Tas Rajut Hijau Part 3 - FLP Blitar

Tas Rajut Hijau Part 3

Bagikan



Baca cerita sebelumnya di
part 1 :  http://www.flpblitar.com/2019/12/tas-rajutan-warna-hijau-part-1.html
part 2 : http://www.flpblitar.com/2020/01/tas-rajut-hijau-part-2.html

Tuan Takuan mengajakku turun dari mobil. Kebun itu ternyata penuh beraneka macam anggrek yang kini sedang berbunga dimana-mana. Oh, kalau begitu lebih tepat kalau ini disebut taman bunga anggrek saja. Dan lelaki gendut tadi sedang menanam anggrek tanah karena dia sedang memasukkan anggrek itu ke tanah. Begitu melihat kami turun dia langsung berdiri. Sembari menoleh ke belakang, " Tuan Tiyon, ada Tuan Takuan disini" katanya pada seseorang di belakangnya.

Aku baru sadar kalau laki-laki gemuk tadi tidak sendirian disini. Anak muda itu pasti terlalu kurus dan kecil sehingga tadi aku tak melihatnya karena tertutup lelaki gendut.

"Hai, Nak. Ini aku membawa Anandita." sapa Tuan Takuan.

Tion pun berdiri, dikibas-kibaskannya tangannya yang penuh tanah liat. Dia melirikku sekilas. Lalu menatap Tuan Takuan, "Ya, nikahkan kami secepatnya. Besok juga boleh" katanya tanpa menatap kami lagi. Dan kemudian dia sudah asyik dengan bunga anggreknya kembali.

Deg! Oh, jadi aku akan menikah dengan Tion. Bukan lelaki gendut itu. Ada sedikit kelegaan di hati ini. Mesti rasanya tetap tak karuan. Wah, aku akan menikah, dengan orang yang belum aku kenal.

"Pak Sobri antar Anandita pulang" perintah Tuan Takuan.

Sebelum aku masuk ke dalam mobil, lelaki gemuk itu memberiku pot kecil berisi anggrek tanah yang sudah berbunga. "Tuan Tion yang menyuruhku" jelasnya.

Aku menatap Tion yang tetap asyik dengan bunga anggrek. Entahlah, bagaimanapun dia calon suamiku.

######

Di meja makan sudah berjajar sarapan pagiku. Aroma lezat berhambur ke seluruh ruangan.

"Saya mandi dulu! " kataku pada Ka er

Ka Er memandangku sambil tersenyum ramah, "Iya, Nona"

Tampaknya Ka Er sudah menata barang-barangku ke dalam lemari. Kulihat koperku sudah ada di kolong tempat tidur.

Lalu aku baru teringat ponselku. Sejak semalam aku tak menyentuhnya. Ayah dan ibu pasti sedang mencariku kemana-mana. Aku hanya ingin memberitahu mereka kalau aku baik-baik saja. Tetapi kucari dimana-mana, aku tak menemukan ponselku. Bahkan ketika kubuka kemali koperku. Sudah tak ada apa-apa disana. " Ka Er!" panggilku panik.

"Ya, Nona" tergopoh-gopoh Ka Er muncul di pintu.

"Apa kamu lihat ponselku?"

"Tadi ponselnya dibawa Tuan Takuan. Saya diminta memberikan padanya" jelas Ka Er ketakutan. Barangkali dia takut dikira mencuri. Tanpa sengaja mungkin tatapanku padanya  penuh selidik. Aku buru-buru tersenyum padanya. Ya, Ka Er memang hanya menjalankan tugas saja. Lagipula dia pasti sengaja ditempatkan di rumahnya ini untuk mengawasinya.

Huh, apaan ini? Tapi aku tetap tak bisa menerima. Menurutku ponsel itu hal yang sangat pribadi. Seharusnya dia tidak turut campur. Ah, tapi bukankah aku memang sudah dibeli Tuan Takuan. Ibarat barang, terserah dia akan diapakan diriku.

Huft, tiba-tiba mataku penuh air yang ingin tumpah. Bagaimana nasibku sekarang?

"Jangan sedih, Nona. Tuan sudah membelikan ponsel baru untukmu. " Ka Er mengambil sebuah kotak di atas meja rias yang tadi luput dari pandanganku. Ya, sebuah box ponsel baru.

Tapi buat apakah itu semua. Tak ada teman. Tak ada
yang bisa aku hubungi. Buat apa ponsel itu.

Aku duduk di kasur dengan linglung. Gelombang air dimataku yang dari tadi kutahan berebutan keluar begitu saja. Akhirnya aku benar-benar menangis. Walaupun hanya sesenggukan tanpa suara. "Ka Er" panggilku sambil terisak.

"Ya," jawabnya halus.

"Maukah kau memelukku?"

Ka Er memelukku. "Maukah kau jadi temanku?" Kataku sesenggukan.

"Iya, Nona. Ka Er bekerja disini untuk menjadi teman Nona"
Dibawah ternyata, Tion sudah duduk di kursi makan. Dia makan dengan lahap. Memangnya siapa sih dia, seperti itu. Ups, dia calon suamimu Dita. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. "Ka Er" panggilku.

"Ya, Nona"

"Temani aku makan ya!" Kugeret Ka Er ke kursi makan. Ka Er tertunduk ketakutan ketika melihat Tion duduk disana.

"Ayo duduk!" pintaku sembari memberi dia kursi. Sementara aku duduk di dekat Ka Er. Meja makan itu berbentuk persegi empat dengan empat kursi.

Tion asyik menikmati isi piringnya, seakan tak menyadari kehadiran kami. Aku dan Ka Er pun juga tak menyapanya. Aku mengambilkan Ka Er sepiring nasi. Ayam goreng dan dua sendok capjay. Ka Er menerimanya dengan ragu, "Ayolah, teman!" bujukku sambil tersenyum semanis mungkin.

Ka Er menerimanya, lalu tampak berhati-hati memakannya. Sementara aku menyendok banyak nasi ke piringku ketika tiba-tiba tangan Tion merebut piringku. Mengembalikan sebagian nasi ke piring. Menyisakan dua sendok saja. Lalu menambahkan satu sendok capjay. Separuh dari potongan ayam. Ia menyodorkan padaku.

Aku menerimanya. Lalu tanpa banyak bicara menciduk nasi lagi
Kubiarkan Tion yang sekarang matanya melotot padaku. Aku sudah hendak mendapat suapan pertamaku ketika dia merebut piring dan mengganti dengan salat buah.

"Apaan, sih? "sungutku. Dan kami pun berebut piring.

"Besok kita menikah. Pengantinku tak boleh gendut tahu!" jelasnya.

"Ha!" aku ngeyel merebut piringku. "Dasar aneh. Segini tidak akan membuatku gendut"

Sementara  Ka Er langsung terbatuk-batuk. Tampaknya dia menahan tawa.

Akhirnya Tion menyerah dan melanjutkan makannya.
Berikutnya hanya terdengar denting piring dan sendok. Aku yang memang sudah lapar sekali menghabiskan isi piring sampai tandas. Begitu juga dengan salad buah.

"Alhamdulilah" doaku lega. Bayangan buruk yang aku pikirkan semalam tak seburuk kenyataan.

"O, ya Dit. Sebenarnya tadi aku kesini cuma mau ngasih ini. Disuruh papa!" Tion memberikan sebuah tas rajut hijau padaku.

"Papa?" aku belum paham siapa yang dia maksud papa.

"Oh, maksudnya Tuan Takuan, Nona" jelas Ka Er

Aku menerima tas itu dengan ekspresi biasa. Di rumah yang lama, rumah ayah dan bunda aku sudah punya banyak tas. Bahkan ada beberapa yang termasuk tas branded unlimited juga. Jadi ini tidak membuatku keheranan. Lagipula cuma tas rajut biasa.

"Di dalamnya ada buku tabungan dan kartu atm. Nanti kamu yang menggaji Ka Er dan Pak Sobri. Juga membeli semua keperluan hidupmu disini."
Ayah akan mengisinya setiap bulan."

Aku melongo. " Boleh aku bertanya, kenapa kau mau menikahiku?"

"Memangnya kau punya hak untuk bertanya? Jangan lupa siapa kamu, Nona Anandita" jawabnya dengan nada penuh penegasan.

 "Lagipula aku sudah punya pacar. Aku hanya tinggal menikahimu. Dan semuanya selesai" dia melanjutkan dengan tersenyum sinis. Lalu meninggalkan kami tanpa menoleh lagi.

"Nona" Ka Er menatapku iba.

Aku mengepalkan tangan. Dadaku terasa sesak. Tapi aku tak bisa mengatakan sepatah katapun kecuali mulut yang bergemeratak.

Aku. Anandita Kuncoro yang sejak kecil selalu meraih peringkat satu di setiap kejuaraan. Apa maksudnya berkata seperti itu? Seakan aku bukan siapa-siapa. Mungkin aku memang telah menjual diriku? Tapi melihat perlakuan Tuan Takuan, aku yakin tidak seharusnya Tion bersikap seperti itu. Ingin sekali aku memaki Tion. Tapi sebagai gantinya aku hanya menghela nafas dalam-dalam. Sembari berjanji, aku pasti akan membalasmu Tion, akan kubuat kau tak menyesali pernikahan ini.

Apa tadi katanya? Aku teringat perkataan Tion tadi "Lagipula aku sudah punya pacar. Aku hanya tinggal menikahimu. Dan semuanya selesai"

Kuhempaskan tas rajut hijau itu ke kasur. Masih tak percaya kalau besok, akan menikah dengan orang yang sama sekali tak aku cintai.

(Bersambung )

No comments:

Pages