang jatuh miskin karena sedekah. bagaimana pun caranya.”

Aku selalu berpegang pada prinsip ini. aku bersedekah meski aku tak tahu dari mana aku mendapatkan uang. Aku pikir koperasi masih mau memberikan pinjaman. Sejak selamatan 40 hari hingga 1000 harinya aku berusaha memaksimalkan sedekahku yang aku tujukan kepadanya.

 Masih belum mendapatkan titik terang dalam ekonomi keluarga, aku kembali  tergiur bisnis investasi online. Aku hanya berpikir ingin segera keluar dari hutang-hutang. Aku menggeadaikan mobil. Mobil ini sebenarnya aku beli dari hasil menjual tanah warisan untuk almarhum suamiku. Semula aku beli mobil karena aku begitu kasihan kepada mertuaku yang belum menikmati warisan orang tuanya. Aku berpikir dengan membeli mobil yang aku taruh di rumah mertuaku, maka mertuaku bisa memnafaatkannya. Toh, aku pun jarang bepergian ke luar kota.

BPKB mobil inilah yang aku gadaikan untuk ikut bisnis online lagi. Hancur berantakan pula bisnis ini. Laba tak diberikan. Modal pun hilang. Aku tak bisa memberikan cicilan. Terjuallah mobil warisan. Saat terjual, kedua mertuaku sudah tiada. Mereka tidak mengetahui aku jatuh lagi. Alhamdulillah, masih bersyukur mereka tak ikut merasakan kepedihan yang aku alami.

Aku pun masih berusaha membangun bisnis kerajinan almarhum. Karena aku tak bisa terus mengawasi semua karyawan, bangkrut pula usaha ini. Diam-diam karyawan kepercayaan suami dan kepercayaanku telah mengambil alih. Dia membuka bisnis kerajinan yang serupa denganku. Salah satu pembeli pun beralih kepadanya. Inilah ibarat ‘sudah jatuh tertimpa tangga’.

Aku membangun keyakinan dalam diriku sendiri.

“Jika memang karyawanku dapat mata pencahariaan dengan jalan meneruskan ilmu yang diberikan almarhum  suamiku, tentu amalan bagi suamiku, dan pahala akan terus mengalir pada almarhum. Aku harus ikhlas.”

Aku selalu tak tega melihat kondisi orang yang kesusahan. Karena aku merasa di kampungku aku adalah orang terpandang dan aku satu-satunya pegawai negeri di sana. Aku pun mencoba memberi pertolongan kepada mereka untuk meminjami uang yang aku ambilkan dari koperasi sekolah. Lagi-lagi aku harus gigit jari karena beberapa dari mereka tidak membayar hutangnya. Bahkan ada yang pergi ke kota lain dan tak jelas di mana tinggalnya.

Aku berusaha ikhlas menjalani semua ujian itu. Usaha kerajinan pun aku jual ke adikku yang terkena PHK. Kebetulan juga dia merasa berhutang budi kepadaku. Anaknya ikut aku sudah tujuh tahun sejak mamanya meninggal.

Meski aku sudah menjual semua peralatanku, aku pun masih menerima order kerajinan. Aku meminta adikku dan bekas karyawanku untuk memenuhi pesanan kerajinan. Aku tak lagi marah kepada bekas karyawanku. Dia pun selalu berusaha memenuhi pesananku dengan tepat waktu. Kami bisa berjalan beriringan mengais rezeki di bidang kerajinan.

 

 

 

 

Imbalan yang Kudapatkan

 

Mungkin karena aku berusaha untuk sabar dan ikhlas inilah, Allah memberikan imbalan. Secara tak senagaja aku mengenal seorang duda dari media sosial. Ternyata duda itulah yang dipersiapkan Allah sebagai hadiah untukku. Bagaimana tidak? Duda tanpa anak itu memilihku menjadi istrinya. Aku yang mempunyai dua anak lelaki dan mempunyai permasalahan ekonomi yang begitu pelik diterimanya dengan sabar dan ikhlas oleh duda itu. Itulah bukti bahwa Allah mengambil suamiku, tetapi Allah sudah mempersiapkan pula gantinya.

Bahkan duda itu telah membawa mobilnya ke rumahku. Semula aku kehilangan mobil dua kali.  Kini Allah menggantikan pula mobil itu. Di depan rumahku kembali terparkir mobil. Rencana Allah sungguh sempurna.

Permasalahan ekonomiku belum selesai. Hutang-hutangku harus segera terbayarkan. Sementara aku sudah tidak mempunyai lagi penghasilan tambahan dari kerajinan itu. Aku hanya berpikir dengan sedernana.

“Entahlah apa lagi rencana Allah untuk mengatasi masalahku ini. Yakin Allah selalu mempunyai solusi terbaik untuk semua masalahku”.

Semua aku jalani dengan keyakinan penuh akan rencana Allah yang selalu lebih indah daripada yang aku inginkan.  Salat malamku tak pernah absen. Dalam setiap salat malam selalu aku mohonkan doa-doa agar keluar dari segala masalah.

Kejutan yang sangat mengharukan dari suamiku. Rumah suami dijual dan dibelikan rumah baru  untukku. Rumah baru itu atas namaku. Uang sebesar ratusan juta dikirimkan adik suamiku dan masuk ke rekeningku untuk membayar rumah itu.   Tak pernah aku membayangkan akan menerima uang sebanyak itu. Allah menutupi aibku. Rumahku akan kujual untuk membayar hutang, tetapi sebelum terjual, Allah sudah memberikan rumah baru yang jauh lebih bagus dari rumahku. Demikian pula mobil yang sekarang ada di depand rumahku juga lebih bagus daripada mobilku yang terjual.

“Allah Maha Baik, Allah mengambil sesuatu dari kita, tetapi Allah akan menggantinya yang leboh baik, asalkan kita mau ikhlas,  bersabar, dan yakin sepenuhnya akan rahasia indah-Nya.”

***

             

 

 

Biodata Penulis

 

Nama              :   Hariyani, M.Pd.

Alamat            :  Jalan Cilincing 28 Kel Bendo, Kec. Kepanjenkidul, Blitar

 

https://www.gurusiana.id/bima-content/d0d486f06c0b0cc28c3cf51bb0df648a/2020/04/25/m-closeup-249e99c7e9cfaa3a8acae1aa0d12c051f20200425101705-bimacms.jpg

            Penulis lahir di Blitar, 23 Desember 1968 lulusan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia UM. Kegiatannya menulis terus berlanjut dengan senangnya mengikuti proyek-proyek nulis bareng. Buku-buku yang telah terlahir di antaranya  Dwilogi Mentari senja (Mentari Senja di Balik Awan dan Lembayung Mentari Senja) kumpulan cerpen Senyum terakhir. Selain itu, beberapa karyanya masuk pada antologi dan meraih prestasi dalam kepenulisan, meraih Juara satu dengan cerpen berjudul Bulan di taman dalam kumpulan cerpen a Thousand of Dream, Favorit kedua melalui  cerpennya Kulabuhkan Cintaku dengan Bismillah  dalam kumpulan cerpen temu, dan Terbaik kedua dengan Nonfiksinya Sosok Berilmu yang rendah hati dalam kumpulan My Favorite Teacher

 

 

No comments:

Pages