Oleh : Yayuk Amirotin
Pagi-pagi aku
telah tiba di sekolah. Kelas-kelas sepi, tak tampak seorang pun kutemui di
sepanjang koridor menuju kelas. Setelah kurasa aman, aku berbalik menuju ruang
guru. Kulihat Bu Susiah, guru agama Islam turun dari mobil Avansa. Beliau
berjalan ke ruang guru, jantungku berdebar kencang. Usai mengucapkan salam,
kuberanikan diri mengutarakan maksud hati. Alhamdulillah, aku girang bukan
kepalang, ternyata Bu Susiah menyambut baik usulku.
Aku segera ke
kelas dengan perasaan lega. Kuharap semua berjalan sesuai keinginan. Aku tak
mau teman-temanku terjerumus gara-gara Valentine. Sejak kemarin, tak kulihat
Faisal di kelas. Mungkin ia sedang sibuk mempersiapkan lomba karya ilmiah
mewakili sekolah ke tingkat provinsi.
“Hebat...!Hebat...!”
tepuk tangan Zahra, merusak konsentrasiku membaca buku. Kulihat Zahra, Debora,
dan Zanet berjalan mendekat. Mereka tersenyum getir ke arahku.
“Lihat,
teman-teman!Ternyata gadis sok suci ini, telah melaporkan rencana Valentine
kita kepada Bu Susiah!” tuding Zahra tepat di mukaku.
Serentak aku
berdiri dan membuang tangannya. “Sungguh kau tak sopan, Zahra!”
“Dasar tukang
adu!” Zanet menimpali, “kalau kau tak suka dengan rencana kami, kau tak usahlah
ikut!Bukan malah mengadukan kami ke Bu Susiah!” Kata-kata Zanet menusuk relung
hati, membangkitkan amarah yang mulai membuncah.
“Maaf, Zanet!Aku
sungguh tak mengadukan rencana kalian,” belaku.
“Pintar sekali
kau berkilah, Imah!Kau kira, kami tak tahu!Tadi pagi kau menemui Bu Susiah di
ruang guru, kan?!” Debora ikut bicara.
“Dengarkan dulu,
akan kujelaskan....”
“Kami tak perlu
lagi penjelasanmu!Sudah sangat jelas semuanya!” Zahra memotong ucapanku, “aku
sungguh kecewa padamu!”
“Tapi, ini
kulakukan demi kebaikan kita, Zahra!” belaku.
“Kebaikan macam
apa, maksudmu, hah?!” Teriak Zahra melotot.
“Valentine itu,
bukan untuk kita, Zahra!”Teriakku.
Plakk!Tamparan
keras dari Zahra, mendarat di pipiku kanan. “Dasar sok suci!”
Sungguh tak
kusangka, Zahra tega berbuat seperti itu. Perlahan air mata pun jatuh
berlinang. Sesak dada menerima perlakuannya. Rasa marah dan tak terima,
berkecamuk menguasaiku. Tapi, takkan kubalas tamparannya. Hingga kemudian,
Fiona datang dan melerai kami.
“Apa-apaan
kalian ini?!Sungguh memalukan!Kita ini teman sekelas, mengapa harus ada
keributan?!” Fiona berada di tengah-tengah aku dan Zanet.
“Dia yang
memulai duluan!” Zahra kembali menudingkan jarinya.
“Sudah-sudah!Kalian
harus damai dan saling memaafkan. Imah...!” Sebelum Fiona melanjutkan
kata-katanya, aku segera mengambil tas dan berlari meninggalkan kelas. Linangan
air mata terus saja bercucuran sepanjang perjalanan pulang. Fiona berlari
seraya memanggilku. Namun, aku terus berlari dan meninggalkannya.
*****
Malam semakin
larut, kucoba memejamkan mata rapat-rapat. Besok adalah hari Valentine,
rencanaku mungkin gagal gara-gara persoalan tadi siang.
“Dasar tukang adu” kata-kata Zanet benar-benar memecah
konsentrasi tidurku.
Masih
tergambar dengan jelas dalam benakku, betapa bersemangatnya
teman-temanku untuk merayakan Valentine dengan berbagai
usulan acara. Debat kusir di kampus
kemarin siang, kembali terbayang. Waktu
itu, suara gaduh di kelas XII
Bahasa, tak membuatku mengalihkan pandangan dan konsentrasi untuk terus membaca
buku.
“Kita ke pantai
Serang saja, teman-teman,” usul Debora.
“Bagaimana guys, setuju?” Zahra, menawarkan
pendapat Debora.
“Saya tidak
setuju!Musimnya tidak mendukung. Hampir setiap hari hujan!” tolak Zanet.
“Betul tuh, kata
Zanet!” seru beberapa siswa. Suasana kelas pun gaduh.
“Ahaaa...!Ke
Kampung Coklat!” seru Dina girang,” kita bisa menikmati aneka kue dan minuman
coklat di sana, pasti lebih romantis,” lanjutnya.
“Bagaimana
teman-teman?Setuju ke Kampung Coklat?” teriak Zahra.
“Hai,
Fatimah!Dari tadi kamu cuek saja.Usul gitu, kek!” Zahra berjalan mendekat.
“Aku ingin ke
perpustakaan atau mengerjakan tugas saja,” jawabku datar.
“Apa?!Gila bener
ide loe. Ini perayaan Valentine Imah,
bukan gerakan membaca!” kata Zahra ketus.
“Tapi kita
sebagai umat Islam, tak boleh ikut merayakan, Zahra!” aku mengingatkan.
“Huuuuuu...!”
Serempak seisi kelas mencibir. Aku tak peduli mereka memihak Zahra.
“Kita ini
masyarakat plural Imah. Terpenting kita tidak berbaur dengan umat Kristiani.
Kita cukup main dan makan bareng. Habis gitu, bertukar hadiah. Simple, kan?!” jelas Zanet.
Tetap saja.
Bagiku tak boleh ada perayaan Valentine. Meskipun itu ditujukan kepada ibu
sendiri. Sebagai pemimpin diskusi, Zahra memutuskan bahwa Valentine akan
dirayakan di Kampung Coklat, usai asar hingga malam. Semua wajib hadir bersama
pasangan. Bagi yang tidak mempunyai pasangan, bisa mengajak teman atau
saudaranya.
*****
Tamparan keras
Zahra, tatapan kebenciannya benar-benar membuatku sedih. Jika teringat hal itu,
derai air mata pun mengalir. Salahkah apa yang telah kuperbuat?Padahal, aku
hanya ingin membantu mereka terbebas dari tradisi Valentine. Detak jarum jam,
kian keras bersuara.
“Dasar tukang
adu!”
“Aku sungguh kecewa padamu!”
Kata-kata itu
terngiang terus di telingaku, meski kututup telinga rapat-rapat, tapi suaranya
malah semakin keras.
“Kau tampak
sedih. Ada apa Fatimah?” suara tak asing, menyapaku.
Aku segera menoleh. Terlihat Faisal berdiri tersenyum.
“Kulihat dari
tadi, kamu murung terus. Apa ada masalah di sekolah?” tanya Faisal.
Aku hanya diam.
Terlihat rembulan kembali bersinar. Awan hitam yang menutupi, kini perlahan
bergerak menjauhi. Bintang-bintang pun bertebaran menghias malam. Rasanya aku
sangat bahagia berada di dekat Faisal.
“Kamu kok, malah
melamun lagi?” Faisal melangkah lebih dekat.
Debar jantungku
kian kencang. Panas dingin di tubuh, seakan menjalar dari kaki hingga ujung
rambut. Gemetar rasanya tubuhku ini berada dekat di sampingnya. Apalagi melihat
sinar teduh matanya. Bulan dan bintang seolah tersenyum iri melihat kedekatan
kami.
“Kkaa...kaaa--kaa..kamu
mau ngapain?” tanyaku gagap.
Aku tersentak.
Sentuhan tangan halus meraba kening. Kubuka mataku perlahan.
“Badanmu panas.
Kau sakit, Fatimah?” kulihat wajah kekhawatiran ibu.
“Sakit?!” gumamku heran.
Aku tak merasa
pusing sama sekali. Hanya rasa dingin sedikit menggangguku. Mungkin panas
badanku disebabkan kurang tidur, pikiran kalut yang sangat menggangguku
semalam. Jangan sampai ibu tahu, kalau aku baru saja memimpikan Faisal. Atau
jangan-jangan, aku sakit rindu ya...
“Sebaiknya kau
salat subuh dulu. Ibu siapkan sarapan, dan segeralah minum obat. Kalau sakit,
jangan dipaksakan masuk. Nanti ibu buatkan surat ijin.”
“Iya, Bu,”
jawabku bergegas bangun dan mengambil air wudu. Kubuka jendela kamar, hari
masih gelap. Di langit, rembulan tampak tersenyum, mengintai di balik awan.
“Ternyata hanya
mimpi...,” gumamku lirih, tersenyum-senyum lalu bergegas salat.
*****
Siang ini
sungguh membosankan. Udara di luar panas menyengat. Tapi untung saja, panas
badanku menurun. Usai melaksanakan salat zuhur dan makan siang, aku
mencari-cari buku yang belum tuntas kubaca. Beberapa tempat kugeledahi, tapi
tak jua menemukan. Kulirik jam telah menunjukkan pukul dua.
“Assalamu’alaikum...!”
Terdengar salam dari balik pintu.
“Wa’alaikumsalam...!”
aku keluar kamar dan membukakan pintu.
Bagai kemarau
mendamba hujan. Faisal datang secara mengejutkan. Dua hari tak bertemu dengannya. Setelah berbasa-basi dan
menanyakan sakitku, aku bergegas ke kamar untuk berganti baju.
“Aku tak mau
kalau hanya bepergian berdua. Ini bukan karena merayakan Valentine, kan?!”
tanyaku .
Faisal hanya
tersenyum. “Fiona dan Dina sudah menunggu di mobil. Memangnya mengapa sih, kamu
suka khawatir kalau jalan sama aku?”
“Tidak apa-apa,
aku hanya tak ingin ada jin mengganggu. Selain itu, agar tidak menimbulkan fitnah
nantinya,” jawabku tersenyum, “tapi..., kamu harus ijin dulu sama ibuku.”
“Siappp,
komandan!” ekspresi Faisal membuatku tertawa geli.
Ibu tadinya
keberatan mengijinkanku pergi. Tapi setelah melihat aku sudah sehat, beliau pun
merestui.
Faisal memarkirkan
mobilnya di samping perpustakaan. Perpustakaan Bung Karno, tidak jauh dari
Taman Kebon Rojo Blitar.
“Ayo, kita
segera masuk!” ajak Fional.
“Assalamu’alaikum,
Imah,” serentak Zahra, Debora, dan Zanet menyambutku di ruang baca. Seluruh
siswa kelas XII Bahasa telah hadir di sana.
“Wa’alaikumsalam...lho,
kalian tidak jadi ke Kampung cCoklat?” tanyaku heran.
Mereka diam dan
saling memandang. Ketiganya berjalan mendekat.
“Imah, aku minta
maaf telah menghina kamu waktu itu,” sesal Zanet.
“Aku sungguh
berdosa, Imah. Aku tak sengaja menamparmu. Aku tak pantas menjadi temanmu lagi.
Maafkan aku, Imah. Maafkan aku. Aku malu padamu. Malu dengan diriku sendiri,”
isak Zahra seraya memelukku.
“Aku telah
memaafkan,” jawabku tersedu. “Kalian adalah temanku, aku sayang kalian.” Air
mataku berlinangan membasahi pipi. Ya, air mata bahagia di hari Valentine.
“Ini bukumu,
jatuh tertinggal di kelas,” Zahra menyodorkan buku kecil.
“Maaf, tanpa seijinmu, aku telah membaca buku
‘Enam Kerusakan di Hari Valentine bagi Umat Islam.’ Karena buku inilah, kini
aku sadar akan larangan Valentine bagi kita,” sesal Zahra semakin tersedu. Kuhapus air matanya, kami berpelukan sangat
erat. Teman-teman ikut terharu menitikkan air mata.
“Assalamu’alaikum....”
kehadiran Bu Susiah melepas pelukan kami.
“Alhamdulillah,
kalian sudah baikan. Maaf ibu datang terlambat. Mari, kita mulai kegiatan sore
ini dengan bacaan basmalah. Temukan buku bertema ‘Valentine’, baca dan pahami!.
Selanjutnya, buat cerpen bertema ‘Valentin No, Writing Yes.’ Ibu akan memilih
50 cerpen terbaik untuk dibukukan dan juara 1-3 berhak mendapat hadiah
spesial,” Bu Susiah menjelaskan panjang lebar.
Dalam hati, aku
sangat bahagia. Teman-temanku terhindar dari perayaaan Valentine yang
jelas-jelas bukan milik Islam. Ternyata, ideku berhasil. Gerakan membaca yang
kuusulkan ke Bu Susiah pagi itu, dikembangkan Zahra plus “Gerakan Menulis.”
“Hari ini
sungguh bahagia, teman-temanku telah kembali. Terimakasih, Faisal. Kamu, tidak
mampir dulu?” Kubuka pintu mobil.
“Fatimah, tunggu
sebentar.” Kuurungkan langkah. Jantungku berdebar, lama kami duduk terdiam. Aku
mulai kikuk. Malu dan gelisah berpadu.
“Fatimah, hari
ini aku juga sangat bahagia bisa bersamamu.” Gemetar suara Faisal jelas
kudengar. “Ketika siang, kumelihatmu di kelas. Pada malam hari, kulihat kau
dalam mimpi. Aku tak tahu, rasa ini sekedar suka ataukah cinta. Jujur, sudah
lama kupendam rasa ini. Aku merasa bahagia di sampingmu, rasanya tak ingin jauh
darimu. Dua hari tak bertemu, rasa rindu
menyiksaku. Aku mencintaimu. Bolehkah aku menjadi kekasihmu, Imah?”
tanya Faisal menatapku lekat.
Aku tertunduk.
Hatiku seolah melayang di atas awan. Butir-butir kebahagiaan berhamburan
menerpa relung. Bibirku kelu, bahagia dan haru saling bercumbu menggelung.
“Faisal, aku...aku...”
jawabku terbata, “aku tak menyangka jika hatiku telah menawanmu. Tapi, aku tak
mau, Valentine ini menjadi sejarah kita ke depannya. Karena Valentine, bukan
milik kita. Maafkan aku belum bisa memberi jawaban hari ini.”
“Aku mengerti,
Imah. Maafkan aku. Aku akan sabar menunggu jawabanmu. Mari, kuantar pulang!Aku
belum pamit ibumu.”
No comments:
Post a Comment