Oleh: AA Syah
Jika bukan karena niat dan rasa penasaran, mungkin aku tidak akan berada di Blitar, sabtu tertanggal 12 September 2020 untuk menghadiri acara open recruitment yang diadakan oleh FLP (Forum Lingkar Pena) Blitar.
Di garang sinar surya Sabtu itu, aku berangkat dari Malang menuju ke Blitar, daerah Sawentar, nama dan daerah yang cukup asing bagiku. Berbekal hafalan dari google maps yang ku lihat di laptop temanku, aku nekat mencari kampong 1001 di Sawentar, Blitar.
Dua setengah jam perjalanan ku tempuh dari Malang menuju Sawentar—termasuk tersesat di jalan dan bertanya warga sekitar sebagai tambahan—setelah bertanya untuk ketiga kalinya kepada orang yang berbeda dari di warung, SPBU, hingga Bengkel akhirnya sampai juga di kampung 1001.
Mungkin perjalanan ini jauh lebih mudah apabila HPku memadai untuk fitur google maps, tapi kembali lagi, HP jadul sama dengan fitur jadul, google maps aplikasi yang terlalu mewah untuk berada di HPku.
Selama perjalanan dari Malang ke Blitar, ku kira kampung 1001 bakal seperti bagaimana perwujudan kampung wisata di Malang. Megah dengan barisan pelapak yang berjajar seiring pintu masuk dan di dalam kampung wisata. Tapi, ternyata tidak, kampung wisata di Blitar ini sederhana saja (macam kampung wisata di Pasuruan). Dari pintu gerbang, di kejauhan langsung tampak rimbunan kebun jambu air di kiri dan kanan jalan beberapa lapak pelapak yang kosong (mungkin karena efek pandemic covid-19).
Memasuki pintu gerbang, langsung disambut ramah oleh panitia yang hanya beberapa orang. Acara atau briefing seharusnya di mulai jam 3 sore itu, tapi apalah daya dengan keberadaan peserta yang masih hitungan jari akhirnya acara belum dapat dimulai, sehingga memungkinkan cukup waktu untuk menelisik segala lini yang ada di kampung 1001.
Kebun jambu air, luar biasa sekali, rindang dengan semilir angin berhembus dari sawah di balik tembok kampung 1001, terdapat tenda-tenda seperti untuk kemah, dan rumah kurcaci yang menghiasi pinggir-pinggir kebun jambu air.
Aku tak habis pikir begitu memasuki kebun jambu air, bagaimana mungkin seluruh tanah yang berada di kebun bisa-bisanya disemen? Mungkin kelak kebun ini juga akan dikeramik.
Sekian lama menunggu, briefing dimulai juga. Briefing dibuka oleh mas Fachrizal dengan menjelaskan mengenai jalannya acara dan mengharapkan setiap peserta rekrutmen untuk membuat dan membawakan karya baik berupa puisi, menyanyi, ataupun stand up comedy saat malam pensi.
Ingin rasanya menyumbangkan suara, tapi suara ini sudah cukup sumbang; ingin stand up comedy, aku tidak sejenaka itu; akhirnya, puisi juga yang dipilih untuk pensi.
Setelah solat isya’, acara pun dimulai, pembukaan dilakukan oleh ketua FLP Blitar, mas Hendra, dan disambung oleh mas Fachrizal mengenai ke-FLP-an, sejarah singkat, dan fokus FLP.
Malam makin meriah dengan adanya pensi, dari peserta dan panitia yang bergantian membacakan puisi karya masing-masing atau pun penyair terkenal. Acara pensi tersebut ditutup oleh mas Jon Blitar yang tampak katarsis disetiap pembacaan kata dan bait puisinya. Mengagumkan.
Sabtu malam, malam yang panjang, satu gelas dua gelas kopi berlalu begitu saja. Obrolan ringan dan saling tukar ilmu pengetahuan melingkupi kami yang meriung di bawah pohon jambu air. Tengah malam berlalu begitu saja, obrolan perihal literasi, kesusastraan, seni pertunjukkan, Sukarni, Ken Arok, Tirto Adhi Yosho (prototype Minke dari Tetralogi Buru karya eyang Pram), hingga anak indigo pelengkap begadang kami. Serapan ilmu-ilmu baru dan kawan yang baru. Mungkin begadang seperti ini yang diperbolehkan oleh bang haji Rhoma Irama.
“Begadang boleh saja, kalau ada perlunya."
Esok hari
⁰
Hari baru semangat baru, setelah tidur kurang lebih 3 jam dengan penuh drama, mulai dari mencari spot tidur yang nyaman hingga bergidik kedinginan, aku terbangun dengan kantong mata menggelayut hitam.
Memulai hari yang baru, aku bersama teman peserta lain melakukan senam dipimpin oleh oma Titiek yang penuh semangat juang di pagi itu. Obroan panjang dan tidur kurang di Sabtu malam, membuat tubuhku tertatih-tatih saat senam, jiwa semangat, raga sambat. Alunan lagu poco-poco, gemufamire, dan tik tok pengiring senam tak cukup membuat tubuh bergerak, maklum lagu dangdut biasanya jadi preferensi. Durasi senam yang tidak begitu lama cukup membuatku ngos-ngosan. Bagaimana tidak, minggu pagi bagiku adalah momen yang sakral untuk rebahan dan baca-baca.
Nasi pecel, sarapanku pagi itu setelah senam ceria. Ku kira pecel yang aku makan akan sama saja dengan pecel yang biasa diperjualbelikan di Malang. Pecel yang cenderung manis dan membuat cepat kenyang meskipun belum habis. Mungkin ini yang disebut dengan pecel Blitar, dengan bumbu yang cenderung pedas dan bisa ku katakan lebih enak dari pecel-pecel yang biasa diperjualbelikan di Malang.
Senam sudah, makan sudah. Badan bugar, perut riang. Sesuai jadwal dan arahan dari panitia FLP, sesi motivasi menulis dimulai dengan pemateri pak Heru Patria yang merupakan penulis paling produktif di FLP Blitar atau bahkan mungkin di seluruh Blitar. Beliau menyampaikan betapa pentingnya konsisten, ulet, dan percaya diri dalam menulis. Kemudian disambung dengan pengenalan kelas, mulai dari kelas puisi, kelas cerpen, dan kelas non-fiksi.
Kelas puisi, ada mas Jon Blitar sebagai pemateri, beliau menyampaikan betapa dahsyatnya kekuatan patah hati dalam proses berkreasi puisi. Kelas cerpen, ada mbak Imro’ sebagai pemateri. Terakhir, kelas non-fiksi, ada mbak Adinda sebagai pemateri, tapi orang yang bersangkutan tidak dapat hadir namun masih sempat menyampaikan materi melalui IGTV (fitur dalam Instagram).
Ada yang menarik saat pengenalan kelas cerpen, kami dari peseta rekruitmen dan panitia bermain cerita bersambung, diawali oleh mbak Imro’ kemudian disambung oleh orang lain dengan cara melanjutkan kata terakhir sebagai kata awal untuk orang yang baru. Karena ulah oknum yang kurang bertanggung jawab akhirnya cerita bersambung tersebut berceritakan tentang orang yang sedang mual-mual.
Singkat cerita, waktu yang berlalu lalang sampailah di penghujung acara. Acara tersebut ditutup oleh pak Budiyono dengan pembacaan epilog dari buku Ba Wero. Pak Budiyono menyampaikan betapa penting menjadi individu yang sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan atau meraih sesuatu.
Singkat saja, semua begitu mengesankan, terlebih satu set gelas yang ku dapatkan pada saat sesi pengenalan kelas. Terima kasih FLP Blitar dan teman-teman sesama peserta untuk ilmu dan pengalaman baru.
Tak ada hal yang mengecewakan kecuali ketidakhadiran sosok Abu Nawas, Alibaba, dan Aladdin Karena ini kampung 1001 (maaf, hanya bercanda).[]
18/09/2020
No comments:
Post a Comment