Sebuah Catatan di Kampoeng 1001 - FLP Blitar

Sebuah Catatan di Kampoeng 1001

Bagikan



Selalu ada yang menyenangkan dalam kebersamaan.

Tanpa aku meminta, perasaan hangat yang telah lalu itu kembali menggodaku. Keheningan malam dengan lentera kaca yang tergantung di antara pohon-pohon jambu, semakin menguatkan kenangan itu.

Pernah aku merasa jengah dengan dunia kata-kata. Ketidakseimbangan cara berpikirku menuntutku harus memilih langkah. Sampai pada titik tertentu, akhirnya kututup cerita-cerita tentang kata; bersama gugurnya daun jati.

Namun, kata selalu memiliki cara untuk mendekap jari-jari bagi para penulis. Seperti aku yang tanpa sengaja bertemu kembali dengan nama-nama yang sama menggenggam pena. Melihat wajah-wajah yang teduh dengan secarik kertas berirama. Malam itu seolah menjadi malam pujangga. Harus aku akui, aku sungguh menikmati malam itu.

Kampung 1001 menjadi kilas balik bagiku yang pernah bermain dengan kata-kata. Berbincang tentang apa saja yang bisa diperbincangkan dengan mereka di bawah pohon jambu yang mulai kembang. Saling menguji ego tentang pengetahuan, membuat kita tak sadar kalau waktu sudah terlalu larut. Dingin perlahan merayu kita menuju peraduan.

Pagi belum benar-benar terbangun. Samar mata ini mencari seekor burung yang berkicau. Entah, pada dahan yang mana sang burung itu berkicau. "Terimakasih Tuhan, atas _symponi_ pagi yang telah kau suarakan pagi ini." Kataku dalam hati. Beberapa saat lamanya takjubku 'tak henti menikmati pagi itu. Dengan sebatang rokok yang telah terbakar setengah; dengan lamunan-lamunan.

Ah menyebalkan..
Suara sound dengan hentakan musik yang berisik membuyarkan pagiku yang hampir sempurna. Tidak tahu bagaimana, aku pun menuju suara itu. Kudapati mata-mata yang juga masih sayu setelah malam pujangga dan perbincangan-perbicangan. Sialnya, musik semakin berisik. Layaknya penyamun, irama musik itu perlahan menuntun tubuh-tubuh yang masih malas. Lebih sialnya aku menikmati itu. Seringai mulai mengembang dari semua bibir. Tiga puluh menit telah berlalu. Kini tubuhku sudah menghangat.

Kebersamaan itu masih berlanjut. Segelas kopi hitam yang tidak terlalu kental menemani kita dalam menerima pengetahuan dari mereka; orang-orang hebat dalam dunia kata. Kita berdiskusi tentang apa itu puisi? Bagaimana membingkai cerita? Dan bagaimana menjadikan itu sebagai ladang rejeki. Waktu yang terlalu singkat, aku belum puas mengecap ilmu dari orang-orang hebat itu. Namun, alam selalu punya cara untuk menutup sebuah kebersamaan; tak ubahnya membuka sebuah pertemuan.

Selain kicau burung yang membuka pagiku menuju sempurna, aku juga berucap syukur telah dipertemukan dengan FLP (Forum Lingkar Pena). Keduanya telah membuka lembaran baru untuk langkahku esok hari.

Tian
Blitar, 12-13 September 2020

No comments:

Pages