Nasib Hari Depan dan Tentang FLP Bumi Bung Karno - FLP Blitar

Nasib Hari Depan dan Tentang FLP Bumi Bung Karno

Bagikan

Oleh : Alfa Anisa

“Di kota ini masih kering akan tumbuh-kembangnya sastra dan bidang kepenulisan masih melangkah tertatih-tatih menuju nasib baik di hari depan.”

Itu adalah salah satu percakapan yang saya kutip dari seorang teman yang baru saja kembali dari perantauan dan ingin menghidupkan benih-benih sastra di kota yang masih tandus dengan kepenulisan.

Saat itu akhir pekan yang gaduh untuk memulai obrolan segala hal mengenai sastra dan tetek bengeknya, sebab hari itu adalah hari Minggu. Orang-orang hilir-mudik melintas di sekeliling kami yang sedang khusyuk menyiapkan sebuah takdir dan nasib kepenulisan hari depan di Bumi Bung Karno Blitar. Sebenarnya bukan salah mereka juga, karena rutinitas kami memang berkumpul di Perpustakaan Makam Bung Karno yang notabene satu kompleks dengan area wisata dan tempat ziarah di Makam Bung Karno.

Tentang FLP di Bumi Bung Karno adalah benih-benih sastra yang masih tumbuh kerdil dalam ruangan yang begitu sempit, begitulah yang saya rasakan saat ini mengenai kepenulisan di Blitar. Namun, setidaknya sudah ada benih untuk tumbuh dan berkembang lalu beranak-pinak di suatu hari di masa depan, daripada tidak ada sama sekali.

Asal-usul Hobi

Entah saya dapatkan dari mana hobi menulis dan membaca, yang jelas semenjak kecil tepatnya ketika masih MI saya selalu menyukai berkutat dengan buku-buku apapun dan mencatat apa saja yang mungkin bermanfaat di suatu hari. Bahkan ketika saya sudah duduk di bangku MTS, saya tak memperbolehkan buku-buku bekas apapun baik itu LKS, buku cetak atau buku tulis semenjak MI untuk dijual di tukang loak. Kecuali buku-buku itu sudah uzur sebab dimakan hewan yang jahil, maka saya pun belajar mengikhlaskan.

Sesekali saya pernah bertanya kepada kakak tentang hobi membaca dan menulis semenjak kecil ini saya dapatkan dari mana, dan jawabanya cukup membuat saya terdiam. “Tidak terlalu penting kamu bertanya apa yang kamu sukai saat ini berasal darimana, yang penting saat ini adalah jalani dan tekuni insya allah suatu hari nanti pasti berguna.”. Ya, memang tidak terlalu penting jika membahas asal-usul bagaimana, kapan dan di mana saya mendapatkannya, yang terpenting saat ini adalah saya harus menekuni bidang ini dengan sepenuh hati.

Lalu bagaimana dan kapan saya mengenal FLP? Tepatnya saya mengenal itu semenjak MTS.

Berkenalan dengan FLP

Sebenarnya saya bukanlah anggota aktif di FLP, namun saya hanyalah sekadar tahu dan ikut-ikutan bergiat bidang kepenulisan di Bumi Bung Karno Blitar. Saat itu pertama kalinya saya mengikuti agenda Forum Lingkar Pena yang diadakan di Perpustakaan Bung Karno adalah saat saya masih duduk di bangku MTS, itu pun hanya sekali karena saya disibukkan oleh ekstrakurikuler lain yang terlanjur saya ikuti dan harus ditekuni sampai akhir.

Saat datang pertama kali di FLP, saya tampak begitu canggung, kenapa? Entahlah, saat itu yang terpikirkan adalah bagaimana bisa mengakrabkan diri dengan mereka, sedangkan saya sendiri masih nol di dunia kepenulisan. Terlebih beberapa anak yang usianya di bawah saya sudah memiliki karya. Semenjak itu saya memutuskan untuk menyibukkan diri sendiri dengan dunia kepenulisan di rumah.

Ketika saya duduk di MAN, saya pun tak lagi mendengar tentang kabar FLP di Blitar. Entah sedang vakum atau memang telah mati, padahal saat itu euforia saya dalam menulis sedang berkobar. Namun, karena disibukkan dengan kegiatan jurnalistik sekolah saat itu saya sempat melupakan tentang keberadaan FLP.

Membangun Literasi

Semenjak lulus dari MAN saya mencoba lagi mencari komunitas kepenulisan dan memang benar apa yang dikatakan oleh seorang teman bahwa di Blitar ini meski memiliki sebuah perpustakaan berskala nasional, namun geliat sastra masih kering kerontang terbukti tidak adanya komunitas menulis dan masih minimnya minat masyarakat tentang membaca dan menulis. Apalagi saya juga mendengar bahwa FLP sudah lama vakum dari Bumi Bung Karno.

Ah, memang tidak mudah untuk menciptakan dan menumbuhkan benih-benih sastra di lahan kering yang tandus, tapi sesuatu itu akan lebih bermakna ketika benihnya tumbuh dan berkembang perlahan, daripada benih-benih sastra yang tertanam di lahan subur yang memang sudah tak dapat dipungkiri lagi pertumbuhannya akan berkembang lebih pesat seperti halnya di kota-kota besar.

Saya jadi teringat dengan perkataan seorang teman. “Sesuatu itu akan berarti jika kau memulainya dari awal, dari yang tidak dipedulikan dan dipandang sebelah mata. Tapi di suatu hari nanti, kau akan menikmatinya dengan porsi bahagia yang lebih, bahwa yang kamu perjuangkan dulu tidaklah sia-sia dan lebih berarti manfatnya.”

Dari awal saya sudah menyadari bahwa FLP adalah sebuah forum kepenulisan yang lebih bergiat di sastra islami, terlebih lagi saat saya sedang berusaha mengumpulkan orang untuk menggiatkan literasi di kota ini mendengar desas-desus tentang FLP; tentang bagaimana mereka tidak memperbolehkan anggotanya untuk membaca selain buku islami, tentang ibadah-ibadah yang wajib lapor dan beberapa hal lainnya. Namun, bagi saya FLP adalah sebuah forum yang memang sudah memiliki ideologi kuat mengenai islam dan ingin membentuk penulis yang memiliki kepribadian islami.

Dan akhirnya sekitar akhir tahun 2014, FLP bangkit dari mati suri. Mengenalkan literasi lewat acara-acara sastra, ataupun mendatangi beberapa penulis senior di Kota Blitar. Mungkin di kota ini anggotanya tak sebanyak dengan FLP di kota-kota lain, terlebih lagi kami juga belum menyiapkan perekrutan anggota baru. Bukan masalah tak mengikuti aturan yang ada dari pusat, tapi kami yang masih memiliki personil sedikit masih ingin menyiapkan amunisi dan skill kepenulisan dan sastra. Menyatukan niat dan tekad untuk nasib baik di hari depan kepenulisan Bumi Bung Karno.

September, 2015

No comments:

Pages