Museum yang "Ramah" itu Perlu - FLP Blitar

Museum yang "Ramah" itu Perlu

Bagikan
Oleh: Siti Mutmainah




Beberapa saat lalu, ketika kami-anggota FLP Blitar-mengikuti pelatihan menulis di kebun kopi, kami mengelilingi lokasi tersebut. De Karanganjar Koffieplantage merupakan sebuah tempat wisata yang dilengkapi dengan aula, museum, kebun kopi hingga pabrik kopi. Yang menjadi ciri khas dari tempat ini adalah bangunan-bangunannya yang dibuat dengan model bangunan ala Belanda.
 
Salah satu yang kami kunjungi adalah museum.

Museum-museum ini berada di belakang dan sebelah kiri dari aula yang menjadi lokasi pelatihan menulis. Museum di belakang aula terdapat keris-keris peninggalan Diponegoro, serta sedikit penggalan kisah Kartini, sedangkan museum yang di sebelah kiri terdapat lukisan-lukisan, juga gambar alun-alun kota Blitar pada zaman pemerintahan Belanda.

Museum-museum ini tidak besar memang, tapi terdapat nilai sejarah yang bisa kita pelajari. Sayangnya, nilai-nilai mistik jauh lebih dominan terasa dari pada nilai sejarahnya sendiri.
Area kebun kopi. Foto bersama pegiat FLP Blitar


Misalkan saja dari ruangannya. Jendela yang ditutup gorden, pemilihan lampu bohlam berwarna kuning, semakin membuat ruangan yang memang tidak terlalu luas ini menjadi terkesan menyeramkan. Belum lagi suasananya yang sepi-karena tidak ada pengunjung-semakin menambah kesan seram. Dalam tulisan ini saya tidak akan menambah kesan mistisnya dengan menceritakan adanya bunga-bunga untuk sesaji ditambah dupa-dupa, mungkin itu merupakan cara pemilik museum untuk mensucikan keris, karena keris dipercaya mempunyai kekuatan magis.
 
Museum yang menyimpan lukisan pun tak kalah menyeramkan. Lagi-lagi ruangan tanpa jendela, sepi, penerangan warna kuning, ditambah lagu-lagu jawa yang semakin menambah suasana menjadi mistis.


Seharusnya, kita yang berada di dalam museum, bisa berlama-lama dan menikmatinya. Karena di dalam museum kita seakan diajak kembali ke zaman yang menyejarah. Katakanlah soal keris Diponegoro itu tadi. Dari situ kita bisa melihat keris yang digunakan Diponegoro sambil membaca keterangan yang ada di sampingnya. Bukan tidak mungkin kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti; “Kenapa Diponegoro tak memakai pistol saja agar lebih efektif?” 

Pun begitu dengan gambar alun-alun kota Blitar di zaman Belanda. Dengan melihat gambarnya dan membaca keterangannya, kita seakan-akan diajak ke zaman itu, ketika alun-alun kota Blitar terlihat lebih bersih, sejuk, rindang juga indah? Tak ada suara-suara bising motor, juga warganya yang hidup sederhana yang sedang berjalan di sekitaran alun-alun.
  
Tapi dengan ruangan yang mistis seperti itu saya rasa, kita tak punya waktu untuk membaca serta menghayati kehidupan masa lalu dari benda-benda yang ditinggalkan. Yang ada kita hanya melihat dan membaca sekilas, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan dengan pikiran, "Kok tadi kayaknya ada ngikutin aku ya?"

Saya pikir permasalahan museum yang seperti ini tidak hanya milik De Karanganjar Koffieplantaige saja. Masih banyak yang beranggapan jika museum berhubungan dengan peninggalan masa lalu, maka jika tidak ada unsur mistis tidak afdal rasanya. Padahal hal itu sama sekali tak ada kaitannya dengan fungsi utama museum sebagai sumber informasi yang berarti juga digunakan untuk penelitian. 

Museum sebagai tempat belajar harusnya dikonsep dengan menarik dan jauh dari kesan menyeramkan, supaya semakin banyak orang yang datang ke museum sehingga semakin banyak pula orang yang mempelajari sejarah. Seperti museum di De Karanganjar Koffieplantaige ini misalnya. Meski ruangannya kecil, tetap bisa dibuat dengan kesan luas. Jendela tak perlu ditutup gorden, lampu penerangan juga bisa memilih yang cahayanya berwarna putih.
 
Menghilangkan unsur-unsur mistis yang ada di museum-entah apapun bentuknya-menjadi perlu. Agar orang ramai-ramai datang ke museum, agar museum lebih hidup. Membuat museum yang lebih “ramah” itu penting.

No comments:

Pages