"Innalillah!" Nandini terengah-engah. Bulir keringat sebesar jagung membasahi wajahnya. Barusaja seekor ular panjang besar menggigitnya. Untunglah semua hanya mimpi.
Lonceng di kamar Nandini berbunyi dua kali, menandakan bahwa sekarang masih dini hari. Namun, mimpi di jam-jam itu biasanya tak sekedar mimpi. Ada pertanda.
Itu pernah dialami Nandini, enam tahun lalu. Esoknya Sariman suaminya melamarnya dan mereka menikah hari itu juga.
Ah, tapi kan sekarang Nandini sudah menikah? Masak akan ada yang melamarnya lagi? Mendadak ia bingung, ini hal baik atau sebaliknya.
Nandini mengambil air wudhu, shalat malam dan menghabiskan waktu membaca Al-Qur an sampai shubuh tiba.
Ya, Andini memang sudah menikah. Tetapi setahun setelah itu, suaminya pamit bekerja ke luar negeri tapi sampai sekarang sudah tak ada kabar lagi. Andini tak tahu bagaimana mencarinya. Juga tak pernah mengirimkan nafkah lahir.
Apalagi Andini belum punya anak. Dia menyibukkan diri dengan bekerja dan berkarya. Andini amat suka menjahit. Dia membuat model sendiri. Itu kenapa langganannya adalah orang-orang kaya.
" Assalamualaikum." Tepat pukul tujuh pagi terdengar suara pintu rumahnya diketuk. Andini mengira kalau itu adalah pelanggan menjahitnya.
"Walaikumsalam," jawab Andini.
Tak disangka ternyata itu adalah Pak Lurah dan anak laki-lakinya, Arham yang seusia dia.
"Silahkan masuk, Pak!" tawar Andini. "Silahkan duduk!"
Setelah berbasa-basi, Pak Lurah menyampaikan apa tujuannya, " Nduk, pean pasti tahu to kalau bapakmu adalah sahabat karibku sejak dulu. Pean juga tahu kan kalau anakku menduda sejak istrinya meninggal saat melahirkan tiga tahun lalu,"
Andini hanya mengangguk, "Nggih, Pak!"
"Kamu juga kehilangan kabar suamimu sejak lama. Jadi aku rasa akan baik kalau kamu dan Arham menikah," lanjut Pak Lurah.
"Apa, Pak?" Aku tersedak ludahku sendiri. Kemudian melirik Arham, ya kami memang sudah saling kenal satu sama lain.
"Kalau, kau dan Arham wetonnya cocok sekali. Benar-benar pas. Hidup kalian akan bahagia. Sempurna! Gimana, Nduk?"
Aku menghela nafas panjang. Inikah akhir kesetiaannya pada suaminya. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat.
"Maaf, Pak. Ijinkan saya berpikir dulu, ya!"
"Iya, Nak. Kalau begitu Bapak pamit!"
Pak Lurah dan Arham pun meninggalkanku yang masih mematung. Mimpiku digigit ular semalam terngiang-ngiang seperti video yang diputar ulang. "Tapi, bagaimana dengan suamiku?" gerutu Andini.
No comments:
Post a Comment