Suatu Sore di Pelataran Dwipayana - FLP Blitar

Suatu Sore di Pelataran Dwipayana

Bagikan

Kota Blitar, 2007

Sejak jam sepuluh pagi tadi Dhea menghubungiku, namun aku masih berada di dalam kelas. Pelajaran baru selesai jam 13.45.

"Iya nggak masalah, aku masih mau keliling dulu di Makam Bung Karno, sambil hunting foto," terakhir dia berkirim sms.

Jam 1 siang dia mengirim sms lagi, sedang berteduh di alun-alun.

Sudah sebulan ini aku mengenal Dhea, dia mahasiswi filsafat Universitas Parahyangan Bandung. Awalnya kami chat di salah satu room Mirc, lalu privat chat, bertukar friendster dan bertukar nomor hp.

"Sebulan lagi aku ke Blitar, mau lihat-lihat makam Bung Karno," Ucapnya saat meneleponku.

"Sama siapa?" Tanyaku.

"Sendiri."

"Ha sendiri? Berani?"

"Berani lah, gw dah biasa."

Jam 4 sore Dhea berangkat dari stasiun Kiaracondong. Sekitar jam 9 pagi keesokan harinya sampai di stasiun Blitar. Dia langsung berkirim sms padaku.

Setelah bel pulang berbunyi, aku langsung menghubungi Dhea, namun nomornya tak aktif. Mungkin dia masih berada di sekitar alun-alun, dan ponselnya kehabisan baterai.

Hari ini pula ada rapat redaksi, persiapan distribusi majalah pada acara perpisahan Sabtu mendatang. Aku harus datang mewakili pimred yang tidak masuk karena sakit.

Rapat berakhir jam 3 sore, karena ada beberapa hal lain yang harus dibahas seperti acara pentas seni. Sementara nomor ponsel Dhea masih tak bisa dihubungi.

Langsung kupacu smash biruku menuju alun-alun, parkir di Masjid Agung dan berjalan mengitari alun-alun. Aku buka lagi friendster lewat browser nokia 6600 ku untuk melihat foto Dhea.

Kulitnya putih, rambut berponi, berkacamata. Ya berkacamata, itu ciri khas yang mempermudahku mengenali Dhea.

Dari sudut ke sudut, tak kutemui ciri-ciri Dhea. Kemana ya? Tak berapa lama kemudian ada sms masuk. Itu Dhea, Alhamdulilah.

"Aku di depan supermarket, samping Bank Mandiri. Maaf baru dapat listrik," balasnya.

"Supermarket mana?"

"Béntar."

Dari Alun-alun aku berjalan ke timur, motor masih terparkir di Masjid Agung. Dhea duduk di salah satu bangku di pelataran gedung Dwipayana, gedung kesenian yang sekarang jadi Supermarket.

Sudah lama aku tak ke tempat ini. Dulu waktu kecil sering kesini menonton ludruk, ketoprak, dan pertunjukan seni lainnya. Di depannya, dekat pintu masuk, ada game dindong. Mainnya harus memasukkan koin 100 perak putih bersimbol gunungan wayang.

"Kak Dhea ya?" Sapaku.

Aku memanggil kak karena dia sudah kuliah, sementara aku baru kelas X. Jarak usia yang lumayan.

Dhea menyapaku balik. Aku duduk di depannya, berbatas meja panjang. Kamera Canon 1200 tergantung di lehernya, bersama jus jambu dan buku catatan di atas meja.

"Sebentar ya," Ucap Dhea yang masih sibuk dengan nokia 5300-nya.

"Oke udah kelar, lu baru kelar sekolah ya?" Tanya Dhe. "Eh mau pesan apa?" Lanjutnya.

Kebetulan di pelataran itu ada acara, mungkin semacam bazar, meski sore itu masih terlihat sepi pengunjung.

Selain jalan-jalan, kedatangan Dhea ke Blitar ternyata untuk liputan khusus. Ia aktif di majalah kampus dan sedang mengangkat sosok Bung Karno.

"Jadi gini, Bung Karno itu lahir di Surabaya, namun proses perkembangan pemikirannya justru ketika di Bandung, dan dimakamkan di Blitar," Dhea mulai membuka diskusi.

Aku hanya menyimak dengan seksama.

"Jadi Bandung itu juga punya kaitan erat dengan Bung Karno, bahkan porsinya lebih besar," lanjutnya.

Tak ada basa-basi. Dhea nampak serius berbicara, lincah, dan berwawasan. Tanpa diminta, dia menceritakan sejarah Bung Karno sejak di Bandung, saat kuliah di ITB, hingga masa dipenjara di Banceuy dan Sukamiskin.

Kulirik jam di ponselku, sudah hampir pukul 16.30.

"Nanti kamu menginap dimana?"

Dhea terdiam sejenak, lalu membuka-buka buku agendanya, melihat jadwal kereta api.

"Bisa bantu nyarikan home stay?" Tanyanya.

"Oke."

Kami pun menyudahi obrolan sore itu dan berjalan bersama menuju Masjid Agung untuk mengambil motor smashku. []

Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages