Musafir Kecil Keliling Tiga Kota (1) - FLP Blitar

Musafir Kecil Keliling Tiga Kota (1)

Bagikan

Oleh : Alfa Anisa


“Perjalanan adalah hal paling dinanti, menghabiskan sisa kesibukan yang senantiasa menyambangi” 


Sendirian, di Kota yang Asing

Hari itu Jumat masih panas menyengat, masih ingin dibuai oleh terik matahari dan sepoi-sepoi angin yang paling enak untuk tidur di rumah. Tapi, selepas bimbingan saya harus gegas bersiap berangkat menjadi musafir hari itu—Jumat, 18 Agustus 2017—di tiga kota. Dengan persiapan seperti biasa, bukan selazimnya perempuan yang selalu banyak  bawaan, saya melepas kota kecil ini pukul dua siang menuju kota Malang terlebih dahulu.

Tawang Alun dan kesendirian menjadi hal yang harus ditempuh menuju Jember. Kota yang selalu ingin saya datangi semenjak bertahun-tahun yang lalu. Tempat yang asing menunggu, beban berat selama di perjalanan sepertinya menjadi bekal lelah dan sakit yang tak diduga datang tergesa-gesa. Kereta api menyiapkan peluit panjang, kamu melepas kepergian dengan senyuman dan benih khawatir yang datang sebentar.

Ya begitulah, selama hampir lima jam duduk sendirian di kereta. Tanpa berniat mengajak ngobrol orang di depan saya. Entahlah, hari-hari setelah itu saya ingin tetap berdiam dalam kesendirian. Menikmati perjalanan, sambil sesekali turut merasakan ada yang berat di punggung. Meski telah menduga, beberapa jam kemudian pasti saya akan berurusan dengan hal-hal di tubuh  yang tak kuasa menahan lelah. Ah, sudahlah menikmati memang bagian terbaik dari segala jenis cerita.

Sekitar pukul sembilan malam saya telah sampai di Stasiun Jember. Ada yang istimewa kali ini. Adalah gejala sakit yang datang tiba-tiba, serta kesendirian yang jelas-jelas membuat saya semakin ingin segera berkeliling kota. Setelah beberapa menit kemudian, seorang teman datang menjemput. Ya, dialah teman satu asrama saat di SMA. Di sana kami pernah menjadi dua cewek tamvan, meski pada akhirnya saat kutemui hari itu dia berubah menjadi feminim, atau memang sayanya saja yang masih sama seperti dulu. Dududu...

Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di kos adalah tidur. Sebab tidur dan kasur adalah dua hal dari penyembuh, dari rasa sakit yang pelan-pelan mengikat tubuh, dari pengantar untuk gegas dipersiapkan menuju taman harapan.

Katanya Penyair Kecil

Esok paginya sekitar pukul delapan pagi, saya dan teman bersiap berangkat menuju lokasi acara. Sebelum itu ke stasiun dan alun-alun Jember, meski pada akhirnya tak mendapat tiket kereta, jadi harus menyiapkan tenaga penuh untuk pulang esok paginya.

Sampai di Warung Kembang, Rumah Budaya Padhalungan, sepi menyambut di depan tapi di dalam sudah banyak penyair yang berkumpul. Banyak yang tak saya hapal nama-nama mereka, sebab sebagian dari mereka adalah bukan sebaya, lebih dewasa, bahkan seperti om, tante, bapak, ibu, kakek, nenek, dan saya menjadi yang paling kecil datang. Dan akhirnya saya diselamatkan oleh Mbak Denting, penyair asal Surabaya yang masih mengenali wajah ini.

Katanya, penyair kecil, anak kecil yang hilang, anak kecil yang ... ah entah apalagi yang disebutkan oleh Komandan Laskah PMK yang saat itu memperkenalkan para penyair yang datang dari berbagai kota. Tapi, saya selalu senang ketika berada di antara mereka meski saya memang yang paling kecil tapi saya seperti dilindungi diantara para penyair yang sudah berumur. Hihi.[]




No comments:

Pages