Kita Membutuhkan (Lebih Banyak) Sastrawan - FLP Blitar

Kita Membutuhkan (Lebih Banyak) Sastrawan

Bagikan




Jumlah Sastrawan itu tidak banyak. Dalam sebuah kota, kita bisa menemukan ratusan bahkan ribuan politisi, atau puluhan pengusaha dan akademisi, namun belum tentu menemukan 10 saja Sastrawan. Keberadaannya sangat langka, disatu sisi memang kurang diminati.

Sedikit banyaknya berkorelasi pada minat. Kenapa misalkan, jumlah Politisi kian hari semakin membludak. Entah politisi sungguhan, atau yang berlagak seperti politisi. Bahkan gaya bicara politisi—yang serba retoris agitatif—pun menjadi model sekaligus menunjukkan tingkat keberhasilan komunikasi.

Ia akan bangga jika berhasil mempengaruhi orang lain, dan orang tersebut kemudian menjadi pengikutnya. Tak jarang ia menggunakan “bahasa akomodatif” yang menunjukkan citra keberhasilannya, bahwa ia berhasil melakukan ini itu, bahwa seolah menempatkan dirinya sebagai orang paling berjasa, atau paling mengerti atas suatu hal.

Memang tidak semua politisi seperti itu, namun jika politisi tidak membranding dirinya, maka ia akan kalah dengan yang lain. Dunia politik adalah dunia yang serba kompetitif, saling berebut pengaruh dan jaringan.

Dunia politik menjadi sangat ramai, karena mungkin begitu menggiurkan dan berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Urusan hidup kita mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi tak luput dari sentuhan politik.

Dunia Sunyi
Prof. Kuntowijoyo menyebut dunia Intelektual adalah jalan sunyi. Tapi sesungguhnya tidak benar-benar sunyi. Sebagian besar intelektual adalah akademisi, yang tentu saja diperhatikan oleh negara. Belum lagi jika ada kesempatan riset dan seminar dalam lingkup yang luas.

Karya-karyanya pun masih kemungkinan diakses oleh “pasarnya” sendiri, yaitu civitas akademika. Tiap tahun ada banyak mahasiswa baru, Kampus-kampus pun juga semakin maju. Memang masih muncul perdebatan soal julukan Intelektual, dan tidak semua akademisi pun layak disebut Intelektual. Namun jika melihat suasana kampus hari ini, dunia intelektual kian ramai.

Yang benar-benar sunyi adalah dunia sastra. Terutama, para produsen karya sastra yang benar-benar nyastra. Bahkan menurut Seno Gumira Ajidarma, pengertian sastra sendiri masih belum pasti. Makanya kadang orang bertanya, apakah karyanya layak atau tidak disebut karya sastra?

Sebagaimana kalimat pembuka diatas, jumlah sastrawan itu sangat sedikit, jika perbandingannya adalah politisi atau akademisi. Bahkan lebih sedikit dari Da’i penceramah, yang dipromosikan oleh Masjid-masjid.

Disetiap kota sudah pasti ada politisi, yang bersemayam pada berbagai jabatan publik. Meskipun tidak semua pejabat publik itu adalah politisi. Pejabat publik dibagi antara politisi dan birokrat. Birokrat inilah pejabat karir. Namun keduanya juga kerap kali mengalami persinggungan, karena saling membutuhkan.

Pengusaha, dalam setiap kota juga hampir ada. Akademisi pun begitu, terutama jika dalam suatu kota terdapat perguruan tinggi. Lalu Sastrawan? Bahkan dalam lingkup provinsi, atau pulau sekalipun, belum tentu dikenal seorang saja sastrawan. Sekarang misalkan ditanya, sebutkan satu saja sastrawan papua. Kita pasti akan bingung menjawabnya. Padahal itu mewakili Pulau.

Kalaupun akan mencari, maka sasarannya adalah para pegiat komunitas sastra, sementara tidak semua pegiat sastra disebut (atau mau disebut) sebagai sastrawan.

Mungkin kita sedikit mudah mencari identitas sastrawan berdasarkan kultur budayanya, misalkan sastrawan melayu. Ada banyak sekali nama-nama yang muncul, terutama dari Sumatera Barat. Nama-nama tersebut dikenal karena karya-karyanya sebagian menjadi bacaan khusus (atau bahkan wajib) di sekolah dan Universitas. Zaman dimana karya sastra masih diapresiasi dengan baik.

Dalam pengertian paling sederhana, sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra. Karya sastra ada yang berbentuk lisan dan tulisan, bahasa menjadi alat utamanya. Dalam dunia penerbitan, karya sastra diterjemahkan dalam bentuk puisi, cerpen, dan novel. Meski ada juga yang tidak mengakui novel tenlit sebagai karya sastra, dan lebih menyebutnya fiksi populer. Perdebatan dalam istilah adalah hal biasa.

Fakta ini sebenarnya agak berkebalikan dengan selera pasar. Karena selama ini, buku-buku yang laris sebagian besar adalah novel. Bahkan novel-novel berat sekalipun. Belum lagi yang beredar diluar toko buku.

Karya sastra, terutama puisi, masih menjadi kutipan populer di sosial media. Apalagi puisi-puisi romantis dan reflektif seperti gubahan Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus Mus, Aan Mansyur, dll. Puisi-puisi dari mereka seolah menjadi oase bathin, yang membantu mendefinisikan perasaan, suasana, dan harapan.

Bahkan puisi-puisi Chairil Anwar, Wiji Tukul, atau Soe Hok Gie, tak jarang menjadi jargon para aktivis, baik aktivis sosial atau politik. Puisi menjadi “bahan bakar” untuk jiwa yang tengah memperjuangkan sesuatu. Puisi bisa jadi adalah kutipan paling populer kedua, setelah kitab suci.

Kehadiran sastrawan sebenarnya cukup penting dalam kehidupan. Sebagaimana kata Pram : orang boleh pandai setinggi langit, tapi tanpa mencintai sastra, ia hanyalah hewan yang pintar.

Sastra menyirami jiwa manusia, tidak saja rohani. Sastra mengajak merenungi kehidupan ini, mendefinisikannya. Sastrawan berarti orang yang memproduksi karya sastra.

Realitas hidup yang kompleks, ruwet, jenuh, dan membosankan ini, perlu sedikit sentuhan sastra agar lebih segar, lebih cair, dan mungkin lebih indah. Sastra mungkin tidak memberikan solusi riil, namun ia akan melegakan perasaan, menguatkan yang nyaris tersungkur, dan membahasakan harapan. []

Blitar, 11 Mei 2017
A Fahrizal Aziz

No comments:

Pages