Philokoffie : Di Sini, Bukan Cuma Soal Kopi - FLP Blitar

Philokoffie : Di Sini, Bukan Cuma Soal Kopi

Bagikan

Oleh : Adinda RD Kinasih

Saya mengenal tempat ini pada Nopember tahun lalu, saat tengah menanyai Alfa Anisa tentang adakah buku yang bisa saya pinjam.

Kemudian, dia mengirimkan foto sederetan buku yang terpajang di tepi jendela bercat putih. Rasa penasaran muncul di benak saya. Di manakah itu, tempat yang menyediakan buku-buku langka? Di bagian Blitar yang mana?

***

Maka, sore itu, dua minggu kemudian, sepulang dari Perpus Bung Karno, saya beserta tujuh teman FLP mengunjungi tempat itu, yang ternyata adalah sebuah kafe bernama Philokoffie. Dari luar, bangunannya tak terlihat seperti kafe. Lebih seperti rumah penduduk pada umumnya. Tapi, begitu masuk ke dalamnya, wah…saya jatuh cinta.

Bagaimana tidak? Ada perpaduan tiga hal favorit saya di tempat ini. Buku, kopi, dan musik. Ditambah lagi, fasilitas free WiFi. Inilah tempat yang saya cari selama ini, hehehe.

***

Philokoffie adalah tempat yang memadukan kafe dan perpustakaan. Sebelum kafe ini berdiri, sebelumnya telah ada sebuah komunitas baca bernama Pustaka Pijar, yang digagas oleh Kelana Wisnu, mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung, jurusan Sastra Indonesia.

Komunitas ini membuka “lapak” peminjaman setiap Hari Minggu di Kebon Rojo, dan kemudian berkembang menjadi Philokoffie. Ada tiga orang yang mengelolanya, yakni Mbak Ratna Haryani yang biasa disapa Mbak Na, Mas Bimo, dan Mas Kharis yang lebih sering dipanggil Kusem.

***

Di sinilah saya menemukan berbagai buku yang tak pernah terbayangkan akan saya baca sebelumnya, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, novel se-populer Harry Potter pun, baru pertama kali saya baca di sini. Harus saya akui, bahan bacaan saya memang sangat kurang. Dan Philokoffie telah membantu menambah “asupan” bacaan saya.

Selain itu, tempat ini juga yang membuat saya tahu berbagai jenis biji kopi dan teknik pembuatannya. Ada kopi Aceh Gayo, Jawa Liberika, Flores Bajawa, Bali Kintamani, Blue Batak, juga Papua Wamena.

Cara pembuatannya pun bermacam-macam. Ada French press, drip method, pour over, mocca pot, syphon, V-60, dan rockpresso. Tapi, yang paling menjadi favorit saya adalah kopi tubruk—yang tidak terlalu pahit dan ada sedikit rasa asam. Dan ternyata lebih enak bila diminum tanpa gula.

***

Mengapa saya menganggap Philokoffie begitu istimewa? Mungkin, lebih pada sensasi rasa kopi dan suasananya.

Membuat kopi memang bisa saja dilakukan di rumah, lebih hemat biaya. Tapi, sensasi rasa kopi bubuk pabrikan dengan yang digiling langsung dengan coffee grinder tentu berbeda. Apalagi, ada beberapa jenis biji kopi yang memiliki keunikan rasa masing-masing.

Tak hanya kopi, di sana tersedia pula beberapa varian teh, minuman cokelat, juga jus buah. Dilengkapi dengan sejumlah kudapan ringan, dengan harga terjangkau, tentu saja.

***

Satu lagi, suasananya. Dua set meja kayu dan bangku drum; deretan buku; alunan lagu yang sering bersaing dengan deru kereta; dan obrolan tentang beragam buku. Mungkin, jika saya boleh bilang, hanya Philokoffie yang miliki semua itu.

Maka, jangan heran, jika saya jadi rutin berkunjung ke kafe yang berlokasi di Jalan Dr. Sutomo nomor 2 itu tiap akhir pekan, bahkan kadang di hari biasa pun juga.

Karena Philokoffie: is not only coffee, but this place is my second home, definitely.[]

10 Mei 2017

No comments:

Pages