Gejala Pamer Nikah - FLP Blitar

Oleh : Ana Fitriani

Awasi gejala-gejala mau nikah nih!

Di lingkar pertemanan kerja, bisa dibilang saya paling muda. Banyak percakapan yang bisa ditangkap dari mereka, apalagi saat menjelang pernikahan salah seorang rekan kerja. Pasti suasana piket di depan kantor akan berwarna-warni dengan guyonan pranikah, entah ditanya sudah siapkan mental seberapa, hingga pertanyaan  nyeleneh lainnya.

Sesekali saya menggeleng tidak paham, justru mereka memaklumi dan banyak memberi saya wejangan begini begitu. Saya hanya nyengir sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Apalagi kalau sudah membahas tetek bengek pernikahan, saya yakin semalam suntuk tak pernah tuntas.

Kebetulan ada rekan kerja yang sudah sukses mengarungi bahtera pernikahan, dengan bukti mampu mendidik lima anaknya. Tanpa basa-basi mereka meluapkan ilmu-ilmu paten pernikahan yang saya kira lebih mujarab dibanding seminar pranikah yang kadang kita tidak begitu tahu asal muasal narasumber.

***

Gejala bahasan pernikahan ini semakin menggejolak saat hari demi hari istimewa itu datang. Semakin fokus satu titik, titik itu (kata Mbak Via Vallen) untuk perhelatan akbar jadi ratu seharian, makin sibuk seleksi sana-sini, menyeleksi mana rias paling mantap abis, dan tak lupa menabung mati-matian untuk sewa alat pesta.

Begitu hebohnya para calon ibu ini, terkadang sesekali mereka senyam-senyum sendiri. Melihat di kalender dan chat dari si doi yang tak sabar menuju pelaminan nanti. Ah, di pojokan tempat kerja kuamati detail gejalanya. Kucatat rapi, bahwasanya ada perubahan rona merah di pipi saat rekan kerja lainnya menggoda dan saling menimpali tanya.

***

Usai semuanya sudah dirasa siap, hari cuti sudah diberikan izin resmi, rekan kerja juga sudah dititipi undangan paling romantis sejagat negeri. Saatnya kondangan dimulai, menyiapkan jurus pemotretan paling unik, lalu si pengantin juga akan dieksploitasi. Karena agar tidak rugi sewa baju banyak dan dandanan yang super duper ciamik. Akhirnya, kelegaan si pengantin seperti selepas boker, ikhlas seikhlas mungkin. Menyisakan kenangan pada secarik amplop bertuliskan nama, hingga kami semua pamit pulang kembali.

Dari kejauhan nampak pasangan pengantin baru itu menyimpan segala keluh dan kesah yang menggejala entah sebelum atau sesudah mereka bersua. Kita tengok selepas menikah rekan kerja saya seperti apa.

***

Jreng, Jreng.

Lambat laun, usai semua normal kembali. Rekan kerjaku menjadi manusia lengkap atas resminya ia dipersunting oleh jodohnya. Sedikit julit tapi masih terlihat elit, saya bertanya bagaimana kesan dan pesannya selepas menikah. Duh, jomblo paling pemberani ini. Mematikan nyawa di depan lawan yang sudah hidup akan cintanya, haha.

Dia menjawab dengan berbagai penjelasan yang terkesan mentor paling mutakhir soal pernikahan. Ngomongnyapun pakai ngotot-ngotot, katanya setelah nikah itu enak, kemana-mana ya gak ada yang ganggu. Lha emang sebelum nikah banyak yang ganggu ya mbak? Hehe.

Ya kalau saya sih masih woles saja, toh rekan kerja juga masih banyak yang kisaran umurnya jauh di atasku namun masih selow-selow saja.
Kan kalau orang jawa bilang mendahului yang lebih tua itu ndak sopan alias saru. Saya tak jadi pengamat saja dulu, biar nanti saat sudah tiba waktunya gak gagu gitu.

Jadi, waspada aja ketika lingkunganmu mulai menunjukkan gejala pamer nikah padamu. Masa iya gitu aja tergoda? Kalau bukan kata Pak Eko, ini mah Raaa Mashok![]

No comments:

Pages