Membangun Rasa Untuk Menulis - FLP Blitar

Membangun Rasa Untuk Menulis

Bagikan




Menulis, atau lebih tepatnya mengarang, bukan sesuatu yang baru. Itu sudah dipelajari di sekolah. Teori kepenulisan, mulai dari penggunaan tanda baca, membuat kalimat efektif, membuat paragraf, membuat alur cerita dan lain sebagainya, sudah pernah kita dapatkan bertahun-tahun sekolah.

Sejak SD bahkan sampai kuliah, kita selalu dipertemukan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, namun kenapa untuk sekedar menulis saja begitu susah?

Memang ada orang yang secara khusus mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Misalkan wartawan, ia menjadi “juru tulis” peristiwa. Atau sastrawan, yang gemar berkata-kata, mendeskripsikan kondisi sosial, bahkan perasaannya sendiri, dengan kalimat yang puitis.

Namun menulis bisa dilakukan siapapun, terlepas apa itu profesinya. Memang tidak akan lebih produktif dibandingkan mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Namun setidaknya, ada hal yang dituangkan dalam bentuk kata-kata. Entah itu ide, pengalaman, atau perasaan.

Meski kita juga menyadari, tidak semua orang punya cukup waktu dan energi untuk menulis. Tidak semua orang pula mau menulis, apalagi memaksa untuk menulis. Namun meluangkan waktu untuk menulis, juga bukan sesuatu yang buruk. Minimal seminggu sekali, atau jika terlalu sibuk bisa sebulan sekali. Hanya dua sampai tiga halaman, tentu tidak susah.

Namun pertanyaan semacam ini kerap kali muncul, terus untuk apa menulis? Jika bukan penulis, atau memang memiliki pekerjaan menulis, aktivitas tersebut nampak tak ada gunanya. Apalagi ditengah tumbuhnya teknologi yang bisa merekam peristiwa apapun.

Dulu, sebelum munculnya teknologi yang canggih, menulis bisa digunakan untuk mengingat peristiwa. Bahkan kebiasaan mencatat atau merangkum buku-buku perpustakaan masih marak. Sekarang, jika mencari referensi dan kebetulan buku tidak boleh dipinjam, tinggal di potret. Jika bepergian ke suatu tempat, foto atau video bisa menjadi kenangan-kenangan.

Jadi sudah tidak perlu lagi ditulis. Rasa untuk menulis semakin menipis, setelah teknologi menggempur sedemikian rupa. Lagipula, tidak semua tulisan juga dibaca. Lantas untuk apa lagi menulis?

Tapi tak ada salahnya dicoba. Menulis, meski hanya bentuk catatan sederhana, akan memunculkan kepuasan tersendiri. Memang sudah ada foto, sudah ada video, namun keduanya tidak bisa mewakili apa yang benar-benar kita rasakan ketika kejadian itu berlangsung.

Selain itu, sebuah foto juga perlu deskripsi agar bisa dipahami oleh banyak orang. Seperti halnya koran, ia tetap memasang foto dan artikel yang menyertai untuk memberikan keterangan lebih komplit.

Menulis ya ibarat berkata-kata, berbahasa. Kita berkomunikasi dengan bahasa, saling mengerti satu sama lain dengan bahasa. Bayangkan jika pergi ke suatu tempat dimana kita tak memahami sama sekali bahasa setempat. Orang sekitar menjadi aneh bagi kita, karena mereka bercakap sesuatu yang tak kita pahami.

Kata-kata bisa mewakili apa yang kita rasa. Kita pun bisa pula mengungkapkan, atau hanya sekedar berbagi cerita. Banyak hal menarik dalam hidup kita, yang mungkin perlu orang lain ketahui, atau dibagikan secara luas.

Ada banyak hal menarik dalam hidup kita yang sayang jika dilewatkan begitu saja, yang akhirnya bisu, hilang, bersama waktu. Selain karena kemampuan mengingat yang terbatas, apalagi seiring bertambahnya usia.

Menulis bisa membantu menjadi penanda hal-hal yang pernah kita lalui, hal yang mungkin sangat penting. Suatu kelak kita akan keget, tercengang ketika membaca peristiwa yang sudah tak muncul lagi dalam ingatan, karena banyaknya peristiwa yang menjejali otak kita.

Suatu kelak kita mungkin juga akan terhibur dengan sajak, puisi, atau cerita pendek yang pernah kita tulis, meski disela-sela kesibukan. Ada rasa bahagia, ada sesuatu yang akhirnya bisa kita kenang, dan ada perasaan bahwa waktu yang telah berlalu tak menguap begitu saja.

Selamat menulis,
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages