Tas Rajut Hijau Part 2 - FLP Blitar

Tas Rajut Hijau Part 2

Bagikan



Baca cerita sebelumnya di http://www.flpblitar.com/2019/12/tas-rajutan-warna-hijau-part-1.html

"Ada apa ini? " Mas Anang memarkir sepeda motornya di depan gerbang rumah dengan mimik bingung. Kami semua sedang sibuk memasukkan barang-barang kami ke dalam mobil. Memang tinggal dia yang belum tahu kalau perusahaan ayah sudah bangkrut.

"Kak! " Aku memeluk kakak dengan erat. 
Dia menepuk-nepuk pundakku "Ada apa ini? 

" Ayah sudah bangkrut dan rumah kita disita, Kak" jelasku pilu "Nanti aku bantu mengemasi barang-barang mu, ya"

Tepat pada saat itu, ayah tampak tergopoh-gopoh menghampiri kami. "Turunkan semua barang! Turunkan semuanya! " Katanya sumringah. 

"Lho, kenapa Yah? " ibu bertanya bingung. 

"Kita nggak jadi bangkrut sayang. Kita dapat investor yang bisa menutup semua utang perusahaan" jelas ayah. Matanya berbinar bahagia.

Aku sekali lagi memeluk kakak. Terbayang mata berbinar ratusan karyawan ayah yang nggak jadi di PHK. Kutatap Pak Kunta, Pak Rohmad dan Bi Inem. Mata mereka tampak berkaca-kaca. 

Aku pun tak bisa menahan senyum. Seakan ada beban yang terangkat dariku.

######$

Tengah malam, aku berjingkat-jingkat mengelilingi seisi rumah. Semua tampak lelap. Mereka pasti lelah, seharian merapikan barang-barang di rumah. 

Aku menelpon nomor cantik dari hp ayah. "Siap untuk dijemput" pintaku.

Barang-barangku masih terkemas rapi di koper. Pelan-pelan aku mendorong koper sampai ke gapura depan. Kulirik satpam kami yang juga sedang tertidur lelap. Aku berjalan sebentar kekanan jalan. Tampak sebuah mobil berwarna hitam metalik sedang parkir dipinggir jalan. Sopirnya, seorang lelaki paruh baya berkaca mata memakai setelan batik rapi dan celana hitam, langsung menghampiriku.

 "Saya Sobriawan, sopir nona" katanya memperkenalkan diri sembari membawakan koper ku.

Aku hanya mengangguk lalu memasuki mobil dengan dada berdebar. "Ayah, ibu, kakak. Maafkan Anandita" Dan aku benar-benar terisak-isak di dalam mobil. 

Pak Sobri menatapku dari kaca mobilnya. "Anda boleh menangis saat ini" katanya. "Tidak apa-apa menangis beberapa kali. Asal jangan selamanya"

Dan tangisku malah semakin kencang. Aku masih tidak yakin keputusanku ini benar. Ya, mengorbankan diri sendiri agar perusahaan ayah bisa tetap menggaji pegawainya. Benarkah ini?

######

"Sudah sampai nona" 

Samar-samar kudengar suara Pak Sobri dan membuatku mengerjab-ngerjabkan mata. Mataku terasa tebal. Mungkin aku tertidur setelah lelah menangis. Kami sudah sampai di sebuah gapura yang dikelilingi pagar tembok setinggi tiga meter. Yang disetiap ujungnya diberi kawat besi. Mengingatkanku pada penjara di dalam film-film. Aku bahkan tidak tahu sedang ada dimana. Dan tak berani bertanya

Hari itu, setelah ayah membentak dan merebut HPnya, aku menelpon nomor cantik itu di dalam kamar. "Halo! " sapaku pada pemilik nomor. " Ini Anandita. Ini siapa? "

"Oh, kamu Anandita. Ini Tuan Takian. Begitu mereka memanggilku" jawab suara diseberang. 

"Tuan Takian, memangnya apa yang bisa aku lakukan agar ayah tak jadi bangkrut? "aku bertanya dengan tenggorokan tercekat.

" Kemasi barangmu dan ikut denganku. Nanti aku akan membantu ayahmu" lanjutnya. 

"Pergi kemana? " aku merasa tubuhku menggigil di seluruh tubuh. Aku belum pernah jauh dari ayah dan ibu kecuali ketika kemah pramuka.
"Hubungi lagi kalau siap dijemput. " katanya lagi. 

Aku termangu.
Pak Sobri membuka pintu mobil. Seorang perempuan muda menyambut kami dengan wajah sumringah. 

"Nama saya Ka Er, nona. Ayo kita masuk. Tuan Takian sudah menunggu di dalam." sapanya memperkenalkan diri.

Aku menurut. Rumah itu tidak besar. Hanya seukuran 5 kali 6 m. Tapi berlantai dua. Begitu membuka pintu aroma sejuk lavender semerbak memenuhi hidungku. Entah kenapa hatiku yang tadi tak karuan berangsur tenang.

Ruangan itu tampak lengang. Sebuah piano teronggok disudut. Tampak sebuah dapur mini. Lalu Sebuah ruangan kecil yang sepertinya adalah kamar mandi. Aku mendengar suara gemericik air di dalam

Sebuah sofa panjang polos berwarna jingga. Dengan tiga bantal berbentuk daun kecil di atasnya. Meja kecil dari batu pualam. 

"Kamarnya ada di lantai dua, nona." Ka Er mengajakku mengikutinya. Lantai dua hanya berisi sebuah kamar.
Sebuah kamar mandi mini. Almari kecil berwarna hijau muda dengan sedikit semburat pink di bebrapa tempat.

Sebuah tempat tidur besar. Sebuah meja rias lengkap dengan perlengkapan riasnya. Ada teras kecil di samping pintu. Disana tertata apik aneka anggrek dan beberapa bunga dedaunan, entah apa namanya. Dan dua sap tiang jemuran.

" Bolehkah saya bantu menata semua di almari?" tawar Ka Er

Aku mengangguk. Kulirik jam dinding di kamar itu. Pukul 7 pagi. Jika tadi aku berangkat pukul 12 malam, berarti perjalanan tadi memakan waktu 7 jam. Pantas rasanya lelah sekali.  Jangan bertanya aku ada dimana sekarang. Aku benar-benar belum paham.

"O, iya. Tuan Takuan mungkin ada di bawah" jelas Ka Er

"Baiklah, aku kesana" jawabku, berbalik ke arah pintu sembari menggerakkan kakiku yang terasa berat.

Ketika sampai di tangga terbawah, pintu kamar mandi sudah terbuka. Kulihat di sofa duduk lelaki paruh baya memakai kemeja batik, yang asyik melihat acara di TV.

Begitu melihatku, dia langsung terhenyak.

"Anandita. Kamu benar-benar mirip" sapanya

"Mirip? " Aku mengernyit.

"O iya, duduklah. " Tuan Takuan membuka dompetnya dan menunjukkan selembar foto.

"Bagaimana?" tanyanya, "Mirip kan?"

Aku mengangguk. Sungkan bertanya itu siapa. Bukannya di dunia ini banyak orang yang mirip?

"Nah, kamu pasti sudah tahu kan, kalau perusahaan ayahmu akhirnya selamat"

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Dengan leher tercekat kuberanikan diri untuk bertanya "Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk membalas itu?" 

"Ha-ha-ha" Tuan Takuan malah tertawa. "Kamu bilang akan menuruti semua perintahku?"

"Iya. Jujur saya takut dengan apa itu!" jawabku jujur.

"Baiklah ikut aku!" pinta Tuan Takuan, yang memintaku masuk ke dalam mobil. Pak Sobri sudah duduk di belakang kemudi sambil memutar musik instrumen entah apa namanya.

Kami tidak meninggalkan gerbang tetapi semakin ke dalam memasuki kawasan ini. Rumah tempatku tinggalku tadi tak begitu jauh dari gerbang. Tak kusangka masih berderet-deret rumah minimalis setelahnya. Sampai pada sebuah kebun. Kulihat seorang laki-laki gemuk sedang berjongkok mengambil mencangkuli tanah. 

"Kau lihat dia!" kata Tuan Takuan

"Siapa?"tanyaku belum paham. 

"Laki-laki yang sedang mencangkul rumput itu" Tuan Takuan berusaha memberi tahuku dengan jari telunjuknya. "Aku ingin kau menikah dengannya" 

Aku menatap laki-laki gemuk itu. Kira-kira usianya sudah hampir separuh baya. Saat dia menatap mobil kami, dia tersenyum lebar dan tampaklah giginya yang ompong dua. "Iya, "jawabku gemetar
 pasrah. Entah kehidupan seperti apa yang nanti akan aku jalani. Benarkah aku harus menikahi orang itu?

No comments:

Pages