Kali Prei Mili - FLP Blitar

Oleh : Ryan Adin Pratama





Mungkin matahari sedang asyik-asyiknya menari-nari di atas langit, hingga ia lupa mengajak awan agar bersamanya menciptakan suasana mendung, mendatangkan hujan yang sudah dinanti kaum bawah.

Akhir-akhir ini atau bisa dibilang lama-lama ini kita merasakan hawa panas kemarau yang di mana diam saja kita sudah mampu membakar kalori dan menghasilkan  keringat. 34°C (itu kalau kita cek di handphone kita). Akuratnya berapa sayapun tidak tahu, yang saya tahu panas sudah.

Mau mengeluh takut dosa, mau diam berkeringat, apalagi mau mandi air pun susah, di lingkungan rumah saya daerah Gedog, banyak tetangga yang mengebor sumurnya agar lebih dalam ada pula yang menambah pipa sumur agar bisa menjangkau air lebih dalam.

Sedangkan di rumah saya,  air sumur sudah surut. Baru tadi siang saya ikut membantu menambah pipa dengan niatan bisa lebih dalam menjangkau kedalaman air. Alhasil yang didapat ternyata air di sumur saya tersisa tidak lebih dari 30 cm dari tanah. 

Mau tak mau kami sekeluarga hanya bisa menunggu Tuhan memberi hujan sembari menghemat air yang keluar perlahan-lahan untuk keperluan sehari hari.
Perihal kemarau menjadikan kita semua berfikir keras, apa yang sebenarnya terjadi dengan alam ini.

Padahal sebentar lagi Desember yang kata orang dulu bilang adalah "Gede gedene Sumber". Atau pengertian lain, Desember adalah bulan di mana curah hujan sedang besar-besarnya. Tapi jangankan hujan, tanda tanda mendung saja tidak ada di daerah saya.  Sudah hampir sebulan lebih saya tidak pernah tidur di dalam kamar. Menggelar tikar di ruang tamu adalah cara saya untuk bisa tidur saat ini.

*

Ternyata hal-hal seperti ini tak hanya saya yang merasakan. Terbukti ada tempat ngopi yang biasa saya kunjungi bersama kawan, Kampung Tualang namanya, membuat acara Malam Kopi Sajak bertemakan "Kali Prei Mili" atau dalam bahasa Indonesia adalah sungai berhenti mengalir.

Mulai dari bermusik, theater, dan juga membaca puisi tertata menjadi susunan acara. Mengharapkan apa yang kami gelar mampu merayu hujan agar turun.

Pukul 20.00 saya dan kawan datang menyaksikan acara tersebut. Bertemu pula saya dengan banyak kawan yang tak sengaja bertemu di lokasi yang sama.

Satu persatu penampil mulai menunjukkan aksinya di atas panggung yang disaksikan banyak pengunjung sembari menikmati secangkir kopi dan es-es pengobat dahaga mereka.  Musik, theater, kami menikmati semuanya. Sesekali lampu penerang dipadamkan untuk menambah kekhusyukan mereka memahami apa yang tersiratkan oleh penampil.

Namun sayang perihal sajak dan puisi kebanyakan dari mereka membawakan karya orang lain. Bukan masalah sebenarnya, namun alangkah lebih baik setidaknya adalah karya-karya sendiri yang bisa ditampilkan. Tidak melulu soal baik atau kurang baik, tapi memunculkan kebanggaan atas apa yang sudah dihasilkan adalah reward bagi diri sendiri.

Sedang asiknya menikmati beberapa penampil saya dihampiri oleh pembawa acara yang namanya saya lupa. Beliau berucap untuk saya membawakan puisi. Beliau tahu saya semenjak saya mengikuti Malam Kopi Sajak #2. Saat itu saya membawakan puisi tentang kritik kepada pemerintahan (dasar saya).

Karena dipaksa saya pun mengiyakan padahal saya belum menyiapkan puisi yang cocok disandingkan dengan tema malam ini. Ah sudahlah, terkadang kita memang harus memunculkan kesaktian kita saat dibutuhkan. The Power Of Kepepet adalah solusinya.

Saya pun membuat puisi yang saya tulis di note Handphone. 15 menit saya menyelesaikan semua. Mungkin jauh dari kata puitis atau apalah, tapi saya meyakinkan diri sendiri untuk apapun yang saya tulis adalah hasil karya sendiri. Saya patut mendapat reward kepuasan dari saya untuk saya. Se-simple itu pemikiran saya, setidaknya saya memberikan sumbangsih kepada acara ini dan membagikan apa yang memang saya rasakan saat ini tanpa melulu dibalut kata kata romantis dan mendayu dayu.

Karena bagi saya puisi adalah kejujuran. Apa yang saya tulis adalah apa yang saya rasa. Tersusun dari atmosfir para penampil sebelumnya yang membagikan kisah-kisahnya di kala kemarau dan kehidupan sekitar rumahnya, akhirnya saya pun menyelesaikan puisi saya tanpa memberikan judul apa yang cocok.

Saat pembawa acara memberikan waktu dan tempat, saya pun maju dan mulai membacakan puisi saya ini. Sebelumnya, saya menyuruh kawan saya untuk merekam pembacaan puisi saya, sebagai bahan kenang dan evaluasi sendiri. Selesai menampil, saya pun kembali ke tempat saya dan kawan berkumpul.

Saya pun meminta video tersebut. Saat proses pengiriman lama sekali dan ternyata gagal, tanpa saya tau kegagalan tersebut ternyata file asli dari headphone kawan saya teryata telah dihapus karena memang handphone-nya sedang lemot karena memori penuh. Alhasil, penampilan saya tadi tak menghasilkan sebuah file untuk dikenang.

Ah sudahlah tidak perlu kecewa, mungkin karya yang saya buat cukup untuk saya sendiri simpan dan penonton dengan tanpa harus dikenang dalam bentuk visualnya. Toh, jikalau saya datang lagi di acara selanjutnya, saya sudah pasti diincar pembawa acara lagi, hahaha. Dan hikmahnya kawan saya berniat akan menganti handphone-nya karena merasa sudah sangat parah lemotnya. Hahaha 😆.

*

Inilah penampakan puisi receh saya

Kandas.... Alam alam tertindas
Nyawa nyawa alam terkuras
Ego ego bangsat beringas
Melulu perihal harta pemuas

Bukan hanya kau yang rindu bunyi riuh hujan
Bukan hanya kau yang mengeluh perihal panas tertahan
Tiada yang lebih syahdu saat ini saat merindu hujan
Teresap rahim bumi basah yang terlelehkan

Ibu pertiwi kesulitan asi!
Beta tak lagi punya tanah berair!
Efek Rumah Kaca tak lagi bisa bernyanyi Desember!
Anak anak kecil rindu bernyanyi 'tik tik tik bunyi hujan!'

Kali prei mili !!! Kali prei mili !!! Kali prei mili !!!
Kita berkumpul sembari menanti
Gak mili aku kowe mati!

Tanah kering kerontang
Hujan tak kunjung datang
Kemarau makin ke sini makin meradang

Kasihani kami Tuhan
Alam telah meronta meminta 
Jangan hiraukan Tuhan
Tanpanya kami tak berdaya...

29.11.19, KampungTualang







No comments:

Pages