Kamera Ajaib - FLP Blitar

Oleh: Saif Ahmad

Aku tidak suka Dino, dia nakal. Tadi Dino melempar stipo yang ia pinjam dan mengenai pelipis Rina. Rina menangis. Ini tidak sekali dua kali. Saat kelas tidak ada guru, ia suka berlari diatas meja. Ia sering berkelahi. Tidak ada yang berani melapor, karena kami diancamnya.

Aku juga pernah dikerjainya. Seminggu yang lalu aku berulang tahun. Ibu memberi hadiah sebuah penggaris lucu. Penggaris itu dilengkapi dengan assesoris seperti jam, kalkulator, dan microskop. Tiba-tiba Dino menyambar penggarisku.

“Dino kembalikan penggarisku.” Teriakku. Teman-teman melihatku kasihan. Aku menjerit dan menangis saat Dino mematahkan penggarisku. Aku semakin benci Dino.

Aku berlari ke kantor dan menemui Bu Sari. Aku menceritakan ulah Dino sambil menangis.

“Dino memerlukan bantuan untuk berubah. Ibu akan pikirkan caranya.”

***

Hari ini ada yang berbeda. Setelah menyapa murid-muridnya. Bu Sari mengeluarkan sebuah kamera. Katanya sih kamera hebat. Dengan sekali jepret akan keluar foto kami. Sehingga kami menyebutnya: KAMERA AJAIB.

“Jadi, kamera ini akan berkeliling didalam dan diluar kelas. Kamera ini akan memfoto kegiatan kalian. Lalu Ibu akan memajangnya di mading sekolah.” Kata Bu Sari menjelaskan.

Esoknya kami berangkat pagi-pagi. Kami berbondong menuju mading. Kami sangat penasaran dengan foto dari kamera ajaib itu. Foto-foto itu memperlihatkan kegiatan kami. Saat kami sibuk mengerjakan tugas, menamam bunga, membersihkan kelas, tak kalah menarik saat Dino mengerjai temannya. Saat ia menarik baju Toni, melempar stipo Rina dan berkelahi dengan Faisal.

“Itu seperti Dino bukan?” tanyaku pada Sinta.

“Lihat! Foto-foto di mading hilang tinggal tersisa sebagian.” Sinta terkejut. Jari telunjuknya menunjuk ke tempat-tempat foto yang hilang.

“Ini pasti ulah Dino.” kataku kemudian.

Hari itu sekolah menjadi gaduh, karena foto-foto di mading hilang, terutama foto yang menunjukkan kenakalan Dino. Foto saat ia berkelahi dan foto saat ia mengerjai temannya.

Bel sekolah berbunyi. Kami segera masuk kelas. Saat Bu Sari masuk, kami segera menyerbunya dan memberi tahu jika foto di mading telah hilang. Bu Sari malah tersenyum dan kami tambah kecewa. Dalam hati kami, mengapa Bu Sari tidak marah ya?

“Dengar anak-anak, Bu Sari sudah tahu siapa pencurinya. Barang siapa yang mencuri akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan pihak sekolah akan mendatangkan polisi untuk menangkapnya. Jadi sebelum kepala sekolah melakukannya. Ayo ngaku saja?” kata Bu Sari dengan intonasi penekanan.

Semua gelisah, aku mencoba melirik Dino. Ia Nampak ketakutan. Tiba-tiba mengejutkan sekali ia berlari keluar kelas sambil menangis. Bu Sari segera mengejarnya. Dino duduk dibawah pohon mahoni dibelakang sekolah sambil tersedu. Bu Sari menghampirinya.

“Bu Sari maafkan Dino?” katanya sambil menangis.

“Ya, Ibu sudah memafkanmu. Bu Sari sudah tahu semuanya.”

“Jadi, apakah Dino akan ditangkap polisi?”

“Tentu!” kata Bu Sari ragu. Tangis Dino semakin menjadi. Ia memeluk Bu Sari dan meminta maaf.

“Tidak Dino, kamu tidak akan ditangkap oleh polisi jika kamu berjanji pada Ibu untuk tidak mengulangi perbuatanmu itu. Bu Sari janji.” Kata Bu Sari meyakinkan. Tangan halusnya membelai rambut Dino. Kami mengintip di balik dinding haru.

***

Hari itu kelas menjadi tenang, tidak ada kegaduhan. Dino terlihat murung sekali. Esoknya ia tidak masuk sekolah, aku dengar ia sakit. Lalu Bu Sari mengajak kami menjenguknya sepulang sekolah.

Bel pulang berbunyi, kami segera berangkat ke rumah Dino. Baru pertama ini aku ke rumah Dino. Saat tiba dirumahnya, kami segera mengucap salam dan dipersilakan masuk ke dalam rumah. Kulihat Dino terbaring lemah. Rupanya ia sakit panas. Saat kutanya dimana orang tuamu Dino? Dino hanya diam, ternyata ia dirumah dengan kakek, nenek dan adiknya.

Orangtuanya pergi entah kemana. Setiap hari Dino membantu kakek dan neneknya ke sawah, sehingga ia jarang belajar, karena pikirnya setelah lulus sekolah ia tak akan melanjutkan, ia pilih jadi petani saja. Kenakalannya di sekolah disebabkan ia iri dengan teman-teman yang lain, yang masih memiliki keluarga utuh. Ia malu ketika yang mengambil rapor saat kenaikan kelas adalah kakeknya yang sudah tua.

Bu Sari menjelaskan pada kami, bahwa kami tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain, bisa-bisa kitalah yang buruk. Bu Sari juga berpesan bahwa kami harus memiliki cita-cita tinggi agar bangsa ini bisa maju dan makmur. Sebelum pulang kami meminta maaf kepada Dino, karena kami telah berprasangka buruk padanya.

“Bukan kalian yang salah, akulah yang salah. Aku telah mencuri foto itu. Karena aku takut, jika foto itu dikirim kerumah dan dilihat kakek nenekku pasti mereka sedih. dan aku hanya memiliki mereka disini,” kata Dino terbata.

Siang berganti petang dan malam merambat, pagi segera hadir. Pagi itu suasana berubah. Tidak ada kegaduhan lagi. Kamera itu benar-benar ajaib. Dino telah berubah sejak hilangnya foto itu. Kami bersalam-salaman saling meminta maaf. Dan Bu Sari mengingatkan pada kami, kalau ujian kenaikan kelas sudah semakin dekat, kami harus belajar lebih giat lagi.

(Ngawi, 26 Desember 2017)




No comments:

Pages