Mendung (Bagian 3) - FLP Blitar

Mendung (Bagian 3)

Bagikan


Aku dan Clara beda kelas. Aku kelas XI IPA 1. Kelasnya anak paling top, kata guru-guru. Top karena dari semua nilai mata pelajaran, anak IPA 1 selalu tertinggi.

Clara di kelas XI IPS 3. Sekelas dengan Zanuba, pimred majalah sekolah. Karenanya gosip bertebaran ketika aku nampak akrab dengan Clara. Mulanya dari anak majalah.

"Dia cvnya lumayan lo, nggak pengen angkat figurnya jadi profil siswa?" Tanya Zanuba, menyodorkan biodata Clara padaku.

"Bukannya Yanuar yang mau diangkat? Juara lomba renang tingkat provinsi itu?" Sahut Junaidi, salah satu tim redaksi.

Mataku tertumbuk pada sederet prestasi Clara yang tertulis pada beberapa lembar kertas yang disodorkan Zanuba.

"Kamu dapat ini darimana?" Tanyaku.

"Dari pak Andro, pembina. Kan waka kesiswaan beliau, jadi ngasih beberapa rekom nama untuk profil siswa atau siswi berprestasi," Jawab Zanuba.

"Apa nanti tidak ada kecemburuan? Dia kan anak baru, tiba-tiba masuk majalah," Sambung Junaidi, "Apalagi lagi dekat sama.. ehem...," lanjutnya menggodaku.

Aku hanya tertawa nyengir.

Dari informasi Zanuba, Clara cukup biasa di kelas, namun punya rasa percaya diri yang tinggi. Sering bertanya pada guru. Clara juga tidak aktif ekstrakurikuler, apalagi musik. Dia hanya aktif di OSIS.

"Anaknya ngeslank banget Zal," jelasnya.

"Ha?"

"Gaul maksudku."

Kututup draft mentah majalah itu dan kusodorkan kembali ke Zanuba.

"Jadi gimana? Clara masuk?" Tanyanya.

"Bentar lah, ini aja dulu kerjakan," jawabku.

Dari biodatanya, prestasi Clara di bidang musik sangat banyak. Berbagai kompetisi dia menangkan, namun di sekolah ini, dia seperti tak tertarik dengan musik. Padahal fasilitas tersedia.

Dia juga belum bercerita alasan kepindahannya, dia hanya berjanji akan menjelaskannya suatu saat nanti. Padahal, dia punya cukup waktu untuk memilih ekstrakurikuler, dia pindah tepat kenaikan kelas, meski sebagian besar siswa ikut ekskul memang kelas X.

"Kenapa nggak ikut ekskul musik?" Tanyaku pada Clara.

"Udah telat, nggak ada formasi lah," Jawabnya santai. "Lu kepo amat yak. Kayak wartawan aja," lanjutnya.

"Kepo, apa?"

"Bushet dah, udik."

Dia tertawa terbahak. Menertawai kepolosanku yang tak paham bahasa gaul anak Jakarta.

"Tapi lu cowok care banget sih, kayaknya tanggung jawab banget," pujinya.

"Pret."

Tawa kami membelah suasana di kantin Pak Woto sore itu. Tak sengaja kedekatan kami ternyata lebih dari sekedar sebagai panitia acara perpisahan, tetapi sudah sebegitu akrab.

Awan di langit pun mulai gelap, angin berhembus sepoi, kami harus bergegas pulang sebelum rintik air jatuh ke bumi.

Bersambung

~~~~~
Cerbung by Ahmad Fahrizal Aziz

No comments:

Pages