Ahad, 22 Januari kemarin, bertempat di koridor Perpustakaan Bung Karno, kembali diadakan rutinan FLP Blitar bersama para pramuda. Kali ini topiknya adalah membiasakan menulis dan cara mengembangkan ide.
Setelah dibuka oleh Mbak Imro’, Rosy segera mengambil alih untuk menyampaikan materi, yang diberi judul Kenalan dengan Ide. Membiasakan menulis bisa dimulai dari menulis buku harian, atau bahkan menulis status di media sosial. Sementara, mengembangkan ide pun bisa dari mana saja; buku bacaan, film, musik, gambar, juga hal-hal yang terjadi di sekitar.
Setelah itu, mulailah kami menulis. Awalnya, kami membebaskan peserta mengembangkan ide yang mereka dapat dari sekitar, dan menuliskannya dalam bentuk apa pun. Tapi, kemudian mereka hanya terdiam dengan bingung. Irsyad pun mengeluarkan beberapa lembar foto hasil jepretannya, agar bisa menjadi media penghantar ide. Tapi hanya sedikit peserta yang mulai menulis berbekal foto itu.
Untung saja Mbak Laras segera mengambil alih. Beliau meminta selembar kertas, dan mulai menuliskan peta pikiran (mind map). Awalnya, beliau menulis kata panas di bagian tengah. Kemudian dibuat cabang-cabang yang berisi kata-kata lain yang berhubungan dengan kata panas tadi. Kata-kata tersebut yaitu: matahari, keringat, topi, dendam, terbakar, kering kerontang, neraka, es, haus, dan marah.
Rupanya, cara ini berhasil. Para peserta yang sejak tadi mendiamkan kertas dan penanya, kini mulai serius merangkai cerita. Ada waktu sepuluh menit yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tulisan.
Setiap peserta mempunyai cara yang berbeda-beda saat menyelesaikan tulisannya. Ada yang menyendiri, ada pula yang bergerombol sambil sedikit berdiskusi.
Sepuluh menit pun berakhir. Para peserta mengumpulkan hasil karya mereka. Ada 14 buah tulisan yang terkumpul. Dan berikut ini adalah tiga diantaranya.
Kotaku Siang Ini
Karya: Ahmad Radhitya Alam
Siang ini, seperti biasa, sang surya menyengat dengan pendar cahaya panasnya. Ditambah lagi asap yang mengepul diantara rambu-rambu kemacetan kota ini. Kota yang semakin mongering, karena pohon-pohon penghasil oksigennya semakin menipis dan nyaris habis.
Hidup di kota ini serasa berada di ujung jurang antara hidup dan mati, akibat polusi yang tak pernah teratasi. Padahal, janji-janji pengurangan polusi telah berkali-kali terlontar dari mulut yang berbusa-busa saat pidato kampanye tahun ini. Apa mungkin mereka membawa lari uang panas hasil korupsi proyek agung pengurangan polusi. Atau mungkin kita, yang secara tidak sadar menjadi penyebab polusi itu sendiri. Dengan acuh tak acuh membuang sampah semau hati, atau juga meraungkan mesin-mesin pabrik polusi, dan membakar limbah sekenanya tanpa peduli lingkungan rusak tak teratasi.
…bersambung…(*)
Karya: Faiza Qoni
Suatu hari, aku pulang sekolah melewati sawah. Di sana hawanya panas. Aku melihat Pak Tani sedang memanen. Dia memanen tumbuhannya di saat matahari bersinar dengan sangat panasnya. Pak Tani itu bekerja melawan rasa panasnya.
Sore, pukul 15.00 aku mengaji melewati sawah itu lagi. Aku melihat Pak Tani itu masih bekerja. Aku pulang pukul 16.30, aku melihat Pak Tani itu masih saja bekerja. Pak Tani itu bekerja dengan menahan rasa panas dan lelah demi untuk memberi makan dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Keesokan harinya, aku sekolah. Aku melihat petani sedang menanam tanaman. Di saat aku pulang sekolah rasanya sangat panas, tapi Pak Tani itu seperti tidak merasa panas. Aku bermain bersama temanku saat pergi, dan Pak Tani itu masih bekerja dengan keringat yang menetes. Aku pulang bermain. Pak Tani itu lagi-lagi masih bekerja, dengan keringat yang menemaninya.
Kebetulan, tempatku mengaji lagi libur. Aku pun pergi jalan-jalan. Aku datang di rumah pukul 16.00, melewati sawah itu. Tapi Pak Tani itu masih juga bekerja. Aku melihat Pak Tani itu bekerja. Ternyata Pak Tani itu selesai bekerja pukul 17.30. Aku menjadi merasa kasihan. Hari-harinya dilewati dengan rasa lelah.(*)
Karya: Ika Wahyu KP.
Di sudut ruang itu. Ya! Di sudut ruang itu sampai saat ini masih kucium bau khas parfumnya. Entah kenapa, setiap ku menyusuri lorong dan tepat melewati ruangan itu, tiba-tiba bau itu mengendap di otakku, bak aroma terapi yang enggan menghilang dari jonjot-jonjot yang tersusun di kepala. Seperti biasanya, aku selalu menoleh tertuju pada satu bangku di pojok, dan berharap sosok itu duduk di sana. Ah! Itu hanya lamunanku saja. Pada kenyataannya, sang sosok itu tak pernah lagi mendiami bangku di sudut ruangan yang tepat berada di depanku.
“Sudah selesai?” sebuah suara membuyarkan lamunan singkatku. Itu suara Rani, yang datang selalu seperti hembusan angin yang tiba-tiba.
“Oh…iya, sudah.” jawabku setengah kaget. Aku baru tersadar bahwa selesai dari toilet aku janji pada Rani untuk makan es krim berdua di kantin seberang.
Kami berjalan menyusuri lorong dan ruangan menuju tempat yang telah kami sepakati tadi. Tak ada percakapan, sampai ketika kami keluar. Namun, aku menangkap sirat tanda tanya pada raut muka penasarannya.
“Teringat dia lagi, ya?” pertanyaan yang mungkin sudah sejak tadi ingin dilontarkan Rani padaku, akhirnya meluncur juga dari bibirnya.
“Matahari siang ini terlalu terik, jadi ingin cepat-cepat melahap es krim vanilla cokelat, nih, Ran!”
Kataku, tentu saja bukan jawaban dari pertanyaan Rani. Aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan kami, tapi aku tahu pasti Rani tak mungkin menerima jawaban itu.
“Hellow… itu bukan jawaban, Kinan! Dan tepatnya, pengalihan isu. Eh…”
Kami berhenti, mengambil posisi tempat yang nyaman untuk menikmati es krim pesanan kami.
“Tak usah dibahas lagi, Ran!” pintaku. Aku tak ingin memori ini selalu merenggut semua perasaanku. Memori sesosok yang bahkan namanya pun aku tak tahu. (*)
Demikian catatan kali ini, semoga kita bisa semakin kreatif dalam mengolah ide yang bisa didapat dari mana saja, dan semoga semangat menulis kita tetap terjaga. (*)
23 Januari 2017
Adinda RD Kinasih
Setelah dibuka oleh Mbak Imro’, Rosy segera mengambil alih untuk menyampaikan materi, yang diberi judul Kenalan dengan Ide. Membiasakan menulis bisa dimulai dari menulis buku harian, atau bahkan menulis status di media sosial. Sementara, mengembangkan ide pun bisa dari mana saja; buku bacaan, film, musik, gambar, juga hal-hal yang terjadi di sekitar.
Setelah itu, mulailah kami menulis. Awalnya, kami membebaskan peserta mengembangkan ide yang mereka dapat dari sekitar, dan menuliskannya dalam bentuk apa pun. Tapi, kemudian mereka hanya terdiam dengan bingung. Irsyad pun mengeluarkan beberapa lembar foto hasil jepretannya, agar bisa menjadi media penghantar ide. Tapi hanya sedikit peserta yang mulai menulis berbekal foto itu.
Untung saja Mbak Laras segera mengambil alih. Beliau meminta selembar kertas, dan mulai menuliskan peta pikiran (mind map). Awalnya, beliau menulis kata panas di bagian tengah. Kemudian dibuat cabang-cabang yang berisi kata-kata lain yang berhubungan dengan kata panas tadi. Kata-kata tersebut yaitu: matahari, keringat, topi, dendam, terbakar, kering kerontang, neraka, es, haus, dan marah.
Rupanya, cara ini berhasil. Para peserta yang sejak tadi mendiamkan kertas dan penanya, kini mulai serius merangkai cerita. Ada waktu sepuluh menit yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tulisan.
Setiap peserta mempunyai cara yang berbeda-beda saat menyelesaikan tulisannya. Ada yang menyendiri, ada pula yang bergerombol sambil sedikit berdiskusi.
Sepuluh menit pun berakhir. Para peserta mengumpulkan hasil karya mereka. Ada 14 buah tulisan yang terkumpul. Dan berikut ini adalah tiga diantaranya.
Kotaku Siang Ini
Karya: Ahmad Radhitya Alam
Siang ini, seperti biasa, sang surya menyengat dengan pendar cahaya panasnya. Ditambah lagi asap yang mengepul diantara rambu-rambu kemacetan kota ini. Kota yang semakin mongering, karena pohon-pohon penghasil oksigennya semakin menipis dan nyaris habis.
Hidup di kota ini serasa berada di ujung jurang antara hidup dan mati, akibat polusi yang tak pernah teratasi. Padahal, janji-janji pengurangan polusi telah berkali-kali terlontar dari mulut yang berbusa-busa saat pidato kampanye tahun ini. Apa mungkin mereka membawa lari uang panas hasil korupsi proyek agung pengurangan polusi. Atau mungkin kita, yang secara tidak sadar menjadi penyebab polusi itu sendiri. Dengan acuh tak acuh membuang sampah semau hati, atau juga meraungkan mesin-mesin pabrik polusi, dan membakar limbah sekenanya tanpa peduli lingkungan rusak tak teratasi.
…bersambung…(*)
Karya: Faiza Qoni
Suatu hari, aku pulang sekolah melewati sawah. Di sana hawanya panas. Aku melihat Pak Tani sedang memanen. Dia memanen tumbuhannya di saat matahari bersinar dengan sangat panasnya. Pak Tani itu bekerja melawan rasa panasnya.
Sore, pukul 15.00 aku mengaji melewati sawah itu lagi. Aku melihat Pak Tani itu masih bekerja. Aku pulang pukul 16.30, aku melihat Pak Tani itu masih saja bekerja. Pak Tani itu bekerja dengan menahan rasa panas dan lelah demi untuk memberi makan dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Keesokan harinya, aku sekolah. Aku melihat petani sedang menanam tanaman. Di saat aku pulang sekolah rasanya sangat panas, tapi Pak Tani itu seperti tidak merasa panas. Aku bermain bersama temanku saat pergi, dan Pak Tani itu masih bekerja dengan keringat yang menetes. Aku pulang bermain. Pak Tani itu lagi-lagi masih bekerja, dengan keringat yang menemaninya.
Kebetulan, tempatku mengaji lagi libur. Aku pun pergi jalan-jalan. Aku datang di rumah pukul 16.00, melewati sawah itu. Tapi Pak Tani itu masih juga bekerja. Aku melihat Pak Tani itu bekerja. Ternyata Pak Tani itu selesai bekerja pukul 17.30. Aku menjadi merasa kasihan. Hari-harinya dilewati dengan rasa lelah.(*)
Karya: Ika Wahyu KP.
Di sudut ruang itu. Ya! Di sudut ruang itu sampai saat ini masih kucium bau khas parfumnya. Entah kenapa, setiap ku menyusuri lorong dan tepat melewati ruangan itu, tiba-tiba bau itu mengendap di otakku, bak aroma terapi yang enggan menghilang dari jonjot-jonjot yang tersusun di kepala. Seperti biasanya, aku selalu menoleh tertuju pada satu bangku di pojok, dan berharap sosok itu duduk di sana. Ah! Itu hanya lamunanku saja. Pada kenyataannya, sang sosok itu tak pernah lagi mendiami bangku di sudut ruangan yang tepat berada di depanku.
“Sudah selesai?” sebuah suara membuyarkan lamunan singkatku. Itu suara Rani, yang datang selalu seperti hembusan angin yang tiba-tiba.
“Oh…iya, sudah.” jawabku setengah kaget. Aku baru tersadar bahwa selesai dari toilet aku janji pada Rani untuk makan es krim berdua di kantin seberang.
Kami berjalan menyusuri lorong dan ruangan menuju tempat yang telah kami sepakati tadi. Tak ada percakapan, sampai ketika kami keluar. Namun, aku menangkap sirat tanda tanya pada raut muka penasarannya.
“Teringat dia lagi, ya?” pertanyaan yang mungkin sudah sejak tadi ingin dilontarkan Rani padaku, akhirnya meluncur juga dari bibirnya.
“Matahari siang ini terlalu terik, jadi ingin cepat-cepat melahap es krim vanilla cokelat, nih, Ran!”
Kataku, tentu saja bukan jawaban dari pertanyaan Rani. Aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan kami, tapi aku tahu pasti Rani tak mungkin menerima jawaban itu.
“Hellow… itu bukan jawaban, Kinan! Dan tepatnya, pengalihan isu. Eh…”
Kami berhenti, mengambil posisi tempat yang nyaman untuk menikmati es krim pesanan kami.
“Tak usah dibahas lagi, Ran!” pintaku. Aku tak ingin memori ini selalu merenggut semua perasaanku. Memori sesosok yang bahkan namanya pun aku tak tahu. (*)
Demikian catatan kali ini, semoga kita bisa semakin kreatif dalam mengolah ide yang bisa didapat dari mana saja, dan semoga semangat menulis kita tetap terjaga. (*)
23 Januari 2017
Adinda RD Kinasih