Cinta dalam Sepotong Roti - FLP Blitar

Cinta dalam Sepotong Roti

Bagikan
"Hanan... Bangun nak sudah siang. Liat tuh matahari sudah tinggi. " 
Hanan mendengar suara ibunya setengah berteriak. Perlahan dia membuka mata. Tapi rasanya susah sekali. Ia raja-raja ponselnya. Ah, sudah jam 6 pagi. Ia melihat sekeliling masih setengah sadar. Jet lag. Ya, dia memang baru saja pulang dari Australia. Setelah menempuh masa studi s2 selama dua tahun. Dan kini dia kembali ke kota kecil tempat dimana dia lahir. 
Ah, dia baru sadar jika tak berada pada ranjang yang sama. Ia masih berusaha beradaptasi dengan tempat, kultur dan kebiasaan yang berbeda di Australia dan di Indonesia. 
Di sana dia bebas bangun jam berapa. Bahkan sering hingga jam 8 pagi baru bangun dari tempat ti

dur. 
"Hanan.... Kamu sudah sholat subuh. 
" Huummh... "Hanan mendesah. 
" Masih ngantuk, Ma. "
Kamu tu usia berapa. Sudah mama bilang jangan sampai tinggalkan sholat lima waktu. Jangan dipikir kamu sudah sekolah di Australia maka kamu melupakan agama. Sains itu tidak berarti tanpa agama. 
"Aduh, Ma.. Pagi-pagi nggak usah ceramah deh. Iya ni aku bangun. "
Hanan mulai bangkit dari tempat tidur. Dia membuka jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan kebun bunga. Silau matanya karena ada sinar matahari masuk mengenai kedua matanya. 
Ia segera mandi dan membersihkan badannya. 
Hanan membatin dalam hatinya. Mama masih saja menganggapnya seperti dulu. Menyuruhnya mengaji, sholat lima waktu, bangun sebelum subuh. Padahal tanpa mamanya tahu Hanan telah berubah. Seiring dengan komunitas dan budaya Australia yang lekat dengan dirinya. Dia Australia dia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia temui selama di Indonesia. Ia bertemu banyak orang dengan berbagai keyakinan. Bahkan ada pula yang tidak berkeyakinan. Tidak mengakui adanya Tuhan. Mereka hanya percaya akan kemampuan diri sendiri. Bahwa manusia lah yang berhak menentukan hidupnya bukan sesuatu yang berada di luar dirinya. 
Bercampur dengan komunitasnya Hanan menjadi semakin skeptis terhadap agama. Yang ia percaya hanya ilmu pengetahuan. Disana dia menghabiskan waktunya dengan belajar dan melakukan penelitian. Sudah lama dia meninggalkan sholat dan membaca Al-Quran Qur'an. Baginya manusia tidak akan terus berkembang jika menjadikan agama sebagai acuan. Bahwa kebebasan berpikirlah yang membuat manusia itu maju.
Setelah selesai mandi Hanan mengeringkan rambut dengan handuknya. Dia masih bertelanjang dada dengan handuk masih terlilit di tubuhnya. 
Ia merasa bebas saja karena tidak ada orang yang melihatnya. Kemudian dia mengambil remote TV dan menyetel acara berita. 
"Assalamualaikum." Suara seseorang terdengar di depan. Namun Hanan masih asyik menonton televisi. Dia tidak mendegar suara orang itu. 
"Assalamualaikum." Salam kedua terdengar tapi masih belum ada tanggapan. 
Akhirnya tamu tersebut langsung menuju belakang rumah dia menuju pintu samping yang merupakan bagian tengah dari rumah itu. 
Dan dia melihat seseorang bertelanjang dada sedang duduk di sofa. 
"Ah, eh, aduh maaf. " Tamu itu yang ternyata seorang gadis berteriak karena malu. 
Hanan tersentak. Dia kaget. Tapi sudah kepalang tanggung. Mau bagaimana lagi. 
Gadis itu menundukkan kepalanya. "Maaf saya hanya mengantarkan roti sandwich. " 
"Oh, Sudah dibayar? "
"Sudah"
"Ok saya Terima. "
"Baik terimakasih. "
Gadis itu pun pergi. 
Hanan membuka bungkus sandwich itu. Sambil melihat gadis itu pergi. Ia seperti teringat sesuatu. Seperti pernah bertemu. Seperti pernah mengalami hal seperti ini. Ah mungkin deja vu. 
Sesaat dia membuka bungkus Sandwich itu dan memakannya. Penasaran ia melihat gadis itu berlalu dari pintu depan. Dari samping... Ya ia mengenali gadis itu. 
Seseorang yang telah memberikan kesan mendalam namun tak pernah ditemuinya. 

#bersambung


No comments:

Pages