Jualan Krupuk Agar Bisa Kuliah - FLP Blitar

Jualan Krupuk Agar Bisa Kuliah

Bagikan

Oleh Fahrizal A.

Kisah-kisah heroik kadang banyak terjadi di sekitar kita. Tak selalu dalam perjuangan besar, namun bisa juga seseorang yang memperjuangkan kehidupannya sendiri.

Sebut saja Asep, ia berkeliling dari warung ke warung untuk menitipkan produk kerupuknya. Warung yang dititipi hanya membayar sejumlah kerupuk yang terjual.

Misalnya, Asep menitipkan 12 buah kerupuk dan terjual 5. Maka pihak warung cukup membayar 3. Karena 2 lainnya untuk keuntungan pihak warung.

Satu kerupuk harganya Rp1.000, jika laku semua pihak warung mendapatkan Rp12.000, namun disetor ke Asep Rp10.000. Begitulah sistemnya.

Setiap pagi sampe menjelang siang Asep keliling warung, mengontrol warung yang ia titipi kerupuk itu, sekaligus menitipkan kerupuk baru.

Kebetulan kala itu saya lagi mampir di salah satu warung yang dititipi Asep. Kami sempat ngobrol. Asep bukan nama asli, dan saya juga lupa tanya siapa namanya.

Hal ini sering terjadi, bertemu orang baru, ngobrol banyak hal ngalor ngidul, terlihat sangat akrab, sampai lupa tanya nama.

Sehingga ketika bertemu lagi di suatu tempat, hanya menyapa "hey, apa kabar?" Tanpa sekalipun menyebut nama, sebab memang belum pernah bertanya nama satu sama lain.

-00-

Kala itu jam makan siang. Ia mengecek kerupuknya, duduk sejenak dan memesan segelas teh, sembari membuka buku. Itulah yang membuat saya tertarik untuk bertanya lebih jauh, buat apa penjual kerupuk membawa buku pengantar ilmu ekonomi?

Ternyata Asep sedang mengecek tugas UAS. Wajahnya memang terlihat masih muda, mungkin belum genap 20 tahun. Malah saya pikir masih SMA.

Dia kuliah, di Universitas Terbuka. Suatu perjuangan karena ia ingin kuliah namun harus tetap membantu ekonomi keluarga, karena itulah ia memilih kuliah di situ.

Kisah seperti Asep sebenarnya banyak saya temui, namun selalu ada kekaguman tersendiri. Apalagi usianya yang masih sangat muda. Ketertarikannya untuk terus belajar dan sekolah membuat saya respek.

Teringat salah satu teman asrama/ma'had saat kuliah. Tiap kali masuk asrama ia menenteng tas besar, ia bekerja paruh waktu, di sela kuliah dan mondok. Padahal jadi mahasiswa sekaligus mahasantri itu sibuknya bukan main, namun ia masih sempat bekerja.

Selepas keluar asrama, saya juga punya teman yang kerja paruh waktu di sebuah kafe. Ia mulai bekerja jam 5 sore sampai 10 malam, kadang lebih. Pagi sampai siang untuk kuliah.

Ya, disaat banyak mahasiswa tinggal menanti kiriman orang tua dan bisa fokus kuliah, berorganisasi, menyalurkan hobi dan lain sebagainya, ada di antara kami yang harus memikirkan biaya makan sehari-hari, biaya sewa kos, dan SPP. Belum lagi jika ada pengeluaran untuk kegiatan tambahan.

Anehnya, kenapa mereka masih mau tetap kuliah? Bukankah lebih baik fulltime bekerja saja? Toh ada banyak yang tidak kuliah karena alasan terkendala biaya.

Sementara dalam perkuliahan itu, tugasnya sama. Tak ada alasan sambil bekerja atau tidak. Apalagi untuk kelas-kelas reguler.

Pernah saya, selaku ketua kelas, membantu teman menemui dosen karena dapat nilai D. Melobi agar ada perbaikan nilai, alasannya dia kuliah sambil kerja.

Bagi saya, adil tidak harus sama. Bayangkan dalam sebuah balap motor si A menggunakan honda kalong lawan si B yang menggunakan honda vixion. Jelas tidak seimbang.

Tidak bisa disamakan mahasiswa yang tinggal fokus belajar karena biaya dicukupi dari rumah, dengan mereka yang harus kerja paruh waktu, bukan?

Tidak semua anak terlahir dari keluarga berkecukupan, yang segala fasilitasnya terpenuhi. Ibaratnya, berjalan di atas red carpet.

Ada sebagian yang harus memperjuangkan sendiri mimpi-mimpinya, berpeluh, kadang begitu nelangsa. Ia harus tetap bekerja agar bisa tetap kuliah untuk kedepannya mendapatkan pekerjaan yang diimpikan.

Sementara sebagian yang lain kuliah untuk nanti bisa bekerja. Maka kadang-kadang saya sedih melihat anak-anak yang keluarganya masih mampu membiayai sekolah namun malah tidak serius, bahkan merepotkan orang tua dengan berperilaku aneh-aneh.

Misalnya, tidak mau sekolah atau kuliah jika tidak dibelikan hape merk X atau motor merk Y. Melihat fenomena itu, kadang menggelikan.

Andai mereka tahu bahwa ada sebagian teman mereka harus berjuang untuk memiliki itu semua.

Saat mereka tidak serius kuliah padahal biaya dicukupi orang tua, rasanya perlu merasakan menjadi Asep yang harus keliling jualan kerupuk agar bisa merasakan bagaimana menjadi mahasiswa. []

Blitar, 10 Juli 2020

No comments:

Pages