Menjadi Jurnalis (Sebentar) - FLP Blitar

Menjadi Jurnalis (Sebentar)

Bagikan



Untuk beberapa minggu, setiap sore saya datang ke kantor radar Malang, bertemu redaktur atau editor untuk setor tulisan sebagai wartawan magang. Ada beberapa editor yang saya temui, sekaligus “belajar privat” tentang kepenulisan. Paling sering dengan Mas Kholid Amrullah, yang juga orang Blitar, alumnus SMAN 2 Blitar.

Sementara, dari 2012 sampai awal 2015, saya aktif di Majalah Suara Akademika. Majalah yang didanai oleh Kampus, dibawah Kemahasiswaan. Majalah komunitas itu menjadi bergengsi sebab tiap kali terbit didistribusikan ke banyak instansi, termasuk ke Kementrian Agama, apalagi sudah ber-ISSN. Sehingga tiap kali dosen menulis di kolom opini, akan mendapatkan kredit poin tersendiri.

Menariknya, majalah tersebut berani memberikan honor (bagi yang mengirimkan tulisan dan dimuat) yang cukup lumayan untuk ukuran waktu itu. Per-lembarnya Rp 100.000. Jadi jika tulisan sebanyak 2 atau 3 lembar, tinggal dikalikan.

Apalagi sejak pertengahan 2013, ada satu tambahan rubrik, yaitu rubrik cerpen. Pada beberapa terbitan awal, cerpen karya anak-anak FLP Ranting UIN Malang selalu dimuat. Meskipun sempat ada kasak kusuk bahwa dimuatnya karya-karya FLP tersebut, karena saya selaku ketuanya, juga menjadi staf redaksi disitu. Padahal saya tidak mengurusi rubrik cerpen, melainkan rubrik opini dan wawancara.

Melalui majalah tersebut, sering juga saya mengajukan beasiswa penulis. Memang tidak ada istilah beasiswa penulis. Penulis hanya bagian dari kriteria. Kalau beasiswa biasanya mencantumkan KTM dan transkip nilai perkuliahan, kalau beasiswa penulis melampirkan karya yang pernah dimuat di media.
***

Setidaknya ada beberapa majalah lokal yang kala itu membuka lowongan wartawan/penulis selepas saya dari majalah Suara Akademika. Karena masih memiliki kewajiban mengajar, maka saya urungkan. Dilema untuk melanjutkan aktif di bidang media, apa mengabdi sebagai guru. Karena bagaimanapun, kuliah saya adalah Pendidikan.

Pada beberapa momen, saya juga belajar tentang blogger. Pernah mengikuti workshopnya, namun keterampilan justru terasah karena praktek. Ketertarikan pada blog sudah sejak 2007, ketika membuatkan blog untuk ekstrakurikuler Jurnalistik. Selain itu juga pernah “nguli” sebagai konten writer. Tak disangka ternyata keduanya begitu nyambung, blog dan konten adalah dua hal yang tak terpisah.

Tapi jurnalisme bagi saya tetaplah paling menarik, selain dipacu untuk selalu kritis terhadap realitas, menjadi jurnalis selalu dibekali “ilmu alat” berupa 5W+1H, yang barangkali secara teoritik banyak dibahas dalam seminar, diklat, atau bahkan menjadi materi perkuliahan. Namun jika pernah mengaplikasikannya secara langsung, akan terasa bedanya.

Disatu sisi, kemampuan jurnalistik juga mempengaruhi cara berfikir, termasuk cara menganalisis sebuah peristiwa. Tidak mudah menerima sesuatu yang masih mentah, yang kira-kira masih perlu pembuktian lagi untuk memastikan hal tersebut benar. Kadang disisi lain, kita juga sedikit banyak memahami apakah sebuah isu itu berbasis fakta atau sekedar imajinasi.

Selain itu, jurnalis selalu berupaya menyajikan tulisan yang lugas dan mudah dipahami, mengingat segmen pembacanya yang luas, dari semua kalangan. Padahal, untuk membuat tulisan yang lugas ternyata tidak gampang, butuh pembiasaan dan kemampuan memahami pembaca.

Apa saya merasa cukup, sehingga tidak lagi melanjutkan atau melamar ke media lain, yang skalanya lebih luas? Tentu keinginan tersebut ada, terutama keinginan untuk hijrah ke Ibukota, dan melamar ke salah satu media besar disana. Hanya saja, ada pertimbangan lain, ada godaan untuk memiliki media sendiri, meski hanya berbasis online.

Pengalaman menjadi Jurnalis yang sebentar itu, benar-benar memberikan nilai yang berharga dan mengasah skill kepenulisan, sekalipun hingga saat ini proses belajar itu terus berlangsung, meski bersifat non formal.

Rasanya, ketika kita memiliki insting jurnalis yang kuat, setiap perbincangan dan peristiwa menjadi hal yang menarik. Sekalipun itu kejadian yang teramat biasa. Karena itu, kadang kala saya bisa mengingat statement orang, sekalipun orang tersebut mungkin sudah lupa. Sebab kebiasaan wawancara, bahwa sekalipun sudah ada perekam suara atau video, namun seorang jurnalis harus dituntut mengutamakan ingatannya, karenanya setelah wawancara diupayakan langsung ditulis.

Pada intinya, setiap kita adalah jurnalis dalam arti yang sederhana, yang mencatat peristiwa demi peristiwa, dari apa yang kita alami sendiri. []

Blitar, 10 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

No comments:

Pages