MARTABAT KEMATIAN Oleh : Heru Patria - FLP Blitar

MARTABAT KEMATIAN Oleh : Heru Patria

Share This
MARTABAT KEMATIAN 
Oleh : Heru Patria 

 “Jika bagian terindah dari tidur adalah mimpi maka bagian terindah dari hidup adalah mati.” 

    Layaknya matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi, semula Parmin begitu meyakini quote yang pernah dirangkainya sendiri itu. Tak bisa dipungkiri, meski bukan berasal dari ajaran bijak sebuah kitab suci tapi Parmin mendapatkan rangkaian kata-kata sarat makna itu dari serangkaian perjalanan panjangnya selama di muka bumi.

    Sosok Parmin tak ubahnya sebutir debu. Rela diterbangkan embusan angin ke mana saja tanpa pernah mengeluh kepada Sang Pencipta. 

     Parmin bukanlah figure manusia yang taat beragama. Baginya nama Tuhan hanya pantas disebut ketika ia dirundung duka nestapa. Ia beranggapan bahwa agama hanyalah sekadar rem untuk membatasi ruang gerak manusia. Nabi dan kitab suci hanyalah hasil pemikiran manusia yang menginginkan hadirnya sosok panutan yang disegani. Sedang Parmin ingin menjadi pribadi yang bebas. Lepas tanpa penghambat. 

    Pagi ini, sebelum embun minggat lantaran terusir matahari yang gemar menjilat, Parmin terpaksa harus mengakui bahwa rangkaian quote yang pernah ia ciptakan itu sedikit pun tak menjamah nilai kebenaran. Ia lupa kalau realita hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Tuhan tak memberikan apa yang ia minta meski sebenanrnya Tuhan memberikan apa yang ia inginkan. Hanya saja otak bebal Parmin yang dangkal seperti dasar sungai-sungai di ibukota yang kian tertimbun sampah akibat jumlah penghuninya yang terus meledak, tak mampu menterjemahkan kode kasih sayang dari Pencipta Alam. 

    Betapa tidak! 
    Saat Parmin berdiri tepekur di samping sesosok jasad kaku yang menggeletak di atas meja di balik selembar kain jarit usang yang menutupinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, barulah ia merasa bahwa hidupnya sudah tak berarti lagi. Tiada seorang pun yang menganggap kehadirannya di tempat itu. Bahkan anggota keluarganya yang sedang menyanyikan lagu duka tentang kehilangan yang maha berat, tak seorang pun yang menggubrisnya. Begitu pula para tetangga yang datang melayat, semua tak ada yang menegur sapanya. Bahkan sebagian orang sempat pula menabraknya. Namun, semua tetap bungkam seakan ia bukanlah apa-apa. Ia dianggap ruang hampa yang telah hadir pada waktu dan tempat yang tak seharusnya. 

    Oh! Parmin tercekat. Malang benar nasip mayat yang terbaring di hadapannya ini. Barangkali semasa hidup, orang ini terlalu banyak bergumul dengan salah dan dosa, sehingga tak ada saudara, kerabat, atau tetangga yang sudi menjamah jasadnya. Jika lazimnya jenasah itu dimandikan, dikafani, dan disholatkan, tapi mayat yang satu ini dari tadi tetap dibiarkan di atas meja. Hanya sebatang lilin yang nyalanya bergoyang-goyang akibat ditiup angin, yang setia menemani mayat di sisi bagian kepalanya yang ada di utara. 

    Dada Parmin bergemuruh hebat. Melihat mayat yang tersia-sia itu, serasa harkat kemanusiaannya dilempar ke dalam jurang terdalam yang berisi air comberan. 

    “Hai Bapak, Mbok, Adik, di mana kalian buang rasa kemanusiaanmu hingga kalian tega perlakukan orang mati seperti sampah di pinggir kali!” teriak Parmin geram. 

    Tapi … oh, tidak! Mereka yang ia teriaki itu tak ada yang memedulikannya. Jangankan menyahut, menoleh pada Parmin saja, enggak. Begitupun para pelayat yang sedang duduk bersila dengan jarak 3 meter dari jenasah. Semua bungkam. Diam seribu bahasa.  Seolah mereka menjadi tuli mendadak dan tak mendengar Parmin berteriak. 

    Parmin tercekat. Ia jadi membayangkan betapa menyedihkan andai dirinya yang mati dan mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi begini. Tantu kematian bukan lagi menjadi hal terindah dari hidup. Namun sebaliknya, jadi jalan paling gelap. Padahal di akhir hidupnya kelak Parmin ingin mendapatkan kematian yang paling bermartabat. Disesali oleh banyak orang dan ditangisi oleh kedua orang tua serta saudaranya. Sebaik-baik martabat kematian adalah orang mati yang mendapatkan penghormatan terakhir sesuai adat kebiasaan yang bersemayam dalam masyarakat. 

    Namun siapa orang yang mau memperlakukan kematiannya secara bermartabat? Mengingat masa lalunya yang kelam, ia ragukan sendiri pengharapan yang diingin. Selama ini, khalayak hanya mengenalnya sebagai pemuda luntang-lantung yang berteman akrab dengan kemaksiatan. Menenggak minuman keras dan main perempuan adalah menu tetapnya saban hari. Belum lagi kebiasaannya nyolong ayam tetangga ketika ia tak punya lagi duit untuk membeli miras atau membayar pelacur kelas teri yang menjajakan tubuh di lorong-lorong stasiun yang sepi.

    Bedebah! Parmin jadi benci dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa diacuhkan. Tak dihargai. Nilai kemanusiaannya telah tercerabut dan tercampakkan. Menerima kenyataan getir ini, ia jadi semakin tak mempercayai kalau dzat yang disebut banyak orang sebagai Tuhan adalah Maha Pengampun. Ia memang pernah mendengar kisah tentang seekor anjing yang pada akhirnya bisa masuk surga. Semula, tepatnya sebelum hari ini, ia sempat meyakini adanya sedikit kebenaran dari kisah ini. Namun tidak untuk sekarang. Sikap orang-orang yang tak menggubris keberadaannya di hari kematian seonggok mayat bernasip nelangsa ini, tamatlah sudah secuil keyakinan yang pernah coba ia percayai. 

    Meski dadanya terasa sesak, Parmin memaksakan diri turut melangkah di tengah pengantar jenasah menuju makam, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. 

 **** 

    “Kasihan Kang Bejo ya, punya anak laki-laki satu aja, mbelingnya gak ketulungan. Pantaslah kalau matinya dalam kondisi mengenaskan,” ujar seorng pelayat yang berdiri tepat di samping Parmin.
 
    Mendengar nama bapaknya disebut, serta merta Parmin menoleh seraya melotot tajam pada dua orang yang telah menggunjing di tengah makam itu.

    “Hai, mata kalian sudah picek, ya! Akulah anak lelaki satu-satunya dari Pak Bejo. Dan aku masih hidup, tahu?!” hardik Parmin tak dapat lagi menahan emosi.
 
    Tapi … lagi-lagi Parmin harus menelan pil pahit. Seakan tak sudi mendengar hardikan Parmin, kedua orang itu tetap saja menggunjing kehidupan Parmin yang miring. 

    Parmin mengelus dada. Martabat kematian yang pernah diimpikannya, sirnalah sudah. Ia tak mau lagi berharap. Sambil menyimpan dongkol yang teramat sangat, ia kembali memusatkan pandangan ke arah mayat yang kini mulai dimasukkan ke liang lahat. Tak seperti biasanya, petugas pemakaman yang seharusnya mengenakan pakian keseharian, kali ini tampak berpenampilan aneh. Enam orang yang bertugas memasukkan jasad ke makam, masing-masing memakai pakaian berbahan plastik serta mengenakan masker lengkap dengan penutup kepala yang berwarna bening di bagian mata saja. Mereka juga bersepatu booth ala pegawai proyek dan bersarung tangan. 

    Perlahan Parmin menghampiri bapaknya yang berdiri paling depan. 

      “Pak, kenapa orang-orang sekarang berpakian aneh seperti itu? Apa sekarang mereka merasa sedang berada di bulan begitu?” lirih Parmin bertanya seraya mendekatkan bibir ke telinga kiri bapaknya. 

     Si bapak tak bereaksi. Tetap memandang lurus ke depan. Prosesi penimbunan jenasah lebih menarik perhatian lelaki 55 tahun itu. 

    Jelas saja Parmin kecewa. Lagi-lagi ia merasa diacuhkan. Atau lebih tepatnya telah dibuang dari kehidupan semua orang.

 **** 

     Area pemakaman telah sepi. Semua orang sudah melangkah pergi setelah mencuci tangan dan kaki di pancuran air yang tersedia di pintu masuk pekuburan. Parmin yang penasaran lantaran tadi sempat menyaksikan kedua orang tua dan adiknya sempat memanjatkan doa dengan menyebut namanya sebelum pulang, perlahan melangkah mendekati gundukan tanah yang masih memerah itu. Matanya segera saja terpusat pada batu nisan yang bertuliskan satu nama. Parmin bin Bejo. Wafat, 23 Maret 2020. 

     Astaga! Parmin terlonjak. Ini benar namanya. Di kampong Kletek ini lelaki bernama Parmin anak Pak Bejo hanyalah dirinya. Tapi benarkah kini ia telah mati? Tak percaya, Parmin merabai dirinya. Bahkan ia sampai nekat ingin mencabut batu nisan itu guna melemparnya jauh-jauh. 

     Namun, jangankan mencabut, untuk sekadar menyentuh batu nisan itu saja ia sudah tak mampu. Ia seperti meraih ruang hampa. Parmin terkulai lemah. Duduk di atas nisan sambil mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya belakangan ini. 

 **** 

    Empat belas hari sebelumnya. Di saat semua warga pada berdiam diri di rumah dalam rangka melaksanakan anjuran pemerintah Protokol Kesehatan , Parmin yang malam itu mabok berat, melangkah gontai menuju sebuah tempat lokalisasi murahan. Tanpa mengabaikan ramainya berita perihal mewabahnya penyakit Corona akibat serangan virus Covid 19 yang mencuat dari wilayah Wuhan-Cina, Parmin menuntaskan hasrat birahinya hingga beberapa episode dalam semalam. 

    Semula sang Lonte sempat menolak karena merasa kurang enak badan. Beberapa hari ini perempuan lacur itu tubuhnya deman, batuk-batuk, dan sedikit sesak napas. Parmin yang tak sudi mendapat penolakan di saat konak sudah mencapai ubun-ubun, langsung menawarkan imbalan lima kali lipat dari biasanya. Persetan itu uang hasil jualan seekor kambing yang ia curi dari kampung sebelah. 

     Setan memang tak pernah pensiun menggoda manusia. Uang menjadi alat ampuh untuk membutakan siapa saja. Parmin mencecap kehangatan tubuh Lonte itu dengan penuh nafsu. Tanpa merasa lelah ia terus mengayuh bahtera syahwat menuju puncak yang bersebelahan dengan akhirat. Lenguhan manja dan gigitan nakal sang perempuan binal membuat Parmin semakin liar mereguk surga berbayar. 

     Hanya sesekali mereka berhenti mendaki birahi untuk sekadar mengelap keringat atau meneguk air mineral guna membasahi kerongkongan. Selaku nahkoda, Parmin tak ingin perahu yang didayungnya berlayar di tepian samudra. Ia suka tantangan. Mengarungi ombak dan gelombang baginya akan terasa lebih menyenangkan. Setiap ceceran peluh yang mengalir selama bersetubuh, adalah pemicu semangat bagi Parmin agar ia makin cepat memompa cinta untuk meluberkan lava yang menggelegak di pangkal kemaluannya. 

     Parmin tak membutuhkan arah dalam mengarungi samudra gairah. Lewat sedikit desah yang keluar dari bibir nan merah, sudah cukup bagi Parmin untuk terus menjelajah tiap daerah yang ingin ia jamah. Keperkasaan Parmin itu tercipta lantaran dendam kesumat pada kaum hawa yang tak pernah ada seorang pun yang sudi menerima cintanya. Mereka menganggap Parmin tak lebih sebagai sampah masyarakat yang najis untuk dicintai.

    Saat gema adzan Subuh berkumandang, barulah Parmin melangkah pulang. Tapi tentu saja bukan pulang ke rumah. Melainkan mangkal di pos ronda yang sudah tak digunakan warga, bersama teman-teman sesama dewa mabok. 

    Dalam kondisi teler berat, Parmin kerap ndleming bahwa kelak jika ia mati, ia ingin mendapatkan kematian yang bermartabat. Sayang, sebelum martabat yang ia harapkan itu datang mendekat, virus corona yang ditularkan oleh perempuan lacur yang pernah disetubuhinya semalam suntuk itu terlebih dulu membelai nyawanya. 

     Parmin ditemukan warga tewas di selokan depan pos ronda dengan status positive terjangkit Corona. Martabat kematian yang pernah diinginkannya sia-sia. Jenasahnya terpaksa dimakamkan tanpa penghormatan yang layak. 

     Jika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Parmin justru mati meninggalkan cerita kelam. Rambut gondrong dan tubuh kerempengnya yang penuh tattoo tak cukup sakti untuk membentengi diri dari cakaran Covid 19. Martabat kematiannya lenyap tanpa bekas akibat tak mengindahkan anjuran pemerintah untuk tinggal di rumah.

     Ternyata bagian terindah dari hidup bukanlah kematian.

Blitar, 10 Pebruari 2021

No comments:

Pages