Arman dan Kompleks Rumah Kami - FLP Blitar

Arman dan Kompleks Rumah Kami

Bagikan


Semenjak tak jadi kuliah kedokteran, Arman bekerja apa saja yang ia bisa. Tukang sampah, kuli bangunan, Bahkan buruh cuci dan setrika. Semua ia kerjakan tanpa mengeluh. Nyaris tak ada waktu berlibur kecuali tidur 4 jam di malam hari. Jam 12 malam sampai jam 4 pagi.

Orang-orang pun mulai simpati, dianggabnya Arman sedang sibuk mengumpulkan uang agar bisa kuliah di kedokteran. Nama Arman, jadi pilihan untuk membantu meringankan pekerjaan mereka apapun itu. Dan Arman tak pernah menolak. Hasil kerjanya juga selalu memuaskan.

Sampai hari itu tiba. Hari pertama Arman membeli kamera. Hari Arman menolak ditawari pekerjaan apapun . Ya, dia berubah seratus delapan puluh derajad. Setiap hari kemana-mana membawa kamera. Lalu jepret sana, jepret sini. Masuk kamar selama berjam-jam kemudian. Tak keluar-keluar. Begitu selama berbulan-bulan.

Ketika orang-orang mulai melupakan Arman. Arman kembali menjadi orang rajin di rumahnya sendiri. Dia sangat perhatian pada sampah. Arman membuat dua bak sampah dari semen. Satu untuk sampah kering. Satu untuk sampah plastik.

Rutinan setiap harinya adalah membakar sampah. Atau menjadikan sampah busuknya menjadi pupuk kompos. Ia suka mengorek-ngorek sampah tetangga mengumpulkan bekas botol air mineral atau apa saja untuk dipermak menjadi pot bunga. Setelah diisi tanah kompos racikannya. Ditaruhnya tanaman disana. Entah tanaman hias, atau sayur-mayur. Semua ia tata rapi berjajar, bergantungan di pagar. Di halaman. Didinding rumah, di jendela. Rumahnya sudah seperti kebun saja sekarang. Dia selalu bisa menemukan cara untuk menaruh tanamannya. Meski begitu, orang-orang mulai menyempatkan diri mampir ke rumah Arman. Terkagum-kagum dengan rumah Arman yang terasa lebih sejuk dari rumah mereka.

Tetangganya hanya mengangguk-angguk. Begitulah seterusnya. Sekarang 1 kompleks ini sudah biasa membedakan sampah kering dan sampah basah. Lalu sekali lagi Arman mengejutkan kami dengan tanaman-tanaman di botol mineralnya. Ya dia membantu kami menaruhnya di halaman rumah kami yang sempit. Atau sekedar di teras-teras dan di pagar rumah. Anehnya kami menuruti permintaannya untuk membantu menyirami tanaman-tanaman itu. Bahkan kami mulai berkonsultasi bagaimana kalau menanam ini dan itu atau menaruh tanaman di suatu tempat.

Sekarang di setiap pagi dan sore hari, kau akan mendengar nyanyian-nyanyian riang dari setiap rumah di kompleks ini. Mereka asyik berebut menyiram tanaman bersama. Pun membicarakan stroberi atau tomat yang mulai berbuah ranum. Atau kau akan menghirup semerbak aroma bunga-bunga hias jika melewati trotoar di deretan kompleks rumah kami.

Sampai pada pagi itu, Arman tidak berkeliling untuk membakar sampah kering kami. Ah, mungkin Arman terlambat, awalnya aku berpikir begitu. Tetapi sampai matahari terbenam, tak kami dengar suara Arman. O ya, biasanya Arman selalu menyapa dulu baru membakar sampah-sampah.
Begitu juga esok pagi harinya, kami celingak-celinguk menanti Arman datang. Tetapi Arman tetap tidak datang, bahkan sampai hari ketiga.

Beberapa dari kami mulai membakar sampah kami sendiri. Melakukan seperti apa yang dilakukan Arman setiap pagi.  Membakar sampah, mengolah sampah basah menjadi pupuk kompos. Kami saling bertanya kalau saja ada hal-hal yang dilakukan Arman dan terlewatkan. Entah bagaimana ceritanya, keakraban antara kami terbentuk begitu saja.

Aku pun memutuskan untuk mendatangi rumah Arman yang terletak paling ujung. Arman benar-benar tak ada di rumah. Kata ibunya dia sedang keluar kota. Entah urusan apa. Kulirik tanaman di rumah Arman di sana-sini. Pohon buah-buahan serba mini yang sedang berbuah. Sayur-sayuran yang siap dipetik. Sejuk sekali. Sekarang rumahku pun seperti rumah Arman. Benar-benar sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Kami bahkan bisa memenuhi kebutuhan dapur dari kebun sendiri. Kebun dari botol bekas idenya Arman.

Lalu hari itu, tepatnya satu bulan kemudian Arman datang. Membawa tiang-tiang banyak sepanjang 5 m. Orang-orang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Buat apa tiang-tiang ini, Man?" tanya Pak RT.

" Saya mau buat kebun anggur, Pak. Nanti hasilnya buat kita semua"

"Lho, memangnya dimana kebunnya?" Pak RT masih belum paham.

"Ya, dijalan ini Pak. Keuntungan yang kedua. Nanti jalannya jadi teduh. Tidak panas lagi"

"Kayaknya nggak bisa, Man" kata Pak RT lagi

"Lho, kenapa Pak"

"Nggak bisa kamu kerjain sendiri ini. Harus sama-sama semuanya" lanjut Pak RT tersenyum bangga.
Arman pun mengangguk. Orang-orang mulai bekerja sesuai instruksi Arman. Tiang-tiang itu dipasang di depan rumah warga.

Antar tiang dihubungkan dengan kawat dan tali temali dan jaring. Arman pun meminta benih anggur ditanam dan dijalarkan pada tiang-tiang itu. Bebrapa bulan kemudian pasti daun-daun anggur sudah merambat memenuhi jaring-jaring. Dan teduhlah jalanan kompleks ini, pikir Arman.

Lain hari, Arman menghilang lagi. Saat pulang ia membawa begitu banyak benih ikan. Kami pun dipaksa Arman membuat kolam ikan di selokan-selokan. Arman tidak bercanda, dipasanginya dasar dan dinding selokan dengan keramik warna biru tua dan entah alat apa yang bisa membuat airnya selalu jernih. Sekarang kami bisa bersantai, bercengkerama sembari melihat-lihat ikan yang berenang-renang di selokan rumah kami.

Usai menggarap selokan, Arman sering termenung-menung di atas jembatan sungai kecil di dekat rumahnya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Jujur aku berharap Arman menemukan ide lagi agar membuat sungai ini jernih kembali.

Arman diam saja. Matanya lurus menatap sungai. "Sungai ini tidak bisa kembali seperti saat kita kecil. Tapi bisa berguna" katanya.

Arman seperti biasa menghilang, lalu muncul lagi dengan ide baru. Diajaknya kami membersihkan sungai. Lalu membuat petak-petak dari kawat, jaring dan  besi di sungai. Kotak yang pertama Arman yang merancang. Entah bagaimana rancangannya itu bisa memisahkan lumpur dan air. Lumpur-lumpur bau yang konon berasal dari limbah tahi sapi dan pabrik ia olah jadi pupuk kompos. Sementara jaring-jaring dapat menyaring sampah, setiap hari kami bergantian memunguti sampah-sampah itu dan membakarnya. Sementara di petak-petak sungai yang lain mulai kami beri ikan-ikan peliharaan. Walau petak-petak itu hanya dibuat sepanjang wilayah kompleks. Semoga bisa berlanjut ke wilayah sungai berikutnya.

Ketika dimana-mana orang-orang mengeluhkan harga gas elpiji yang semakin naik dan langka, lagi-lagi aku melihat Arman merenung. Hari berikutnya Arman menghilang. Kami yang mulai terbiasa dengan ketidakmunculan Arman menebak-nebak, kira-kira kali ini apalagi yang akan dibawa pulang Arman.

Tetapi, waktu begitu cepat berlalu, entah sudah berapa kali panen, dan berapa bulan terlewati- Arman kami tetap tidak pulang. Kami mulai resah, tepatnya merindukan Arman. Apa yang dilakukan Arman telah menghidupkan kompleks rumah kami. Tak hanya lingkungan kami yang semakin asri. Tetapi keakraban di antara kami juga menjadi lebih baik.

Para pemuda pun mulai berinovasi. Jalan selebar empat meter di kompleks kini di cat warna-warni. Ketika foto-foto tentang kompleks kami beredar di facebook, semakin banyak yang berkunjungi ke kompleks perumahan ini. Kami bahkan membuat gapura paduan dari bambu dan semen yang kami tempeli banner "Kompleks Wisata Arman. " Nama itu dipilih untuk menghargai hasil kerja Arman pada Kompleks perumahan kami. Bahkan beberapa di antara kami berjanji akan memilih Arman sebagai Ketua RW agar progam-progamnya bisa semakin meluas.

Hari itu Arman pulang, tepat 3 tahun setelah ia menghilang. Orang yang pertama kali ditemui adalah Pak RT. Ya, Arman meminta PaK RT mengadakan musyawarah warga. Tentu saja, Pak RT manggut-manggut setuju.

Awalnya, rapat berjalan dengan lancar. Diisi laporan-laporan kegiatan di kompleks RT kami. Sampai tiba giliran Arman menyampaikan ide barunya. " Bapak-bapak. Ibu-Ibu. Mohon maaf selama 3 tahun ini saya tinggal di Perusahaan Raya Makmur, Perusahaan ini ada di pulau kecil di ujung barat Indonesia. Apa yang di kelola di sana? Hanya sampah. Bahkan mereka berhasil mengelola sampah menjadi gas yang bisa dibuat memasak seperti gas elpiji. Dan itulah tujuan saya mengadakan rapat ini. Saya ingin kita bisa membuat gas sendiri dari sampah"
Ruang rapat yang tadi hening langsung riuh. Gaduh. Ada yang geleng-geleng kepala tidak percaya, ada yang manggut-manggut. “Tapi bagaimana caranya?” pertanyaanku membuat semua kembali senyap.

“Kita hanya butuh mesin biodigester. Itu mesin untuk mengolah sampah menjadi gas yang bisa kita pakai memasak “ Kata Arman. “Untuk itulah kalian kukumpulkan. Saya ingin kita iuran untuk membeli mesin biodigester. Ada teman yang bisa membuatkan. Tetapi harganya 1.000.000 per-mesin biodigester. Kalau terasa berat, satu mesin bisa dipakai beberapa rumah“ lanjutnya lagi.

“Setuju” suaraku muncul lebih dulu. Dilanjutkan sahut menyahut satu ruangan. Ya, kami benar-benar percaya dengan semua ide Arman.

Aku diamanahi mencatat uang iuran warga. Jumlah warga disini ada 100 orang. Ternyata masing-masing keluarga ingin mempunyai mesin biodigester sendiri. Setelah genap 100 juta, aku menyerahkan uang itu pada Arman.

Seperti biasa, Arman menghilang. Satu bulan berlalu. Dua bulan. Tiga Bulan. Genap satu tahun, Arman belum juga kembali. Kami tak tahu memangnya seberapa lama proses pembuatan mesin biodigester yang konon kata Arman bisa menghasilkan gas untuk keperluan memasak kami. Apakah memang begitu lamanya? Entahlah, sejauh ini kami percaya pada Arman.

Sampai pada suatu subuh, ibu Arman tidak muncul di mushala kompleks. Ini benar-benar hal tak biasa. Bahkan saat sakit sekalipun, beliau berusaha tetap berjamaah shalat disana. Atau mungkin terjadi sesuatu padanya. Aku teringat tubuh renta yang selalu tersenyum dengan mata berbinar itu hanya tinggal sendirian di rumahnya. Dan mengingat dia adalah ibu Arman yang saat ini sedang berjuang mencari mesin biodigister untuk kami, aku rasa pantaslah kalau kami se-kompleks membalas jasanya dengan merawat ibunya.

Aku buru-buru menuju rumah Arman. Barangkali ibu Arman sedang butuh bantuan. Dari jauh aku lihat sudah banyak orang bergerombol di depan rumah Arman. Samar-samar aku mendengar mereka menggerutu tak jelas. Aku mempercepat langkah kakiku.

“Dasar kurang ajar! Berani-beraninya dia kabur”  kata Pak RT di depan rumah Arman.

“Kabur bagaimana, Pak?” tanyaku belum paham.

“Tengah malam tadi Arman datang. Memboyong ibunya di saat kita terlelap” jelas Pak RT

“Apa? Arman kabur?” Aku ingin membela Arman, tapi rumah miliknya benar-benar sudah kosong. Dia memang sudah melakukan banyak hal untuk kami. Akankah semudah itu dia membawa seratus juta dan kepercayaan ini pergi? Tidak! Itu tidak ada separuhnya dari perjuangan Arman selama ini.
Ah, Arman. Kepalaku pening. Tanganku mengepal gemas. Aku masih tidak ikhlas untuk kesal dan marah padanya. Pasti ada yang salah dengan ini semua. Ya, Arman yang kukenal, Arman kami yang gigih.  Tak mungkin ia kabur begitu saja. Apalagi untuk uang seratus juta.

Beberapa orang berkasak-kusuk sebaiknya Arman dilaporkan polisi karena telah menipu kami. Ah, padahal dulu Arman membantu warga kompleks ini dengan gratis. Bahkan untuk semua peralatan mengelola sampah dan beternak ikan. Begitu cepat mereka melupakan semua itu?

Rapat dadakan pun diadakan pagi itu juga. Keputusannya, Arman akan dilaporkan polisi. Dan tugas itu diberikan kepadaku. Aku menghela nafas dalam-dalam. Akan beginikah akhir Arman kami?
Satu minggu telah berlalu, aku masih belum melaporkan Arman. Sebaliknya aku jumpalitan menghindari tetangga. Aku sengaja berangkat kerja lebih awal dan berlama-lama di sana. Konon, rumah Arman pun sudah berganti penghuni. Dan aku tetap enggan melaporkan Arman pada polisi.

Malam itu aku pulang tengah malam, aku lihat orang-orang sedang riuh di depan rumahku. Gugup menjalari seluruh tubuhku. Bagaimana jika nanti mereka akan bertanya tentang kasus Arman? Tapi kakiku tetap tak berhenti melangkah.

Aku kira aku akan melihat muka-muka garang dan kesal dengan kelakuanku. Ternyata tidak. Wajah-wajah itu cerah-ceria. “Ada apa?” hanya itu yang keluar dari mulut ini.

“Arman tidak berbohong. Mesin biodigester itu tadi pagi diantar. Tepat 100 biji” jelas Pak RT. “Dan kita benar-benar bisa membuat gas sendiri dari sampah untuk memasak sehari-hari.“

“Alhamdulilah “ ucapku lega. “Saya belum melaporkan Arman” kataku

“Nah Nak, kami menunggumu karena ingin menanyakan itu. Kami merasa bersalah sudah mencurigai Arman” lanjut Pak RT lagi.

Aku tersenyum. Lebih tepatnya untuk diriku sendiri yang tetap merawat percaya pada Arman. Tidak ada yang tahu dimana Arman. Begitu pula dengan seluruh tabunganku yang kubelanjakan untuk membeli 100 mesin biodigester untuk kami. Untuk itulah, senyum di bibirku makin mengembang.

*********






2 comments:

Anonymous said...

Sy selalu mengagumi siapa saja yang meluangkan waktu untuk menulis. Apapun bentuknya. Mau cerpen, essay, puisi bahkan hanya sebuah catatan harian kecil.

Jadi, yg pertama akan sy sampaikan tentang cerpen ini adalah salut untuk penulisnya.
Belum berani untuk mengkritik, krn sy sendiri blm bisa menulis cerpen dgn baik.

Anyway, sy suka cerpen ini. Ada pesan moralnya yg kuat. Td sy kasih cerpen ini utk dibaca juga. Krn pesan moralnya bagus. Dan juga krn lunayan ada tambahan bacaan utk anak2 sy yg kelas 3 SMP n 1 SMA selama masa belajar di rumah.

Jempol utk ImroAtus. Trmksh sdh menulis.
Salam,
Juni

admin said...

Sekiranya kisah Arman ini nyata... tentu akan sangat dibutuhkan Arman lain di kompleks2 lainnya

Pages